Minggu, 09 Desember 2007

Ubah Urbanisasi Jadi Transmigrasi

Dimuat di Akademia KOMPAS Yogyakarta
26 Oktober 2007

Oleh: Vivit Nur Arista Putra



Jakarta tetap menarik bagi pendatang untuk mengadu peruntungan. Menyelami labirin dalam lika-liku kehidupan yang tak pasti. Fenomena ini seakan telah menjadi tradisi pascaarus balik tiap tahun. Dengan modal nekat dan pas-pasan tanpa keahlian dan keterampilan yang dimiliki, mereka mengadu nasib di sana. Padahal, tak ada jaminan kerja pasti yang menunggu. Mengapa mereka memilih Jakarta, bukan kota lain? Umumnya mereka terpikat cerita teman atau sanak saudara mengenai gegap gempita ibu kota dengan modernisasinya. Yang memberi celah dan menyisakan harapan hidup dengan setumpuk lapangan kerja dan upah lebih tinggi ketimbang di desa.


Rumah Pensil Publisher

Faktor pendorong lainnya adalah tak banyaknya pilihan pekerjaan karena tingkat pendidikan yang rendah membuat mereka hijrah ke kota. Semakin banyaknya kaum pendatang menambah ketatnya peta persaingan memperebutkan dunia kerja. Belum lagi risiko yang siap ditanggung kota terpadat di Indonesia ini. Para pekerja yang kalah dalam persaingan mendapatkan pekerjaan akan menambah daftar pengangguran warga ibu kota. Operasi yang dilakukan pemerintah DKI pun dirasa kurang efektif dan tidak akan membendung arus urbanisasi. Kini yang harus dilakukan pemerintah adalah menyiapkan program transmigrasi dengan memanfaatkan momentum urbanisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyosialisasikan kepada masyarakat tentang peluang kerja dan tempat kerja yang cocok mereka tempati.


Seperti Sumatera Utara dan Nias pascadilanda gempa dan tsunami, di sana banyak jalan dan infrastruktur rusak berat yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk perbaikan. Prospek kerja lain yang menggiurkan adalah kelapa sawit sebagai bahan bakar biofuel yang 70 persen ada di Sumatera dan Kalimantan, yang beberapa tahun ke depan akan banyak membuka lapangan kerja. Membangun ketransmigrasian bukanlah dalam rangka konsep membangun fasilitas kota dengan segala aktivitas ekonominya. Perilaku individu transmigranlah yang menempatkan diri sebagai "pelopor" interaksi sosial bagi aksesibilitas ekonomi untuk bermasyarakat dengan penduduk setempat.


Tanpa disadari, hal itu telah menumbuhkembangkan pusat ekonomi baru, menjadikan masyarakat urban dan membentuk secara fisik keberadaan infrastruktur dan fasilitas permukiman kota. Kini tinggal tergantung pemerintah kita mampu tidak memanfaatkan hal ini untuk mengalihkan urbanisasi ke Jakarta, dengan mengganti transmigrasi dan melaksanakan program kerja yang pro rakyat.



Vivit Nur Arista Putra

Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: