Selasa, 06 Juli 2010

ACFTA Musibah atau Berkah?

Dimuat di Harian Jogja, 25 Januari 2010 

Maju kena mundur kena. Itulah mungkin gambaran pemerintah setelah memutuskan terlibat dalam ACFTA (Asean China Free Trade Agreement). Pasalnya kesepakatan perdagangan bebas dengan China mendapat reaksi keras dari pelaku usaha dalam negeri. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi usaha, industri, serikat kerja dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mendesak pemerintah dalam hal ini departemen perdagangan melakukan negosiasi ulang dengan China karena menganggap belum siapnya komoditas domestik untuk bersaing dengan produk negeri tirai bambu yang terkenal murah, dan kualitas pun setara dengan produk lokal. Di sisi lain jika pemerintah mengajukan renegosiasi dagang, kredibilitas di muka dunia Internasional akan dipertanyakan. Bahkan dapat mendapat sanksi, karena ACFTA masih bernaung di bawah WHO (World Trade Organization). Dampak lanjutnya akan mengikis kepercayaan negara manca terhadap Indonesia. Negosiasi ulang pun tak dapat dilakukan pada semua sektor. Maka pemerintah harus memilih sektor mana yang lemah dan dianggap kurang kompetitif di pasaran dalam negeri. 


Sebenarnya perjanjian perdagangan bebas ini sudah dirancang sejak 2002. Tetapi pemerintah kurang gencar menyosialisasikan dan merundingkannya dengan pelaku usaha. Sontak saja, mereka seperti disambar petir di siang bolong mendengar kesepakatan ini berlaku. Rasionalisasinya demikian, jika produk nasional kalah bersaing dengan produk asing, imbasnya industri dalam negeri akan bangkrut bahkan gulung tikar. Jika ini terjadi dampak sistemiknya akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besar. Tentu perkara ini akan membebani pemerintah. Berpijak dari hipotesis di atas. Proteksi atau perlindungan dan penjaminan terhadap keberlangsungan usaha lokal sangatlah diharapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan pemberian bantuan kridit modal kepada UMKM agar roda perputaran usaha dagang sektor riil dapat terus berjalan. 

Selain itu, perbaikan aspek infrastruktur dan peningkatan ketrampilan tenaga kerja lokal harus digalakkan. Lebih urgen lagi ialah menjamin pasokan energi listrik dan gas tak tersendat agar proses kerja dapat terus berlangsung dan tak merugikan rakyat. Adanya liberalisasi ekonomi memang menjadikan produk barang untuk kebutuhan masyarakat primer, sekunder hingga tersier penuh ragam. Akan tetapi, heterogennya ini akan menggerus kecintaan masyarakat terhadap produk pribumi. Bangsa yang mayoritas mengekspor bahan mentah ini akan disulap China menjadi barang jadi. Kemudian mengimpornya lagi ke Indonesia. Walhasil, negeri ini akan menjadi objek konsumen semata, dan menjadi produsen pun jauh dari asa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY 

Tidak ada komentar: