Senin, 26 Juli 2010

Evaluasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional

Dimuat di Harian Jogja, 26 Juli 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Insan pendidikan kini sedang ramai memperbincangkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Ihwal ini berkait dengan maraknya keluhan masyarakat akan mahalnya masuk RSBI. Bahkan pungutannya berkisar 1-10 juta rupiah per anak. Jika demikian biaya masuk pendidikan hampir sama dengan biaya masuk kuliah. Tentu pihak sekolah menawarkan harga demikian bukan tanpa alasan. Sebab, label internasional dijadikan daya tawar sekolah kepada masyarakat luas karena memberikan garansi dan fasilitas lebih ketimbang sekolah biasa. Tetapi benarkah demikian? Jika ditinjau latar berdirinya, pemerintah memang menargetkan dalam rencana strategis 2005-2009 untuk membentuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). 


Undang-undang SISDIKNAS No.20/2003 Pasal 50 ayat 3 menjabarkan “pemerintah dan atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Akan tetapi hal ini belum bisa dilaksanakan, maka dibuatlah RSBI sejak 2003 dengan rentang waktu 4-5 tahun untuk menuju SBI. SBI merupakan salah satu pengklasifikasikan versi Depdiknas yang membagi sekolah menjadi tiga model. Pertama, sekolah nasional (menerapkan aturan pendidikan nasional), sekolah internasional (lembaga asing yang diizinkan menyelenggarakan pendidikan di Indonesia), dan sekolah bertaraf internasional (menerapkan aturan nasional plus standar internasional). Malangnya sebagaimana menurut Suryadharma (eks Dirjen Mendikdasmen) mengemukakan bahwa mindset, kultur, kompetensi tenaga pendidikan, fasilitas, kurikulum, kebijakan, dan manajemen merupakan kendala dan tantangan pembentukan RSBI. 

Oleh sebab itu, penulis mendukung upaya kemendiknas untuk mengevaluasi RSBI yang meliputi empat parameter, yakni (1) akuntabilitas keuangan. Bagaimana transparansinya dan alokasi dananya? (2) proses rekrutmen siswa. Apakah benar peserta didik yang diterima memang berprestasi atau karena kuat finansial sebagai pelicin masuk. (3) prestasi akademik yang dihasilkan. Hal ini patut menjadi tolok ukur sebab naik levelnya RSBI menjadi SBI juga harus mempertimbangkan aspek ini. (4) prasyarat RSBI yang sudah dipenuhi. Meliputi kelengkapan sekolah, kurikulum rujukan, serta yang paling urgen adalah standar kompetensi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian personal, dan sosial. Selain itu pendidik harus S1, bersertifikasi, dan menguasai minimal dua bahasa agar proses transfer ilmu tak menemui problematika. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan

Tidak ada komentar: