Kamis, 29 Juli 2010

Kapitalisme dan Simbolitas Pendidikan

Dimuat di Lampung Post, 28 Juli 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Sudah menjadi paradigma dalam tempurung kepala massa bahwa pendidikan adalah tangga mobilitas vertikal paling baik dalam tatanan sosial masyarakat. Maka tak heran jika khalayak rela merogoh kocek dalam-dalam agar buah hatinya dapat menikmati jenjang pendidikan. Seakan menjadi problem klasik tahun ajaran baru, persoalan pungutan liar di sekolah selalu terjadi. Kompas, 15 Juli 2010, melaporkan sejumlah warga dan orang tua murid mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta lantaran membubungnya pungutan uang seragam di beberapa sekolah menengah atas di Kota Pelajar ini. 

Bahkan salah satu SMK yang diadukan memasang tarif seragam Rp1,156 juta hingga Rp1,831 juta saat daftar ulang. Padahal harga paket seragam lebih mahal ketimbang harga di pasaran. Jika faktanya demikian, sekolah kini telah kehilangan jati dirinya. Sekolah bukanlah ruang pencerahan yang dikelola untuk menghasilkan tunas muda masa depan. Tetapi, sekolah telah menjadi arena pasar yang diperebutkan kekuatan para pemilik modal untuk menggerakkan program dengan semangat pedagang. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar, maka kaum kapitalis memandang negara ini prospek dengan pangsa pasar yang menjanjikan. Akhirnya proyek liberalisasi pendidikan dikumandangkan. Akibat dari liberalisasi ialah swastanisasi dan privatisasi dalam mengatur lembaga pendidikan. Setiap sekolah akan membuat aturan sendiri untuk medapatkan uang dari para peserta didik. Dampaknya akan muncul banyak sekolah swasta maupun sekolah keterampilan yang tidak memiliki tujuan jelas. Muaranya akan ada seleksi kelas sosial karena kalangan yang punya uang sajalah yang berhak mencicipi manisnya pendidikan. 

Ini artinya sekolah melanggar mandat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab III tentang penyelenggaraan pendidikan Pasal 4 Ayat (1): "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa." Selain itu sekolah seakan terjebak pada simbolitas pendidikan. Adalah niscaya seragam berfungsi sebagai identitas dan salah satu perangkat pendidikan. Akan tetapi, hal itu bukanlah perkara substansial dari proses transfer ilmu di satuan pendidikan. Seragam digunakan agar terjadi persamaan anak dengan latar belakang beragam. Mereka bertemu dalam ruang belajar atas dasar kesamaan hak untuk menuntut ilmu bukan karena status sosial. Namun, lain dulu lain sekarang. Kini seragam telah dijadikan komoditas sekolah yang dikelola ala industri. 

Eko Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sekolah menjelaskan sekolah yang dibangun untuk mencari laba berbeda dengan sekolah yang dibangun sebagai basis perlawanan terhadap ketidakadilan sosial melalui pendidikan. Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka menyemai benih perjuangan melawan kolonialisme menggunakan jalur pendidikan. Karena tokoh bangsa itu menyadari bahwa dengan pendidikanlah akan mengubah segala permasalahan. Lulusan sekolah ini juga harus melahirkan "pemberontak" yang mengubah struktur dan sistem sosial yang penuh kesenjangan. Karena murid paham akan realitas sosial yang menyadarkan mereka untuk melakukan gerakan perlawanan. Dan karena sekolah tak sekadar didirikan untuk membuat anak didik cerdas semata, tetapi juga mampu mencipta alumninya menjadi intelektual. 

Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual yang sebenarnya ialah orang yang menginovasi gagasan dan ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya satuan pendidikan haruslah kembali kepada fitrah tujuan pendidikan, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Tidak ada komentar: