Minggu, 25 Juli 2010

Legalisasi Senjata Satpol PP

Dimuat di Harian Jogja, 13 Juli 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Ditengah sorotan publik yang begitu tajam terhadap Satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP). Gamawan Fauzi mengumandangkan peraturan anyar melalui peraturan dalam negeri No.26/2010 yang menyatakan polisi sipil satpol PP akan diberikan kewenangan memiliki senjata secara legal berjenis senjata kejut, peluru hampa, dan gas air mata. Dan hanya diperuntukkan bagi kepala satuan atau komandan regu. Permendagri tersebut menindaklanjuti peraturan pemerintah No.6/2010. 

Kendati peraturan masih ditunda dan belum diratifikasi, akan tetapi secara perspektif yuridis Permendagri No.26/2010 melanggar UU No.2/2002 yang menyatakan kebolehan memiliki senjata hanya untuk aparat kepolisian. Bisa jadi Mendagri menafsirkan konteks kalimat di muka secara bias makna. Bahwa senjata yang dimaksud adalah senjata api untuk polisi, sedangkan satpol PP hanya senjata kejut dan peluru hampa. Terlepas mana yang benar, yang jelas senjata apapun dapat mematikan. Pedagang kaki lima dan gepeng sekalipun dapat dibuat keder oleh kehadiran satpol PP. 

Menurut penulis, secara sosiologis masyarakat tentu tidak akan menerima jika polisi penegak peraturan daerah ini dipersenjatai. Insiden Priok di Ibu kota, menjadi saksi keji terakhir sikap semena-mena. Belum lagi data-data lain, yang menyimpulkan Satpol PP terlampau arogan. Jika kultur gerakan yang otoriter dan tidak manusiawi ini dipertahankan, hal ini serupa dengan era orde baru di mana negara menindas rakyat dan siapa saja yang tak mematuhi hukum. Adalah benar deskripsi tugas satpol PP sangat kompleks, meliputi penegakan perda yang harus berhadapan dengan bermacam masalah ketertiban umum dan keamanan. Ihwal ini hampir sama dengan peran polisi di daerah. Tetapi alur perekrutan anggota satpol PP sangatlah berbeda dengan polisi yang memang sedari lulusan sekolah menegah atas mulai dibina. Sehingga secara intelektualitas kadar kefahaman akan fungsi dan perannya mumpuni. 

Sedangkan satpol PP proses perekrutan dan pembinaannya tidak regular dan jangka panjang layaknya polisi. Sehingga kecakapan sikap, pengalaman lapangan, dan kefahaman akan perannya masih pertanyakan. Oleh sebab itu, mengamini argumen Sosiolog Ari Sujito pencerdasan dan pembinaan rutin pemerintah terhadap satpol PP diperlukan agar tidak terjadi kesalahan sikap dan tindakan di lapangan. Termasuk dalam memahami instruksi gubernur, bupati, dan melihat konteks permasalahan.

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Tidak ada komentar: