Minggu, 25 Juli 2010

Membumikan Pendidikan Berkarakter Profetik

Dimuat di Lampung Post, 1 Juni 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Akhir-akhir ini banyak dihelat seminar, workshop, maupun diskusi mengenai pendidikan karakter. Bahkan pendidikan karakter ini dijadikan grand tema hari pendidikan nasional kemarin. Ihwal ini dapat dimaklumi mengingat karakter sebagai pribadi dan bangsa mulai kabur di negeri ini. 

Menurut penulis, munculnya wacana pendidikan karakter yang dijanjikan Mendiknas akan diterapkan di jenjang sekolah dasar merupakan akumulasi dari dehumanisasi dan demoralisasi yang menjadi fenomena sosial di lingkungan kita. Dapat dikata seakan terjadi gap atau kesenjangan antara keilmuan yang dimiliki dengan sikap keseharian seseorang. Muhammad Nuh mengistilahkan sebagai fenomena sirkus. Sebagai contoh, polisi yang harusnya menangkap koruptor malah ditangkap, hakim yang selayaknya berbuat adil malah dihakimi, begitupun guru yang seharusnya mendidik malah dididik.

Rumah Pensil Publisher

Lantas apa yang dimaksud karakter? Simon Philip dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008; 235) mendefinisakan karakter sebagai kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Akhirnya, pendidikanlah yang menjadi sorotan karena menjadi ruang pembentukan manusia. Khoiron Rosyadi dalam bukunya pendidikan profetik mengungkapkan pendidikan yang bermakna memanusiakan manusia lebih bermakna antroposentris (berpusat pada manusia). Untuk membentuk karakter, maka pendidikan harus berangkat dari theosentris (berpusat pada keTuhanan) agar pendidikan tidak kehilangan unsur pokok dalam individu yaitu dimensi kerohanian dan spiritual. Sebab, manusia saat lahir di dunia telah dibekali fitrah. 

Menurut Imam Al Ghazali fitrah adalah sifat mendasar yang melekat dalam diri manusia. Seperti naluri berketuhanan (tauhid), dapat membedakan antara yang baik dan buruk, memiliki nafsu, dan tidak dapat hidup sendiri. Argumen ini dapat dijadikan bantahan teori psikologi beheviorisme dan teori tabularasa yang menyimpulkan pada dasarnya setiap bayi yang lahir ibarat kertas putih, terserah orang tuanya hendak ditulis dengan tinta warna apa. Hal ini tidak benar, karena manusia ketika muncul di dunia sudah memiliki fondasi fitrah yang ada pada setiap insan. Penulis mencontohkan, orang barat yang sering berbusana terbuka, dalam fikiran dan hati nuraninya pasti mengetahui jika berbaju tertutup lebih sopan dan rapi, orang yang merokok sebenarnya ia tahu dapat merusak kesehatan tubuhnya. Tetapi kenapa mereka masih rutin melakukannya, itu semua karena sudah membiasa dan mendarah daging dalam perilakunya. Itulah karakter, dan yang dapat mengalahkan dan merubah kebiasaan buruk itu ialah kehendaknya. 

Oleh sebab itu, berbincang masalah pendidikan tak akan terpisah dari sosok manusia sebagai bahan mentahnya. Hendak dicipta seperti apa makhluk bernama manusia tersebut, tergantung lingkungan pendidikan yang akan mengolahnya. Lantas karakter seperti apa yang hendak dibentuk? Teori Ibnu Qayyim dalam pembentukan karakter bermula dari mind-idea-memory-believe-motivation-action-habit-character. Semua berawal dari fikiran sebagai sumber ide karena manusia adalah makhluk mulia yang memiliki akal, kemudian jika insan tersebut memanfaatkannya untuk menemukan ide maka gagasan itu akan disimpan dalam memory tempurung kepala sehingga berdampak pada rasa percaya diri. Rasa confident memunculkan motivasi untuk beraksi atau berkehendak. Perbuatan yang berulang-ulang dilakukan akan menjadi habit dan kebiasaan yang rutin dilakukan itulah disebut dengan karakter. Jadi, dapat dikata karakter itu adalah akhlak. Sebab, menurut imam Al Ghazali, akhlak bersifat konstan, tidak temporer, tak ada pertimbangan, dan tekanan dari luar. Oleh sebab itu, dalam Islam akhlak bersifat pokok setelah aqidah dan ibadah. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, kelompok, etnis, dan negara bergantung pada akhlak warga negaranya. Karena itulah kita dapat memahami alasan Nabi diutus ialah untuk menyempurnakan akhlak. 

Berpijak dari argumen di muka, pendidikan karakter haruslah berorientasi profetik atau berbasis kenabian. Karena Nabilah representasi manusia yang memiliki katakter sempurna. Jika dikaitkan dengan klasifikasi sosial, siapa manusia yang dimaksud memiliki kans besar untuk membumikannya? Para mahasiswa. Apa alasannya? Dasarnya jelas. Mahasiswa ditempatkan segaris sepemaknaan dengan Nabi. Mahasiswa mendapatkan ruang pencerahan. Jika Nabi tercerahkan oleh wahyu, mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Karena tidak semua orang dapat mengaksesnya. Keterlibatan awal ini harus diikuti dengan humanisasi -memanusiakan manusia- tak sekadar rekan kampus semata, namun juga melakukan rekonstruksi sosial kemasyarakatan. Liberasi atau pembebasan dari isme atau ajaran yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekuler). Keduanya harus dibingkai dengan nilai transendensi yang kuat. Nilai itu adalah iman. Itulah intisari teori ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo, agar manusia menyadari konsep dirinya, bahwa orientasi manusia dilahirkan ialah menjadi Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (wakil Allah untuk memakmurkan bumi). 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Tidak ada komentar: