Senin, 05 Juli 2010

Menerka Alasan Golkar Berkoalisi

Dimuat di Rubrik Jagongan Harian Jogja, 23 Oktober 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Kemenangan Aburizal Bakrie (Ical) di Munas Pekan baru, Riau berdampak pada sikap politik Golkar lima tahun ke depan. Dapat diterka kendaraan politik orde baru ini merapat ke pemerintah. Kendati bargaining power atau daya tawarnya lemah, namun kedekatan personal Ical dengan SBY menjadikan peta koalisi bertambah dan dapat dipastikan pembagian jatah kabinet kian ramai. Hal ini diperkuat pernyataan Akbar Tanjung (dewan pertimbangan Golkar) yang siap mengajukan kader terbaiknya mengisi kabinet Indonesia bersatu jilid II.

 Pernyataan politik partai Beringin ini semakin mempertegas tabiat partai ini tak dapat jauh dari kekuasaan. Tampaknya partai yang mulai ikut pemilu sejak 1972 ini mengidap penyakit amnesia sejarah. Bagaimana tidak? Apakah koalisi dengan Demokrat di pemerintahan 2004-2009 tidak memberikan pelajaran! Saat itu terjadi tarik ulur kepentingan antara Golkar dan Demokrat, belum lagi klaim keberhasilan antara SBY dan JK menjelang pemilu 2009. “Peristiwa” tersebut mengindikasikan Golkar tak mau kalah untuk urusan kekuasaan. Golkar di bawah nahkoda baru tak jauh berbeda dengan periode lalu. Ical seperti JK. Bedanya, bergabungnya Golkar ke pemerintah akan menjadikan Ical berada dalam bayang-bayang SBY. Penuturan Ical bahwa mengawasi kinerja pemerintah tak harus menjadi oposisi dan dapat dilakukan dalam pemerintahan dengan mengritisi dan menolak kebijakan yang tak populis atau pro rakyat, justru sangat kontradiktif. Jika kader partainya yang mengisi kabinet terlibat pembuatan policy atau kebijakan serta kader Golkar lain mengritiknya, bukankah sama dengan menjilat ludah sendiri! Apalagi suara legislatif dimiliki Demokrat. 

Tentu proses kontrol lebih efektif dilakukan di luar lingkaran kekuasaan dengan mengagitasi masyarakat dan memanfaatkan media massa sebagai watch dog atau pilar demokrasi keempat, agar terjadi balance antara eksekutif dan legislatif. Semoga pilihan Golkar koalisi bukanlah pragmatis. Akan tetapi, mari kita lihat sisi lain keputusan Golkar untuk terlibat dalam pemerintahan. Penulis memprediksi ada tindak lanjut koalisi ini untuk memenangkan pemilihan daerah (pilkada) 2010. Golkar sadar suara konstituennya di”curi” Demokrat dalam pemilu parlemen April silam. Oleh sebab itulah, partai tertua ini ingin mengambil kembali suara rakyat dengan membonceng rivalnya yang kini tengah naik daun. Akankah ini berhasil? Bisa jadi. Jika melihat tipikal masyarakat umum, pilihan mereka selalu berubah dalam setiap perhelatan pemilu. Melorotnya suara Golkar dan menanjaknya suara Demokrat hampir 300 persen ketimbang pemilu 2004 adalah contohnya. Artinya proses demokrasi kita masih terpukau oleh bentuk dan khalayak ramai belumlah dikatakan pemilih rasional. Berkoalisi artinya ikut berkontribusi di pemerintahan dan mengurusi rakyat. Dengan demikian kader Golkar akan banyak show up ke publik untuk menarik perhatian konstituen serta memperbaiki citra partai. Maka implikasinya koalisi Golkar adalah pertaruhan eksistensi partai ke depan, sekaligus tantangan bagi Ical. 

Koalisi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat pemerintahan yang muaranya ialah efektifitas kebijakan yang berpihak pada rakyat. Golkar tidak akan besar, manakala berpandangan satu, dua, atau lima tahun. Golkar harus bervisi ke depan dengan perencanaan strategis yang matang. Partai didirikan untuk menampung aspirasi dan idealisme setiap warga negara, bukan gerbong semu sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Tidak ada komentar: