Senin, 05 Juli 2010

Menggugat Ujian Nasional

Dimuat di KOMPAS Jogja, 11 Desember 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pascapenolakan kasasi dari Mahkamah Agung atas perkara ujian nasional yang diajukan pemerintah semakin memojokkan posisi pemerintah (Depdiknas). Sebelumnya masyarakat lewat gugatannya (citizen law suit) juga memenangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat dan pengadilan negeri Jakarta lewat aduannya karena pemerintah tak mampu menyelenggarakan pendidikan secara layak dan merata serta tidak memberikan akomodasi bagi korban yang tak lulus ujian nasional. Ihwal ini semakin membuktikan bahwa ujian nasional memang cacat secara hukum, kendati MA tidak secara eksplisit melarang pelaksanaan UN.

Namun, ujian nasional yang dijadikan sebagai penentu kelulusan serasa tidak adil, karena merenggut hak pendidik sebagai evaluator untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Sisdiknas Pasal 58 ayat 1) dan mengabaikan unsur penilaian berupa proses. Selain itu pembangunan sarana prasarana pendidikan serta peningkatan kualitas SDM (pendidik) bersifat sentralistik, fokus di kota besar dan tidak merata (unsimilarity) hingga daerah pedalaman. 

Dengan demikian, hasil UN tidak dapat dijadikan indeks atau ukuran prestasi setiap pemerintahan daerah karena ketimpangan fasilitas dan pengajar antardaerah provinsi. Pemerintah telah membuat PP No. 19/ 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan kriteria minimal sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik Indonesia. Adapun lingkup standar nasional pendidikan meliputi; standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Logikanya kedelapan standar awal haruslah dipenuhi lebih dulu sebelum beranjak pada penjatuhan standar penentuan penilaian (baca: UN). Pemerintah seakan tergesa-gesa memutuskan kebijakan UN. Momentumnya tidak tepat. Rasionalisasinya, UN tidak mungkin dilaksanakan jika delapan lingkup standar pendidikan nasional belum dipenuhi. 

Seharusnya BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) selaku badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan, menganulir kebijakan UN dari Depdiknas. Sebab, pemerintah secara luas belum menuntaskan delapan aspek standar di atas. Maka amatlah naif jika Depdiknas bersikukuh menghelat UN. Jika dilacak, kesesatan UN sebagai penentu kelulusan dapat penulis urai satu per satu. Pertama, UN hanya menguji kognitif peserta didik karena mata pelajaran yang diujikan berisi pilihan ganda dan esai yang membuat siswa cenderung menghafal fakta-fakta dan berfikir satu arah (divergen). Kedua, segelintirnya mapel UN sebagai penentu kelulusan yang diujikan, berdampak pada fokus belajar siswa tertuju pada mapel tersebut dan mengabaikan pelajaran lain. Ketiga, menurut Anita Lie (Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya) UN berdampak pada kerusakan sistem. Proses belajar mengajar di kelas berubah menjadi bimbingan belajar yang akan menghasilkan lulusan instan (siap saji) dan mengacuhkan proses. Keempat, muncul sindrom problem sosial. Bagi satuan pendidikan, karena UN berkaitan dengan prestise sekolah, maka pendidik akan melakuan kiat apapun agar anak didiknya lulus. Begitu pun peserta didik, adanya stigma “bodoh” dari masyarakat bagi siswa yang tak lulus UN berefek pada tekanan psikologis. Potensi inilah yang dapat membuat peserta didik dan pendidik kongkalikong untuk berbuat curang. Amat miris memang. Sekolah yang harusnya menjadi ruang pendewasaan dan pematangan berfikir mitra didik, malah menggiring siswa untuk berfikir pragmatis; pokoknya lulus. Pendidikan haruslah mendekatkan siswa pada realitas sosial, agar ia peka, menerka, dan menganalisa masalah yang ditemuinya. 

Jika UN dilaksanakan bobot soal ujian haruslah disesuaikan dengan daerah masing-masing dan jangan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Tetapi untuk mengukur kualitas pendidikan di setiap daerah. Evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 bermakna “kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan,” haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan dan pendidik setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberi otonomi pada sekolah. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Administrasi Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: