Selasa, 06 Juli 2010

Menyoal STTB (Bukan PSBB)

Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 8 Febuari 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Belum selesai polemik ujian nasional. Insan pendidikan Yogyakarta dihadapkan pada persoalan baru yang mengundang pro kontra yakni pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) bagi peserta didik yang tidak lulus ujian. Gagasan yang dilontarkan Dewan Pendidikan DIY ini bertujuan sebagai pelengkap hasil UN, penyeimbang kompetensi serta wujud penghargaan bagi peserta didik yang tidak lulus ujian.

Selain itu, adanya STTB dapat meminimalisir terjadinya stres dan depresi bagi peserta didik yang tidak lulus ujian, karena dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta mengurangi angka putus sekolah. Menjadi pertanyaan bernarkah demikian? Ujian nasional (UN) memang memberikan tekanan psikologis peserta didik. Tetapi di aspek lain, dapat memantik untuk giat belajar.

Rumah Pensil Publisher

Jika tinjau dengan teori behavioristik dari Edward Thorndike, belajar merupakan proses terbentuknya asosiasi antarperistiwa yang disebut stimulus dengan respon. Stimulus ialah perubahan eksternal sabagai tanda untuk mengaktifkan individu. Begitupun UN dengan patokan angka kelulusan yang naik setiap tahunnya, akan menggerakkan peserta didik untuk bersungguh-sungguh belajar. Buktinya indeks kelulusan siswa dibeberapa kota naik setiap tahunnya.

Adanya STTB dikhawatirkan meruntuhkan tren positif ini. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sehubungan wacana penerapan STTB di satuan pendidikan. Pertama, jika ide ini jadi diimplementasikan justru akan menunjukkan tidak konsistennya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Standar kelulusan (passing grade) ujian nasional yang naik setiap tahunnya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional akan menjadi percuma, karena tidak lulus ujian pun dapat melanjutkan jenjang lebih tinggi. Dampaknya mind set atau pola pikir anak didik pun akan ikut terpengaruh, adanya STTB malah membuat pelajar berleha-leha. Kenapa mesti belajar sungguh-sungguh jika gagal ujian dapat tetap meneruskan pendidikan. Selain itu, jika ujian nasional dikatakan sebagai evaluasi pendidikan kebijakan ini melangkahi amanat UU sistem pendidikan nasional (sisdiknas) BAB XVI Pasal 57 yang mengatakan evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Kedua, kendati disambut baik dinas pendidikan dan keolahragaan (Disdikpora) DIY, tetapi jika tidak mendapat dukungan maupun pengakuan dari sekolah dan perguruan tinggi di kota pendidikan ini, adanya STTB akan terasa percuma. Pasalnya standar hukum berupa surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (Perda) yang menjadi dasarnya tidak kuat dan bertentangan dengan UU Sisdiknas Pasal 61 “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.” 

Di satu sisi dengan waktu yang minim kebijakan lokal yang rencananya diaplikasikan sebelum ujian nasional 22 Maret 2010 amatlah menguras waktu dan energi pengambil kebijakan di DIY. Bagi penulis, lebih baik pemerintah memfokuskan penyelenggaraan ujian nasional secara arif dan menyelesaikan berbagai permasalahan seperti pendistribusian soal, kongkalikong guru-murid, dan problem lainnya yang masih berlubang. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: