Senin, 05 Juli 2010

Pendidikan Politik untuk Mahasiswa

Dimuat di Harian Jogja, Desember 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Rentang waktu satu dasawarsa terakhir demokratisasi di negeri ini semakin dewasa. Terselenggaranya pemilihan umum langsung yang mengakomodir kemajemukan agama, suku, ras, dan budaya dengan baik, aman, kendati belum adil sepenuhnya, menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan Indonesia menampung keanekaragaman warga negaranya. Inilah yang menyebabkan Indonesia memperoleh penghargaan internasional sebagai representasi negara multikultural yang demokratis. Menjadi konsekuensi logis generasi selanjutnya untuk melestarikan demokrasi yang mencerdaskan masyarakatnya agar kehidupan berbangsa dan bertata negara terlaksana. Yakni, terciptanya kontrol sosial sesama warga negara maupun antarpemangku kebijakan dengan rakyatnya. 


Kata Abraham Lincoln “demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Rakyat sebagai penentu calon pemimpin dan objek sasaran kebijakan pemerintah, haruslah cerdas dan faham aturan main sistem demokrasi agar tidak diombang-ambingkan. Untuk itu, pendidikan politik menjadi penting untuk diberikan, agar tidak terjadi –meminjam istilah Amien Rais- powerless atau tuna kuasa. Dengan demikian rakyat akan cerdas mengontrol roda pemerintahan dan meminimalisir terjadinya pemerintahan otoriter. Berangkat dari statement di muka pendidikan politik menjadi penting diberikan ke publik, dan komunitas yang potensial melakukannya ialah mahasiswa. Membicarakan mahasiswa, tak lepas dari idealisme dan kampus sebagai ruang geraknya. Mahasiswa adalah the chosen people (manusia pilihan) yang menduduki kelas midle atau menengah dalam stratifikasi sosial. Oleh sebab itu, banyak harapan bersimpuh di pundaknya. Kalangan elit birokrat beserta perangkatnya, tentu menaruh asa agar mahasiswa dapat melanjutkan perjuangan mereka dalam bidang apa saja demi kemajuan negara. 

Di sisi lain, khalayak ramai akar rumput menginginkan agar mahasiswa membela rakyat, tidak terlena dengan kemapanan, dan bersuara kritis atas segala kebijakan yang tidak membumi. Sedangkan kampus adalah alam bagi mahasiswa yang memberikan ruang pembelajaran dan perantaraan pengenalan sebelum terjun ke masyarakat. Sebagai institusi tertinggi penyelenggaraan pendidikan, peran kampus haruslah mendekatkan mahasiswa dengan konteks realita persoalan masyarakat kekinian, bukan malah menjauhkannya. Pada titik ini, pendidikan politik disalurkan di kampus melalui aktivitas bermain peran (role play) sebagai presiden mahasiswa yang menjalankan roda pemerintahan, dewan perwakilan mahasiswa sebagai pengontrolnya, atau menjadi partisipan maupun simpatisan dalam politik kampus sebagai peleburan idealisme mahasiswa. 

Berpijak dari pola fikir inilah sekelompok mahasiswa mendirikan Republik mahasiswa (Rema), sebagai ruang konkret pembelajaran untuk merembeskan politik education dalam tempurung kepala mahasiswa. Bukan bermaksud mendirikan negara dalam negara, tetapi dari sinilah pendidikan politik tersebut dimulai. Sudah menjadi tradisi di setiap kampus, akhir tahun merupakan masa pergantian kepengurusan organisasi mahasiswa (ormawa). Penentuan ketua atau presiden mahasiswa ditentukan mayoritas suara dalam pemilihan mahasiswa (pemilwa). Begitu pun di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang menurut agenda 5-10 Desember; masa kampanye, 11 Desember; debat calon presiden mahasiswa, dan 15 Desember; pemungutan suara. Partai mahasiswa di kampus seperti Partai Tugu, Partai Bintang Perdamaian, Partai Gaul, dan Partai Matahari Sejahtera siap unjuk gigi mengusung capres dan wapresnya dalam hajatan akbar tahunan pemilwa sebagai bagian pelestarian pendidikan politik bagi mahasiswa. So, kita nantikan siapa pemenangnya. Bravo UNY. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa UNY

Tidak ada komentar: