Senin, 05 Juli 2010

Refleksi Aksi 9 Desember

Dimuat di Harian Jogja, 14 Desember 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Sejarah rezim di negara mana pun, termin kedua kekuasaannya akan menuai banyak cobaan dan tantangan. Akan tetapi, di sisi lain policy yang diambilnya pun kian berani bahkan pada taraf kebijakan tak populis sekalipun. Hal ini disebabkan matangnya proses pembelajaran dari akumulasi pengalaman berlebih di lima tahun pertama. Terbukti awal periode kedua pemerintahan SBY dimulai dengan nuansa baru. Perumusan agenda bersama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pakar, dan elemen sosial dalam nasional summit November kemarin, hingga program seratus hari yang terencana, terukur, dan transparan agar dapat dikontrol masyarakat adalah terobosan baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

Malangnya, program seratus hari yang terhitung sejak pelantikan presiden terganjal beberapa kasus yang dapat memecah konsentrasi dan memalingkan fokus kerja pemerintah. Kasus BC I, atau dugaan kriminalisasi sistemik terhadap duo pimpinan KPK Bibit-Chandra, serta kasus BC II atawa Bank Century yang merenggut uang rakyat 6,7 Trilyun dan menyeret nama pejabat tinggi negara menjadi batu sandungan dan sasaran tembak lawan politik SBY. Tak heran jika SBY begitu khawatir terhadap aksi massal 9 Desember yang mengusung isu tuntaskan korupsi dan skandal Bank Century yang disinyalir dilakukan tanpa semangat memberantas korupsi, bahkan diduga ditunggangi kepentingan politik tertentu yang memiliki motif lain. Faktanya kekisruhan massal yang ditakutkan presiden tak terjadi. Demontrasi berlangsung lancar, tertib, dan aman kecuali Makassar dan Pamekasan. Selain itu, semua aksi yang digelar hampir diseantero kota pojok negeri relatif terkendali. 

 Jika penulis amati, aksi dengan agenda utama deklarasi Piagam Indonesia Bersih tersebut, dapat menjadi pemantik dan penyadar segenap khalayak bahwa masih banyak kasus korupsi yang belum diusut, merajanya mafia peradilan, praktik penegakkan hukum tebang pilih, yang membuat khalayak ramai merasa wajib ikut serta memberantasnya. Terlepas dari ihwal di muka, phobia pemerintah terhadap aksi massa terbesar sejak demonstrasi besar-besaran menggulingkan Soeharto 1998, agaknya cukup beralasan. Momentum sebagai katalisator pemercepat laju tuntutan massa menjadi salah satu kuncinya. 

Rijalul Imam dalam bukunya Menyiapkan Momentum menjelaskan tentang rumusan momentum yaitu massa dikali kecepatan. Artinya, jika kita ingin menciptakan momentum maka perbanyaklah kuantitas massa , bersamaan dengan itu perbesarlah tingkat akselerasi kita dalam banyak hal, termasuk fokus isu tuntutan aksi yang ingin diusung sebagai upaya dan tindakan terwujudnya perubahan. Maka dapat penulis simpulkan kekuatan aksi 9 Desember menuai perhatian khalayak terletak pada momentum, kuantitas massa, dan fokus isu tuntutan. 

Jika kita refleksikan secara seksama peristiwa tersebut mengandung arti yang mendalam. Pertama, kepedulian masyarakat luas untuk turun aksi ke jalan mengindikasikan rakyat mulai cerdas menanggapi problem sosial kekinian dan bosan akan lambannya kerja pemerintah memberantas kasus korupsi dan mafia kasus. Kedua, hendaknya energi kolektif gerakan sosial tak hanya berkumpul pada momentum tertentu saja, namun dapat setiap saat menderu sebagai lonceng pengingat akan komitmen pemerintah memberangus korupsi. Hal ini penting dilakukan agar tidak timbul prasangka negatif dari penguasa terhadap aksi masyarakat yang mengkritisi kasus yang belum menuai titik terang. 

Ketiga, dalam era demokrasi virtual dan reformasi rezim, peran media untuk membentuk opini publik menjadi urgen, sehingga dapat menempatkan diri sebagai pilar demokrasi keempat yaitu watch dog atau kontrol sosial, agar kasus sekecil apapun yang melilit pemerintah akan langsung tercium oleh rakyat. Oleh sebab itu, ada baiknya kita mendengarkan petuah ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, “dalam sejarah pemerintahan, siapapun yang melawan suara rakyat akan binasa.” Wallahua’lam bishawab. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Tidak ada komentar: