Senin, 05 Juli 2010

Revisi UN, Terapkan KTSP

Dimuat di Jagongan Harian Jogja, 28 Desember 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Polemik ujian nasional mencapai klimaksnya ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas perkara ujian nasional. Keputusan ini didasari pertimbangan yang matang, bahwa pemerintah memang belum meningkatkan kualitas pendidik secara merata, sarana prasarana yang komplit, dan akses informasi yang menyeluruh hingga daerah pedalaman. Jika dinalar inilah problem pendidikan yang sesungguhnya, UN hanyalah persoalan yang mengapung di akhir tahun saja dalam evaluasi pendidikan. Malangnya pemerintah masih saja berkilah bahwa ketiga hal di muka dalam proses renovasi. Tapi sampai kapan? Tentu inilah pertanyaan publik yang mengemuka. Mengingat sudah 64 tahun negeri ini merdeka, tetapi layanan pendidikan masih jauh dari asa. 


Maka perhelatan UN menjadi sangat diskriminatif, karena kemampuan antardaerah sangat timpang dalam memenuhi delapan standar pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Provinsi berkota besar umumnya sudah memenuhi prasyarat di atas. Tetapi bagi daerah pedalaman sangatlah bertolak belakang. Alur nalarnya seharusnya, pemerintah melengkapi terlebih dahulu delapan standar pendidikan sebelum mengeluarkan kebijakan UN. Selain itu, yang menjadi persoalan mendasar ialah sistem evalusi pendidikan yang lebih didominasi pemerintah dalam menilai dan menentukan lulus tidaknya segelintir mata pelajaran yang diujikan dengan patokan standar nilai (passing grade) yang telah ditentukan. Ihwal ini tentu mengabaikan pendidik yang justru lebih mengetahui kompetensi dan karakter murid keseharian. 

PP No.19/ 2005 yang menjadi dasar diselenggarakannya UN pun sangatlah rapuh, sebab menyalahi UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan. Pada pasal 58 dikatakan “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Sedangkan pemerintah hanya sekadar mengevaluasi terhadap pengelolaan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59) saja. Jadi bukan pada evaluasi proses pendidikan. Titik inilah yang patut menjadi perhatian pemerintah agar tak melebihi kewenangannya. Belum lagi dampak dalam proses belajar mengajar yang menjadi pragmatis dan stresnya siswa karena tak lulus UN. Maka menjadi satu tuntutan sikap agar pemerintah merevisi UN dengan tidak menetapkannya sebagai penentu kelulusan semata, melainkan menjadikan UN untuk menakar mutu pendidikan sebagai komparasi hasil pendidikan lintas daerah. 

Mencermati dan menyadari beragamnya potensi satuan pendidikan, sudah sepantasnya pemerintah menyerahkan mekanisme pendidikan dan evaluasinya pada sekolah masing-masing. Apa gunanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicetuskan sejak 2006 jika tidak dilaksanakan. KTSP memberikan kesempatan lebih kepada sekolah dan pendidik untuk mengelola pendidikan secara mandiri sebagai konsekuansi dari desentralisasi pendidikan, yang dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan, kepentingan pendidik, dan lingkungan setempat. Keinginan Depdiknas untuk mengajukan judicial review atau peninjauan kembali terkait UN bukanlah agenda strategis saat ini. Prioritas pemerintah ialah bagaimana meningkatkan profesionalitas pendidik melalui sertifikasi yang ditargetkan 2,8 juta pendidik tuntas pada 2015 tak sekadar formalitas. Serta bagaimana meminimalisir gape atau kesenjangan pembangunan fasilitas sekolah antardaerah sebagai penopang inti proses pembelajaran. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka (Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan)

Tidak ada komentar: