Selasa, 06 Juli 2010

SBY dan Unjuk Rasa

Dimuat di Suara Merdeka, Selasa, 23 Februari 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Salah satu manifestasi reformasi ialah adanya kebebasan publik menyampaikan aspirasi, kritik, dan masukan pada penguasa tanpa tekanan balik rezim yang represif dan dilindungi undang-undang. Hal ihwal ini mengindikasikan demokrasi Indonesia semakin dewasa. Akan tetapi, atas nama demokrasi pula seseorang dapat menyampaikan pernyataan sikap seenaknya tanpa mempertimbangkan etika dan kepatutan norma. Penggalan kalimat di muka, agaknya cukup mewakili perasaan SBY ketika mengomentari aksi unjuk rasa mahasiswa bertepatan seratus hari pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid II 28 Januari 2010 silam. Respon ini cukup wajar mengigat tindakan pendemo dianggap melecehkan dengan membawa kerbau bertuliskan SiBuYa dan bergambar SBY “turun” di bagian ekornya. Selain itu, massa juga meneriaki Yudhoyono dan Budiono maling serta membakar foto keduanya.


Di satu sisi, pernyataan sang jendral juga merupakan kebebasan menyampaikan opini pula, tetapi beda posisinya. Bagi massa, demonstrasi ialah wujud advokasi untuk mengawal demokrasi formal dan kebijakan pemerintah. Tetapi bagi presiden sikap mengeluh ini sudah kesekian kalinya dalam merespon tuntutan massa. Tak heran jika perilaku tokoh incumbent tersebut mendapat masukan banyak kalangan agar presiden jangan terlalu banyak merasa terdzolimi dan meminta iba pada khalayak ramai. Sebab, sikap itu terlalu naïf dilontarkan seorang RI 1 dan dapat menurunkan kewibawaan. Sebenarnya jika presiden tak berlebihan mereaksi, tanggapan publik terhadap tingkah polahnya tak sebesar ini. Justru ungkapan presiden tidak pada tempatnya itu, malah menjadi konsumsi media massa yang hilirnya menjadi bahan perbincangan berbagai lapisan masyarakat. Mencermati fragmen di muka, hendaknya presiden tak terlalu over dalam memberikan feed back terhadap aksi-aksi massa. Karena hanya menghamburkan energi dan mengurangi konsentrasi kerja. Biarlah publik yang menilai dengan akal sehat dan hati nuraninya. 

Di segi lain, masyarakat hendaknya juga dapat melestarikan demokrasi dengan beradab menyalurkan aspirasi. Sebab inilah tantangan bersama hidup di era keterbukaan dan demokrasi. Akhirnya ada baiknya merenungi ungkapan bijak dari salah seorang wakil DPR RI, Anis Matta. Bekerja di alam demokrasi ibarat tidur di samping rel kereta. Mau menunggu suasana tenang untuk tidur tidak akan bisa, karena kereta selalu lalu lalang setiap saatnya. Oleh sebab itu, kita perlu membiasakan berada dalam lingkungan gaduh agar dapat terlelap dan terus beraktivitas di hari berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Tidak ada komentar: