Senin, 05 Juli 2010

Tinjau Ulang Ujian Nasional

Dimuat di Lampung Post, 16 Desember 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



 SEJAK dimulai tahun 2003, pelaksanaan ujian nasional (UN) menuai banyak kontroversi. Mula segala muara pro-kontra itu ialah dijadikannya standar angka yang naik setiap tahunnya sebagai penentu kelulusan. Ini artinya, mayoritas pola pembelajaran yang diasah ialah ranah kognitif belaka. Kendati ada syarat kelulusan lain, seperti mata pelajaran bersubstansi moral atau akhlak (afektif), keterampilan (psikomototik), dan harus lulus ujian sekolah. Akan tetapi, semua hasil belajar siswa selama tiga tahun hanya akan ditentukan dalam tempo tiga hari, yakni saat ujian nasional. Insiden UN ini berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur keberhasilan dari segi hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya hanya akan memfokuskan proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN, karena hasil UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun demikian, pola belajar mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang ditawarkan di UN dan kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. 

Inilah yang berpotensi memunculkan kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah. Kesemuanya dilakukan demi satu kata pragmatis; lulus. Jika pemerintah tetap bersikukuh menghelat UN, efek mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Suasana kelas dan proses transfer ilmu akan seperti bimbingan belajar. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out) UN berulang. Hal ini tentu mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh. Peserta didik pun kesehariannya akan diajari memecahkan soal dan menghafal fakta-fakta. Seakan-akan roh keilmuan yang disalurkan tidak ada. Dampak lain juga menjalar pada lingkup sosial. Peserta didik yang tidak lulus akan dijustifikasi "bodoh", dan memutuskan tali jenjang pendidikan, karena tak bisa melanjutkan sekolah. Bak petir di siang bolong, tekanan sosial ini membuat peserta didik depresi bahkan ada yang berniat bunuh diri. Berpijak dari perkara di muka, banyak orang tua dan pendidik yang peduli akan pendidikan, mengajukan gugatan ke pengadilan terkait UN. Alhasil, pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat, pengadilan tinggi DKI Jakarta serta Mahkamah Agung (MA), mengabulkan gugatan kembali warga negara (citizen law suit) karena pemerintah dianggap tak mampu menyelenggarakan pendidikan secara merata dan layak. Sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas, Pasal 11 Ayat (1). "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi". Pemerintah seakan tergesa-gesa memutuskan kebijakan UN. Momentumnya tidak tepat. Rasionalisasinya, UN tidak mungkin dilaksanakan jika delapan lingkup standar pendidikan nasional standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik, dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian belum dipenuhi. 

Seharusnya BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) selaku badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan, menganulir kebijakan UN dari Depdiknas. Sebab, pemerintah secara luas belum menuntaskan delapan standar di atas. Selain itu, kemajemukan kemampuan satuan pendidikan amatlah kontra antara sekolah di kota besar yang serbacukup dengan sekolah di perdesaan yang masih berbenah. Sebaran pendidik pun belum merata, karena mayoritas memilih mengajar di kota dengan pertimbangan gaji dan segala kemudahannya. Belum lagi MTs, MA, dan sekolah swasta lainnya yang tak mendapatkan bantuan pemerintah. Maka menjadi diskriminatif jika UN tetap diberlakukan. 

 Jika disangkuteratkan dengan gagasan Suharsimi Arikunto dalam bukunya Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, UN bukanlah evaluasi pendidikan, melainkan hanya mengukur (measurement), yakni membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Sesuatu tersebut adalah UN dibandingkan dengan satu ukuran angka sebagai standar kelulusannya. Maka penilaiannya bersifat kuantitatif. Sedangkan evaluasi meliputi langkah mengukur dan menilai. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu (UN) dengan ukuran baik buruk (afektif dan psikomotor) kedua aspek terakhir yang lebih mengetahui adalah pendidik. Penilaian pun bersifat kualitatif. Maka, amatlah naif jika pendidik, orang yang dekat dan mengenal karakter serta kompetensi peserta didik tidak dilibatkan langsung dalam evaluasi pendidikan. 

 Oleh sebab itu, evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 yang bermakna "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan", haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni memberi otonomi pada sekolah, dan menjadi PR pemerintah untuk mengembangkan KTSP secara serentak. 

Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: