Kamis, 19 Agustus 2010

Membaca dan Menulis

Reorientasi bagi kutu buku dan pejuang pena... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Sungguh bangunan Islam ini dipahat oleh orang yang rabun baca, tetapi ia memiliki pandangan yang melampaui zamannya. Adalah niscaya peradaban Islam ini didirikan oleh orang yang lumpuh menulis, tetapi ia dapat mencipta generasi terbaik yang tiada terulang sepanjang sejarah. Dialah Muhammad saw. Akan tetapi, janganlah kita maknai bahwa Nabi tidak menganjurkan dua aktivitas penting dalam sejarah pembangunan Islam, yakni membaca dan menulis. Allah tidak memberikan kemampuan baca dan tulis kepada Muhammad ialah bagian dari strateginya agar ajaran yang dibawa anak Abdullah itu murni pesan dari langit dan dapat segera diterima kaumnya. “Dan sekiranya kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang kafir itu berkata, ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata (Q.S. Al An’am: 7). Dalam lembaran Lauh Mahfudz lainnya diterangkan “berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi (tidak bisa baca dan tulis).… dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Al A’raaf:158). 

Demikian keterangan Allah akan maksudnya. Agar kaumnya yang notabene juga buta aksara dan gagap menulis dapat menerima ajaran Muhammad secara logis. Bahwa Rasulullah mendapatkan bimbingan langsung dari sang Khalik semata. Terlepas dari dua argumen di muka, ummat Islam diperintahkan untuk giat membaca dan menggoreskan pena. Lihatlah satu kalimat imperatif Al Qur’an yang rutin turun selama dua puluh tiga tahun diawali dengan lima ayat “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Rabbmulah yang Maha mulia, Yang mengajarkan manusia melalui perantaraan kalam, dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al Alaq:1-5). 


Dr. Raghib As Sirjani dalam bukunya “Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca”, menafsirkan kalimat Allah di muka menjadi dua hal. Pertama, membaca itu harus dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka. Maksudnya membaca itu haruslah dengan niat karena Allah dan sesuai aturan Allah untuk kemaslahatan bumi dan manusia, serta demi kebaikan dunia dan akhirat. Kedua, setiap insan yang membaca suatu ilmu, janganlah menjadikan sombong akan ilmu yang dikuasainya. Sebab, Allahlah yang memberikan ilmu kepadanya. “Bertakwalah kepada Allah dan dialah yang telah mengajarimu (Q.S. Al Baqarah:85). 

Di sisi lain, aktivitas menulis pun dititahkan dalam The Holy Qur’an, “Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Q.S. Al Qalam: 1). Para Mufassirin atau ahli tafsir mengatakan, jika Allah bersumpah dengan makhluknya, maka ciptaannya itu memiliki peranan penting dalam kehidupan. Dalam konteks ayat ini adalah pena, dan kegunaannya dijabarkan pada kalimat berikutnya yakni untuk menulis. Sebab, dari tulisanlah kita dapat mengkaji pesan Allah. Bayangkan jika Al Qur’an tidak diabadikan berwujud tulisan di zaman Khalifah Umar bin Khatab, mungkin kaum muslimin akan kesulitan menelaah norma bimbingan hidup tersebut. Tanpa tulisan pula sejarah takkan dikenang, ia mungkin hanya kilasan kehidupan tanpa makna. Menulis itu mengikat ilmu, menyampaikan ilmu, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan meneguhkan keimanan. Orang yang gemar membaca dan menulis tidak akan cepat pikun, karena fikiran dan hatinya dinamis bekerja. Tidak ada peradaban di bumi ini yang menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai penopang kejayaan selain Islam.

Adian Husaini dalam bukunya “Penyesatan Opini” menjelaskan bahwa aktivitas menulis yang dibawakan seorang wartawan dan penulis lepas maupun siapa saja ialah ibarat periwayat hadist. Hadist atau sabda Nabi akan dikatakan shahih (kuat atau valid) manakala bersumber dari periwayat yang beriman, jujur, dan moralnya terjaga. Sebaliknya, ucapan dan tingkah polah baginda Rasul tersebut akan disimpulkan dha’if (lemah) jika penulisnya tercela secara pemikiran dan sikap keseharian. Sebab, ide bermula dari tempurung kepalanya tidak ada niatan untuk menyebarluaskan kebajikan dan menghapuskan keburukan. Membaca mesti ditradisikan dan menulis menjadi wajib diupayakan. Sebab, kita akan dianggap serakah karena banyak ihwal yang dibaca (realita dan buku) tetapi nihil tulisan sebagai manifestasi mengkampanyekan ilmu. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Tidak ada komentar: