Rabu, 22 September 2010

DPR Kok Begitu

Dimuat di Suara Mahasiswa, Harian Jogja, Selasa, 21 September 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Usulan pembangunan gedung baru DPR senilai 1,6 Trilyun menuai penolakan publik. Akhirnya setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, pimpinan DPR sepakat untuk menunda pendirian kantor anyar yang rencananya dilengkapi dengan kolam renang, spa, toko, apotek, dan tempat kebugaran. Rakyat jelas menolak. Dari survei Charta Politika menunjukkan 80,5 persen responden tidak setuju dengan kantor bagus anggota dewan. Padahal, jika dianggarkan untuk iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) duit sebanyak itu cukup untuk 22 Juta warga miskin selama setahun.

Artinya jika dikaitkan dengan teori public policy (kebijakan publik), kebijakan yang diambil wakil rakyat di Senayan tidak memenuhi berberapa asas. Pertama, pembangunan gedung mewah berdesain huruf N tidaklah rasional. Apalagi dilengkapi dengan kolam renang dan ruang spa. Seakan pejabat publik di Jakarta tidak memiliki rasa malu kepada rakyat yang telah mempercayakan mereka duduk di kursi parlemen. Muncul pertanyaan apakah ditopangnya fasilitas sedemikian rupa akan meningkatkan kinerja dewan legislatif? Padahal tahun 2010 saja dari 70 rancangan undang-undang yang menjadi target, yang terealisasi baru 7 RUU. Artinya tugas legal drafting (membuat dan meratifikasi undang-undang) tidak mainkan dengan apik oleh DPR.



Kedua, kebijakan ini tidak berpihak para rakyat (not pro poor). Tentu khalayak sulit menerima kemegahan yang disuguhkan, di tengah himpitan ekonomi dan maraknya pengangguran yang berakibat kemiskinan massal. Seakan penduduk Indonesia dilukai bertubi-tubi. Setelah surut usulan dana aspirasi yang dihaluskan menjadi dana pembangunan pedesaan sebesar 1 milyar per desa atau kelurahan. Di mana jika negeri ini memiliki 72.000 desa, maka negara harus merogoh kocek 72 trilyun. Belum lagi gagasan pengembangan rumah aspirasi yang masuk rencana strategis DPR 2010-2012 di 77 daerah pemilihan dengan alokasi 300 juta per anggota dewan yang dianggarkan ke negara. Kini publik dikagetkan dengan pengajuan pendirian kantor baru DPR seluas 120 meter persegi, yang menurut Mardian Umar selaku Kabiro Pemeliharaan dan Instalasi Setjen DPR keberadaan gedung baru sangat mendesak. Ihwal ini tentu menghina akal sehat publik yang sejatinya mendapat pelayanan prioritas.

Gedung bermahar 1,6 trilyun jelas inefisien. Tetapi malangnya, ketua DPR Marzuki Alie yang juga merangkap ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) berkeras tetap melanjutkan. Kendati diputuskan ditunda untuk dikaji ulang biaya pengeluarannya, penulis mengamati hal ini hanyalah sandiwara politik sembari menunggu publik lupa. Sebab, tipikal sebagian masyarakat Indonesia masih mengidap penyakit amnesia sejarah. Meskipun juga mudah diingatkan dan diprovokasi. Bisa jadi, kasus kontruksi ruang kerja baru layaknya mal ini terus ditimbul tenggelamkan sampai rakyat jenuh dan merelakan dengan terpaksa terrealisasi.

Penulis mencermati tugas DPR pada aspek controling (memantau kebijakan dan keputusan eksekutif) cukup baik dijalankan kendati mayoritas DPR di isi Partai Demokrat yang juga dominan di pemerintahan. Tetapi seiring manuver kebijakan egois yang sibuk memuliakan diri sendiri, DPR justru wajib dikontrol oleh media massa dan gerakan massa.

Akhirnya jika DPR senantiasa mengeluarkan usulan dan kebijakan yang tidak populis dan menyayat hati rakyat, ekses negatifnya ialah masyarakat luas tidak akan percaya (distrust) pada pemerintahan negara. Kekecewaan itu manifestasinya bisa dilihat dari minimnya tingkat partisipasi rakyat di pemilu dan pilkada mendatang, dan lebih memilih membentuk barisan Golput. Jika faktanya demikian, peristiwa ini sangat buruk bagi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Karena, baik tidaknya iklim demokrasi tampak dari kesadaran, kepedulian, dan keikutsertaan masyarakat memberikan suara. Sebab, intisari demokrasi ialah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute 

Tidak ada komentar: