Kamis, 30 September 2010

Jangan Lari dari Sejarah

Dimuat di Suara Merdeka, Kamis, 30 September 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Presiden Soekarno pernah berujar historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan). Kata mutiara di muka kemudian disalin dalam diksi bahasa Indonesia menjadi “jari merah” (jangan lari meniggalkan sejarah). Berpijak dari petuah the founding father di atas, agaknya publik patut mengingat kembali akan makna keistimewaan Yogyakarta yang diabadikan dalam maklumat 5 September 1945. Pasalnya kini khalayak ramai khususnya warga pribumi Yogyakarta buta sejarah tentang maklumat Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menandai bergabungnya Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sejarawan UGM Prof. Djoko Suryo menjelaskan pada mulanya Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Jawa yang didirikan oleh Pangeran Haryo Mangkubumi atau Raden Mas Sujana tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti, buah perjuangan melawan campur tangan Belanda melalui sarikat dagangnya VOC terhadap kerajaan kala itu. Sejak saat itu, Kasultanan Yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri. Artinya berdaulat ke dalam dan ke luar, memiliki kawula (rakyat), dan diakui oleh negara lain. Negeri monarki ini berlanjut turun temurun mempunyai Raja hingga Hamengkubuwono X yang menjabat gubernur DIY kini. Rentang waktu 1900-1940 Yogyakarta berkembang menjadi pusat kota pendidikan karena banyaknya sekolah menengah yang didirikan pemerintah atau organisasi swasta. 

Selain itu, dari kota ini pula menjadi awal mula munculnya pergerakan pemuda Indonesia, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, dan dijadikan tempat kongres Budi Utomo. Pada akhir tahun 1941 Jepang masuk Yogyakarta. Negeri Nipon tersebut memandang rendah pemerintahan di sana dengan kecenderuangan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dengan Kasultanan. Melihat hal ini Pakualaman (PA) VIII memutuskan untuk bergabung dan disetujui Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dengan berkantor di Kepatihan setiap hari menjalankan pemerintahan. (Sudomo Sunaryo, 2010). Dari Kepatihan inilah terdengar berita diproklamasikannya Indonesia 17 Agustus 1945 dan HB IX serta PA VIII memutuskan mengirimkan surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menginginkan bergabung ke pangkuan NKRI. 

Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan amanatnya yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang berisi. Pertama; Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab secara langsung kepada presiden Republik Indonesia. (KR, 5 Sept 2010). Jika mengamati statement tersebut, makna daerah istimewa ialah karena; berbentuk kerajaan, berkuasa penuh atas wilayahnya sendiri, dan akuntabilitas Raja kepada presiden RI dalam bingkai NKRI. Presiden Soekarno menyambut baik permintaan ini dan sebagai imbal jasanya, ia memberikan piagam pengakuan atas otoritas Yogyakarta tanggal 6 September 1945. Pascakemerdekaan, Yogyakarta dijadikan tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. 

Setelah proklamasi Jakarta terancam serbuan tentara Belanda. HB IX kemudian menawarkan kepada pemerintah pusat berpindah ibu kota ke Yogyakarta. Sejarah mencatat Yogyakarta pernah menjadi ibukota RI (1945-1950) dan benteng pertahanan kokoh yang melakukan revolusi. Perang selama 6 jam di Yogyakarta, 1 Maret 1949 dan perjuangan diplomasi antara lain perundingan KTN menjadi saksi peran Yogyakarta mempertahankan NKRI. Tetapi kenapa kini anggota DPR (komisi II) begitu rumit dan lambatnya mengesahkan RUU Keistimewaan Yogyakarta, dan hanya berkutat pada persoalan cara pengisian Gubernur dan wakilnya. Ya, penuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Tidak ada komentar: