Sabtu, 18 September 2010

Mengevaluasi Hasil UN di Yogyakarta

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pengumuman hasil ujian nasional di DIY menjadi kado terburuk menjelang hari pendidikan nasional 2 Mei mendatang. Pasalnya, Yogyakarta yang dijuluki kota pendidikan dengan kompetensi pendidikan, kelengkapan fasilitas, dan kemudahan akses pendidikan tak berbanding positif dengan hasil evaluasi proses belajar mengajar. Tercatat 23,70 persen siswa dinyatakan tidak lulus ujian nasional (UN) atau setara dengan 9237 pelajar dan merupakan tertinggi di pulau Jawa. Angka ini menguat drastis empat kali lipat ketimbang tahun 2009 yang hanya mencapai 1825 mitra didik. Malangnya lagi di kabupaten kota tidak ada sekolah menengah atas yang meluluskan anak asuhnya hingga 100 persen. Tak heran jika insiden ini menuai sorotan media massa. 

Ihwal ini tentu menjadi bahan evaluasi bagi dinas pendidikan pemuda dan olah raga (Disdikpora) DIY. Ironisnya angka ketidaklulusan tertinggi di pulau Jawa ini hanya dikomentari miring oleh para pemangku kebijakan. Munculnya statmen dari policy maker (pengampu kebijakan) di DIY kendati banyak siswa yang tidak lulus ujian tetapi jogja berpredikat provinsi terjujur dalam pelaksanaan UN dan ketatnya pengawasan tim independen luar sekolah membuat anak-anak SMA tak menuai hasil positif, justru menista, merendahkan, dan mengaburkan nilai kejujuran itu sendiri. Pernyataan ini bisa ditafsirkan terbalik, jika tidak jujur para pelajar dapat lulus dan memperoleh hasil maksimal. Begitupun tanggapan ketua Disdikpora yang menyatakan besarnya nominal ketidaklulusan karena santer beredar jawaban soal palsu justru kontradiktif dengan label daerah terjujur dalam perhelatan UN yang dikumandangkan pemerintah sendiri. Logikanya, jika dugaan ini benar berarti Jogja bukan daerah terjujur. 

Penulis menganalisa ada pelbagai problem mendasar yang berakibat buruknya hasil pemetaan mutu pendidikan di Yogyakarta. Pertama, adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/ 2010 yang menyatakan bagi peserta didik yang tidak lulus UN dapat melakukan ujian ulangan justru dijadikan “dewa penolong” oleh siswa. Dalam benak mereka mungkin terbesit kenapa mesti serius dan giat belajar mempersiapkan UN jika tidak lulus dapat melakukan ujian ulangan dan jika tak lulus ujian ulangan dapat menempuh ujian paket. Bukankah yang penting lulus. Apalagi jadwal penyelenggaraan UN selisih dua hari dengan jadwal seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Sebagaimana komentar siswa yang dilansir media lokal mereka lebih fokus mengikuti ujian masuk PTN. Kedua, adanya kebijakan lokal berkaitan pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), yang dapat membantu siswa yang tidak lulus untuk tetap dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi bisa jadi melenakan siswa. Hal ini membuat para murid menjadi berleha-leha dan bersantai ria, sebab sudah memiliki garansi lulus SMA. 

Ketiga, suasana proses belajar mengajar dalam mempersiapkan UN dapat merusak sistem pendidikan. Suasana kelas dan proses transfer ilmu menjadi seperti bimbingan belajar. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out) UN sampai dua belas kali. Aktivitas ini tentu akan mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa setiap harinya. Peserta didik pun kesehariannya akan diajari memecahkan soal dan seakan-akan roh keilmuan yang disalurkan tidak ada. Akhirnya kebijakan UN ini hanya akan menguntungkan pihak bimbingan belajar (bimbel) yang memproses secara sekejap kiat anak memecahkan soal. Dapat dirasakan, pengaruhnya ialah anak terbiasa dengan simbol-simbol maupun kisi-kisi belaka dan tak mewujud pada sikap mental serta pembentukan karakter anak. Keempat, model pembelajaran yang digunakan pendidik dalam menyalurkan ilmunya khususnya bagi kelas tiga menjadi ekspositori. Karena pelimpahan ilmu menjadi tergantung pada pendidik.

Ihwal ini dapat terlihat dengan kebiasaan mendikte soal ujian dengan panduan kisi-kisi yang diberikan. Repotnya jika prediksi soal yang diberikan tak keluar dan soal UN tak sesuai dengan pemecahan perkiraan soal yang diajarkan hal ini akan menyusahkan peserta didik dan dijadikan sumber alasan jika gagal lulus UN. Seharusnya model pembelajaran yang disuguhkan ialah heuristic di mana guru menjadikan murid sebagai mitra belajar dengan memberikan konsep dasar keilmuan sehingga mereka akan adaptif dalam menyelesaikan soal berwujud apapun. 

Banyaknya pelajar yang tidak lulus di Jogja memberikan tekanan psikologis karena mereka tidak dipersiapkan untuk gagal. Ditambah lagi tidak dewasanya menerima kenyataan. Dampaknya menjalar pada lingkup sosial. Peserta didik yang tidak lulus akan dijustifikasi. Bak petir di siang bolong, tekanan sosial ini membuat peserta didik depresi bahkan ada yang berniat bunuh diri. Kini, yang perlu dilakukan pemerintah setempat ialah melakukan pembinaan dan rehabilitasi mental serta mempersiapkan mereka menempuh ujian ulangan yang akan dihelat Mei besok. Karena, soal yang diberikanpun tidak jauh berbeda dengan UN. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja sekolah dan pendidik mutlak dilakukan, sebab keduanya adalah instrumen penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 

Tidak ada komentar: