Kamis, 30 September 2010

Mengkritisi Kunjungan Kerja DPR

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Sabtu, 25 September 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Belum reda membuat heboh publik dengan rencana pembangunan gedung baru yang menelan uang rakyat 1,6 Trilyun. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai kecaman khalayak lantaran kunjungan kerja yang menyedot uang negara ratusan milyar. Hal ini berkaitan dengan agenda survei komisi IV sebanyak 21 orang ke Belanda dan Norwegia untuk mengetahui bagaimana kedua negara tersebut merancang undang-undang Holtikultura sebagai pertimbangan membuat regulasi dan kebijakan yang akan diterapkan di Indonesia. Negeri kincir angin dipilih karena merupakan pengekspor terbesar Holtikultura dan pelopor teknologi pertanian modern. Indonesia yang memiliki area tanam yang luas tidak disertai dengan pengelolaan pertanian yang baik. Alhasil 7 juta hektar lahan tidak produktif tergarap. 

Kunjugan kerja lainnya dilakukan komisi X yang melawat ke Korea Selatan, Jepang, dan Afrika Selatan untuk mengakaji urai undang-undang kepramukaan. Studi banding selama tiga minggu itu menguras uang 3,7 milyar yang terbagi rata pada 13 anggota parlemen yang ikut ke sana. Negara terakhir mengundang tanda tanya, kenapa tidak ke Amerika Serikat atau Kanada yang menurut beberapa pengamat lebih maju kepramukaannya. Merujuk data Indonesia Budget Centre (2010), alokasi anggaran untuk kegiatan studi banding DPR ke luar negeri berjumlah 162,9 Milyar. Rinciannya, total anggaran kunjungan kerja terbagi menjadi empat tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Pertama, fungsi legislasi (legal drafting) (73,4 Milyar), fungsi pengawasan (controlling) 45,9 Milyar, fungsi anggaran (budgeting) 2,026 Milyar, dan jatah untuk kerja sama internasional senilai 41,4 MIlyar. 

DPR RI

Menurut Anis Matta (wakil ketua DPR) agenda kunjungan kerja ini memang sudah sesuai dengan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan pembagian minimal kunjungan dua kali setiap anggota DPR per tahun. Tetapi benarkah kunjungan kerja ini mempermudah proses legislasi? Padahal di tahun 2010 saja dari 70 rancangan undang-undang yang menjadi target, baru teralisasi 7 RUU. Dengan hasil 1 RUU ditolak dan satunya lagi adalah penyelesaian masa sidang II. Sehingga hanya 5 UU yang dihasilkan DPR tahun ini. Tentu ihwal ini sangat kontraproduktif. Apalagi jika melihat dari 21 anggora dewan yang ke Eropa, 13 anggota diantaranya tidak bisa berbahasa Inggris. Kekurangan aspek bahasa ini tentu menghambat pola komunikasi dan transfer ilmu yang diberikan. Lebih miris lagi jika yang berangkat adalah anggota yang baru aktif, sementara saat pembahasan RUU sering bolos atau diam saja. Sikap seperti ini tentu sangatlah tidak mencerminkan anggota parlemen. Sebab, menurut bahasa parlemen berasal dari bahasa Prancis yakni Parlee bermakna bersuara, berbicara. Jika pejabat publik di Senayan hanya diam saja saat sidang, apa kata dunia. 

Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (FITRA) mencatat dalam APBN perubahan 2010 kunjungan kementrian negara dan anggota parlemen mengalami kenaikan 48 Milyar. Adapun total nominal rupiah yang habis digunakan kunjungan mancanegara ialah 19,5 Trilyun. Jika dirinci pengeluaran per tahun lembaga kepresidenan mencapai 179 Milyar, DPR merogoh kocek 170 Milyar, dan alokasi dana plesiran kementrian kesehatan tertinggi dengan 145 Milyar diantara kementrian lain. Anggaran paling boros ada di struktur Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) yakni 119 Milyar. Menurut koordinator advokasi sekretariat nasional FITRA, Ucok Sky Khadafi, jika setiap petugas TKHI yang diberangkatkan ke Arab Saudi setiap tahunnya membutuhkan dana 61 Juta per orang, ini berarti hampir dua kali lipat Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 2010 sebesar 32 juta per kepala. Secara legalitas formal aktivitas kunjungan kerja memang ada dasarnya. 

Kini yang perlu dilakukan penulis menawarkan beberapa kiat penghematan. Pertama, mendatangkan pakar luar negeri atau pengambil kebijakan terkait objek yang dikaji. Kedua, penulis sepakat dengan gagasan Anas Urbaningrum untuk menghapus agenda plesiran tetapi di sisi lain menambah tugas dan wewenang KBRI di negara setempat untuk memenuhi kebutuhan Indonesia mencara data-data khusus di negara tersebut. Ketiga, yakni memangkas keikutsertaan anggota dewan yang ikut. Cukup beberapa anggota perwakilan partai di setiap komisinya. Keempat, dengan cara memadatkan jadwal kunjungan. Semisal, dari jatah dua kali kunjungan setahun menjadi satu kali dan disertai pertemuan bilateral lainnya. Kelima, data seperti RUU Kepramukaan dan Holtikultura sebenarnya dapat diperoleh melalui internet atau memanfaatk jaringan parlemen dunia untuk bertukar fikiran dan informasi. Jika demikian, alokasi dana tidak tergerus habis dan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan ummat lainnya. Semoga anggota DPR segera sadar dan membayar kesalahannya dengan kerja produktif dalam membuat UU pro keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: