Kamis, 02 September 2010

Tradisi Mudik Orang Udik

NB; 2 tahun ini penulis memutuskan tidak mudik di bulan puase...


Negeri ini memang penuh seremonial dalam perayaan setiap hal. Ramadhan disambut gegap gempita dengan memajang kalimat “penghormatan” dalam spanduk di ruang strategis keramaian kota. Begitupun televisi, tak luput dari puluhan iklan penyemarak. Produk-produk makanan, kartu celuller, hingga sinetron mendadak bernuansa Islam demi menyesuaikan tuntutan pasar. Seakan-akan pemilik modal ingin menjadikan bulan suci ini penuh konsumtif. Ihwal ini tentu bertolak belakang dengan pesan yang terkandung dari puasa, yakni menahan diri dari urusan perut bahkan dibawah perut demi kebersihan hati agar dikategorikan insan takwa sebagai orientasinya.

Sepuluh hari terakhir memang menjadi ujian kesungguhan manusia dalam pelaksanaan rukum Islam ketiga. Pada umumnya shaf masjid akan berkurang jama’ahnya dan pasar atau mal akan penuh sesak dengan orang pemburu busana. Belum lagi godaan mudik bagi orang udik, yang seakan memiliki medan magnet tersendiri untuk menarik orang desa kembali ke kampung halamannya. Tradisi penyambutan ramadhan hingga mudik mungkin hanya ada di Indonesia, satu kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam kultural masyarakat nusantara.

Jika ditinjau secara sosiologis, penulis mengamati seseorang akan rindu suasana kebersamaan, spiritual tradisional, hingga kearifan lokal yang tidak di dapat di perkotaan. Sebab, nuansa interaksi sosial di kota besar umumnya sangat kurang dan lebih condong individualistis. Belum lagi keringnya suasana spiritual. Sikap ini berdampak pada rasa solidaritas sosial yang lemah. Ihwal ini tentu berbanding terbalik dengan fitrah manusia sebagai makhluk zoon polition yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan sentuhan orang lain. Pada persoalan apapun itu. Oleh sebab itu, kita dapat memahami petuah orang Jawa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” (makan atau tidak, yang penting kumpul). Inilah pesan kebersamaan yang inheren (terikat tanpa sekat). Untuk berbagi dan memecahkan persoalan bersama. Dan kesemua itu hanya didapat di kampung. Suatu tempat sebagai medium pengakraban dengan cita rasa lokal untuk merajut kembali rasa kebersamaan yang hilang. Inilah dibalik tradisi mudik. Inilah budaya massa yang menggejala. Inilah aktivitas sosial untuk berlepas diri dari cangkang kerdil kedirian menuju agung khidmat pada ummat.


Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

akuvivit.blogspot.com

Aktivis KAMMI UNY dan Transform Institute Jogjakarta
Kini sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Takwinul Muballighin

Tidak ada komentar: