Rabu, 20 Oktober 2010

Meminimalisir Plesiran Kerja DPR

Dimuat di Lampung Post, Kamis 7 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seorang pengamat politik mengatakan, anggota DPR RI sudah memiliki semua hal. Gaji melimpah, fasilitas, dan tunjangan tetapi satu hal yang tidak mereka miliki; rasa malu. Ya, agaknya pernyataan ini selaras dengan aktivitas komisi IV dan X yang melakukan kunjungan kerja ke Eropa, Afrika Selatan, Jepang dan Korea Selatan untuk menambah referensi dalam prosesi pembuatan RUU Holtikultura dan Kepramukaan. Malangnya aksi plesiran tersebut menghabiskan uang rakyat 3,7 Milyar rupiah. Kegiatan ini merupakan rangkaian kebijakan sedemikian rupa yang merogoh kocek saku rakyat dalam-dalam. Sebelumnya telah muncul usulan dana aspirasi 1 milyar per desa, rancangan gedung baru DPR berfasilitas wah spa, apotek, dan kolam renang yang disetting layaknya mal sebesar 1,6 Trilyun. Kini uang tiga milyar lebih terbagi rata ke 34 orang anggota parlemen yang terbang ke mancanegara di tengah kondisi ekonomi rakyat yang tidak merata. Bahkan muaranya memunculkan konflik horizontal baru-baru ini. 

DPR RI

Data yang dilansir Indonesia Budget Centre tahun 2010 ini menyatakan alokasi dana untuk studi banding anggota DPR ke luar negeri berjumlah 162,9 milyar rupiah. Adapun rincial detailnya terbagi menjadi empat tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Pertama, fungsi legislasi (legal drafting) yang membutuhkan duit 73,4 Milyar. Kedua, controlling atau fungsi pengawasan dengan alokasi 45,9 milyar. Ketiga, fungsi anggaran (budgeting) 2,026 milyar dan keempat, porsi rupiah untuk kerja sama internasional dalam forum parlemen dunia mengambil uang 41,4 milyar. Di sisi lain, jika mencermati fluktuasi anggarannya, Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (FITRA) melaporkan, APBN perubahan 2010 kunjungan kementrian negara dan anggota parlemen mengalami lonjakan nominal 48 milyar. Sedangkan total uang yang dihabiskan untuk kunjungan ke negeri manca ialah 19,5 trilyun. Jika dirigidkan lagi, pengeluaran per tahun lembaga kepresidenan paling tinggi mencapai 179 milyar, disusul DPR 170 milyar per tahun. Sedangkan lembaga kementrian yang memperoleh jatah uang paling banyak ialah kementrian kesehatan RI dengan 145 milyar diantara kementrian lain. 

Memang secara legalitas formal undang-undang kegiatan kunjungan ke luar negeri ini mempunyai landasan kerja penggerak sebagaimana diamanatkan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan pembagian minimal dua kali kunjungan setiap anggota dewan per tahun. Tetapi benarkah satu kegiatan ini memudahkan proses perumusan pembuatan UU? Faktanya di tahun 2010 saja dari 70 RUU yang menjadi target DPR baru terealisasi 5 UU. Ihwal ini tentu menunjukkan kontradiksi maraknya aktivitas dengan hasil kerja yang tidak produktif. Atau dalam perspektif ilmu manajemen agenda survei ke negeri orang tidak efektif (tepat guna) berkaitan dengan UU yang dihasilkan dan efisien (berdaya guna) terutama borosnya anggaran negara yang dikeluarkan. 

Oleh sebab itu, kegiatan pejabat negara ke luar negeri dituntut untuk transparan ke publik, seperti term of reference kunjungan untuk apa dan melaporkan hasil kunjungannya. Sehingga nantinya rakyat dapat menilai seberapa signifikan dengan produk UU yang dibuat pejabat Senayan. Di sudut lain, plesiran pejabat ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan beberapa hal. Pertama, mendatangkan pakar luar negeri berkaitan dengan objek yang diteliti. Kedua, penggunaan teknologi internet untuk pencarian data dan memanfaatkan jaringan parlemen dunia. Ketiga, menambah tugas dan wewenang KBRI yang berada di negara lain, untuk mencari data yang diperlukan Indonesia. Hal ini akan menghapus kesan publik bahwa pemerintah terkesan menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan ke negeri jiran, kendati kunjungan kerja juga tetap diperlukan.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: