Rabu, 20 Oktober 2010

Menyoal Sistem Kontrol Anggota DPR

Dimuat di Suara Merdeka, 16 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Banyaknya anggota DPR yang bolos kerja sudah menjadi penyakit akut dan isu lama yang mengemuka. Masyarakat, aktivis LSM, dan media massa pun telah mengkritik dan mengolok-olok budaya mubazir ini. Tak hadirnya anggota dewan saat rapat, membuat rapat ditunda karena tak memenuhi kuorum. Dampaknya rancangan undang-undang (RUU) pun tak kunjung usai disahkan dan tetap menumpuk di meja kerja. Entah sikap gerah atau tertekan opini publik, wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso menginstruksikan pimpinan fraksi untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggotanya yang sering alpa. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan menyuguhkan usulan absensi menggunakan finger print (sidik jari) dan hukuman berupa pemotongan tunjangan. 


Ihwal ini menjadi wacana dan perbincangan publik mengenai efektivitasnya. Benarkah pengurangan tunjangan ini menjadi tindakan efektif, sebab mayoritas anggota dewan orang kaya raya. Banyak masukan agar diterapkan sistem kontrol wakil rakyat di Senayan. Menurut penulis, ide ini justru menurunkan wibawa anggota dewan. Sebab, orang yang duduk di Jakarta ialah orang pilihan hasil seleksi pemilu legislatif dari berbagai provinsi di Indonesia. Mengamini argumen Anis Matta, DPR bukan perusahaan tetapi lembaga politik sehingga tak perlu kontrol berlebihan. Jika DPR diawasi terus, anggota dewan diposisikan seperti anak TK. Ada pula yang menginginkan bagi yang sering bolos kerja dipecat, dipangkas gajinya, atau namanya dipajang di lampu merah pinggir jalan. Jika difikir, pembahasan sistem kontrol yang mengimbas efek jera membuat publik terjebak pada persoalan teknis semata. Dan ini merupakan langkah mundur, seharusnya yang digagas sekarang ialah seperti apakah output kerja dewan yang hendak diupayakan dan bagaimana indikator penegasnya. 

Sebaiknya substansi kinerja inilah yang menjadi topik perumusan, bukan perkara adminstratif saja. Sehingga jika output atau hasil kerjanya baik, maka kemajuan ini dapat sedikit banyak menutup aib aktivitas tercela bolos kerja. Setidaknya sebagai pejabat publik, setiap personal wakil rakyat haruslah mawas diri. Jika mereka terus-terusan tak hadir rapat, hal ini akan meruntuhkan citra dirinya. Imbasnya masyarakat tidak akan memilih dirinya dalam pemilihan legislatif mendatang. Kontrol dapat dilakukan perwakilan daerah pemilihannya mengenai kebermanfaatan dirinya untuk dapil, dewan pimpinan partaipun harus garang dan lantang menindak tegas anggotanya yang mbalelo (nakal dan khianat terhadap janjinya). Begitupun media massa dapat berperan sebagai wacth dog (anjing pengintai) bagi siapa saja anggota DPR yang mangkir di jam kerja. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar: