Senin, 10 Januari 2011

Membaca Transisi Media Cetak ke Elektronik

Dimuat di Lampung Post, 27 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Akankah media cetak punah?

Perbincangan kapan media cetak berganti ke media elektronik sudak lama didengungkan. Semakin berkembangnya teknologi membuat banyak orang mengira tak lama lagi media cetak akan tenggelam. Kini banyak media cetak yang menawarkan diri dalam wujud media online agar dapat diakses oleh warga lintas pulau atau bahkan antarnegara. Kenyataannya media cetak masih bertahan hingga saat ini. Bahkan semakin variatif dan bertambah. Baik media komunitas seperti di lingkungan kampus, maupun media lokal yang menawarkan warta, isu, dan opini kedaerahan. 

Menurut Muhammad Sulhan (pakar ilmu komunikasi UGM), transisi media cetak ke elektronik akan berdampak pada perubahan tren budaya literasi dan aspek sosial. Saat membaca media cetak masyarakat dapat membuka lembaran koran secara bergantian dari halaman satu ke halaman lain. Hal tersebut akan mengakomodasi rasa kebersamaan dalam komunitas sosial. Tetapi saat beralih ke media elektronik, anda akan menjadi individualis karena lebih nyaman sendiri dengan “nongkrong” di depan kotak jinjing laptop maupun personal computer (PC). Nilai lebihnya ditinjau dari komunikator, media elektronik dapat menjangkau massa lebih luas. Ketersebarannya pun maksimal, cepat, dan efisien. Dari segi pengaruh pun media elektronik jauh lebih luas. Bahkan pada titik jauh pembaca menjadikan media online acuan hidup dengan kemudahan saat membutuhkan informasi, permirsa hanya perlu menekan kata kunci dan klik. Maka tampillah di muka. Begitupun adanya situs pencari seperti google, wikipedia, memang melenakan. Tetapi juga harus diakui takaran positifnya. 

Rumah Pensil Publisher

Di sesi lain, Supadiyanto (Kepala Sekretariat Pewarta Warga Indonesia (PPWI) menyorotinya siapa yang untung dan siapa yang buntung dari dampak transisi ini. Apakah keniscayaan ekspansi media online akan membumihanguskan media cetak? lantas apakah media cetak sudah tidak diperlukan lagi?. Itu pertanyaan telaknya. Adanya koran memang dapat menghidupi banyak kalangan. Mulai dari wartawan, pegawai percetakan, iklan, marketing, sampai loper koran sekalipun. Apa dampaknya jika peralihan media cetak ke elektronik terjadi. Pegawai media mungkin akan kena PHK karena tidak diperlukan lagi. Justru pembacalah yang diuntungkan karena dapat mengakses dengan simpel dan hemat.

Lalu kapan terjadinya? Sedari dulu pengamat media sudah meramalkannya. Tapi hipotesisnya tak kunjung tepat. Buktinya media cetak masih tetap eksis. Ambil contoh, data yang dilansir Internet World Stats (2008) Negara-negara yang penetrasi internetnya (media online) tinggi seperti Belanda 82,9 persen, Denmark 80,4 persen, Jepang 73,8 persen, Singapura 67,8 persen dan Jerman 67 persen. Kenyataannya media cetak di negara tersebut masih terjaga eksistensinya. Di Indonesia harian Kompas misalnya, bertiras 500.000 eksemplar atau lebih, sedangkan terbitan buku di negeri ini rata-rata 2.000-5.000 eksemplar. Hanya ada sejumlah kecil terbitan buku yang pernah dicetak 10.000-50.000 eksemplar dalam waktu satu tahun. Transisi media cetak ke elektronik memang sulit diprediksi. Layaknya kematian yang tak dapat di tebak dan sulit dimengerti. 

Hemat penulis, kendati hegemoni media elektronik menjalar lebar, media cetak masih tetap dibutuhkan saat ini. Paling tidak media berkertas ini dapat digunakan untuk menyalurkan informasi kepada khalayak yang belum melek teknologi. Selain itu, “transaksi” antara komunikan dan komunikator dapat dikontrol langsung, jika terjadi penyaluran informasi yang bertentangan atau bahkan merusak norma sosial. Akan tetapi, yang terpenting dari muara perubahan ini ialah, janganlah mensirnakan budaya literasi. Membaca dan menulis adalah tradisi dan warisan ulama Islam yang patut dilestarikan sebagai tonggak terbangunnya peradaban. So, tunggu apalagi, perbanyaklah membaca dan menulislah mulai hari ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute di Yogyakarta

Tidak ada komentar: