Senin, 10 Januari 2011

Meneladani Kemandirian Nabi

Jika anda mengaku umat Muhammad, Sejauh mana anda mengenalnya... 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Setiap memeringati hari maulud nabi. Satu catatan refleksi, kadang kala kita hanya pandai mengagumi tanpa bisa meneladani. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya Muhammad The Leader dan The Manager mengatakan, satu fragmen kehidupan Nabi yang jarang sekali disorot orientalis dan dicontoh kaum muslimin pada umumnya ialah profesi Muhammad sebagai seorang entrepreneur (wirausaha). Padahal jika dikalkulasikan Muhammad berwirausaha atau berdagang lebih lama waktunya ketimbang menjadi menjadi Nabi dan Rasul. Anak Abdullah tersebut berinisitif magang dagang (internship) diusia 12 tahun. Di umur 17 tahun Muhammad sudah dapat mandiri dengan berdagang hingga usia 37 tahun. Sedangkan Muhammad diangkat menjadi Rasul diusia 40 tahun dan mengakhiri hidup di usia 63 tahun. Ini artinya rentang waktu menjadi pedagang yaitu 25 tahun, atau selisih dua tahun lebih banyak ketimbang menjadi Rasul selama 23 tahun. 

Keputusan ini diambilnya karena tekanan kondisi psikologis dan sosial semenjak ditinggal ayahnya ketika berada dalam alam prenatal (kandungan), Muhammad hanya hidup bersama Ibunya selama 6 tahun. Selanjutnya diasuh Abdul Muthalib hingga usia 8 tahun. Setelah ditinggal pergi kakeknya, kemudian dibawa oleh Abu Thalib. Jika pembaca membuka Sirah Nabawiyah, lanskap sosial paman Rasulullah ini tergolong sederhana dan apa adanya. Rangsangan kondisi lingkungan yang penuh keprihatinan inilah yang memaksa Muhammad memilih berdagang sebagai jalan hidup dan mencukupi kebutuhan sendiri di usia 12 tahun. Di usia muda ini Muhammad sudah melakukan traksaksi dagang ke Syam (Yaman). Peristiwa ini dapat dimaknai dengan ekspor impor barang. 

Rumah Pensil Publisher

Kesemua ini terjadi bukan secara alamiah belaka. Tetapi ada intervensi atau campur tangan dari Allah untuk mensetting manusia paripurna ini dengan memupuk kemandirian sejak dini. Sebab, jika orang memutuskan untuk mandiri mengambil tanggungjawab hidupnya dan berserah diri kepada Allah sembari berikhtiar mencapainya, maka ihwal ini otomatis akan menambah keberimanan seseorang serta berdampak pada keshalihan pribadi dan sosialnya. Itulah mengapa Hasan Al Banna menempatkan khadirul alal khasby (berkuasa atas keuangannya sendiri) pada fase keempat dalam muwashafat atau standar kompetensi yang harus dicapai seorang muslim. Setelah aqidahnya lurus, ibadahnya benar, dan akhlaknya baik. Mandirinya seseorang akan meningkatkan kualitas hidup dan memengaruhi cara pandang orang lain terhadap diri kita. Kata orang Jawa, pribadi mandiri akan lebih (diwongke) dimanusiakan, dan dihargai. Bahkan Imam Ahmad mengatakan salah satu kriteria seorang mufti (pemberi fatwa) ialah mandiri. 

Penulis pun lebih dapat memahami kenapa perantau itu jauh lebih sukses daripada warga pribumi. Karena warga pendatang sudah berikrar untuk mandiri di tanah orang. Berlepas diri dari segala ketergantungan orang lain. Niat awal ini akan memaksa diri untuk berfikir, potensi apa yang dapat diberdayakan dan dikerjakan agar dapat menghasilkan uang. Kesemuanya tidak berangkat dari zona nyaman. Karena begitulah orang-orang besar dilahirkan. Tokoh besar yang lahir dari rahim sejarah pada umumnya berada dalam lingkungan tertekan dan jauh dari kenyamanan. Muhammad terlibatnya urusan dagang sejak kecil. Maka tak heran jika banyak suara hadist shahih keluar dari beliau terkait aspek dagang. Sebab, sabda itu muncul dari orang yang faham realitas dagang secara teori dan praktik. 

Bahkan Nabi berpidato di Haji Wada’ untuk mengingatkan kepada umatnya agar berdagang secara fair atau jujur dan memberikan pesan moral agar umat Islam tidak merugi di akhirat nanti karena pola bisnis yang riba, haram, dan tidak bermoral. Akhirnya firman Allah yang menegaskan “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. Al Ahzab: 21). Tidak hanya ditafsirkan meneladani dari sisi aqidah, ibadah, dan akhlak saja. Tetapi juga dari segi kemandirian dan setiap jejak aktivitas hidupnya tanpa mengurangi dan melebihkan baginda Nabi. 

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Tidak ada komentar: