Jumat, 07 Januari 2011

Mengurai Politik Dinasti di Era Demokrasi

Dimuat di Harian Jogja, 11 Januari 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Tahun 2010 menjadi masa penuh intrik elit politik di tengah pemerintahan yang hendak menapak tahun kedua. Agenda kebangsaan dan kerakyatan pun terhambat persoalan internal yang tak kunjung tamat, seperti tidak solidnya setgab (sekretariat gabungan), mengambangnya kasus Century, dan aksi mafia pajak, sangat menguras waktu dan energi pemerintah saat ini. Di lain tempat, pimpinan parpol (partai politik) ramai menggadang-gadang RI-1 kendati pemilihan presiden masih empat tahun lagi. Suara lantang penuh pemafhuman berkumandang dari Taufik Kiemas. Pembesar PDI-P sekaligus ketua MPR ini menyatakan Megawati ada kemungkinan tak akan maju di pertarungan presiden 2014. Meskipun tingkat akseptabilitasnya bagus saat disurvai, faktor usia agaknya menjadi pertimbangan. Siasatnya, Puan Maharani selaku anak tunggalnya kini mulai diorbitkan ke publik sebagai investasi popularitas. 

Partai penguasapun tak mau ketinggalan, cepat atau lambat partai Demokrat mulai memikirkan pengganti SBY yang tak bakal maju lagi di arena pilpres. Hipotesa penulis, calon internal Demokrat belum ada sosok yang mengemuka dan dianggap menjual ke khalayak. Anas dan Abas masih terlalu muda, tak heran jika anggota dewan pembina Ahmad Mubarak berkomentar partai nasionalis religius ini membuka calon eksternal untuk diusung menjadi capres. Opsi kedua ialah mendorong Ibu Ani Yudhoyono untuk dicalonkan. Meskipun Pak Beye berulang-kali tak akan mengajukannya, tetapi mencermati kondisi partainya krisis kader tentu hal ini akan difikir ulang. Agaknya terlalu prematur memang berbicara calon presiden 2014. 

Rumah Pensil Publisher

Jika dalihnya untuk menakar keberterimaan calon di tengah masyarakat, tetapi bukankah kinerja perorangan selama masa karya KIB jilid II atau tiga tahun ke depan dapat dijadikan pertimbangan mendasar untuk memunculkan tokoh. Menyaksikan drama politik di muka, iklim demokrasi di negeri ini masih di tataran formalitas. Gejala politik donasi (money politic) dan politik dinasti (transisi kepemimpinan berdasarkan trah darah) kini mulai laku di pasaran. Agaknya akar feodalisme dan suksesi ala monarki mulai mendapat legitimasi partai politik. Jika diusut aktivitas ini sudah melestari sejak era Soekarno ke Megawati (kini ke Puan Maharani), Soeharto memberi ruang mbak Tutut dan Tommy untuk berpolitik, Gus dur mewariskan Yenny Wahid, dan kini menular SBY ke istrinya. Tidak ada yang salah. Tidak selamanya prosesi ini menimbulkan kegagalan. 

Hanya saja menurut peneliti LIPI Syamsuddin Haris, yang dikritik adalah unsur nepotisme politik yang ada di dalamnya. Dampaknya partai politik sebagai wadah idealisme tidak melembaga sebagai organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para aktivis partai yang idealis berjuang meniti karier politik dari bawah tetapi juga perangkap berkembangbiaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai yang berimplikasi memunculkan praktik korupsi. Faktanya rezim Soeharto dengan enaknya menguras harta rakyat dan malah dibagi rata untuk Tommy Soeharto dan anak cucunya. Di satu sisi hal ini merupakan efek samping terburuk dari politik dinasti. 

Penulis menganalisis sebab musababnya pertama, buruknya regenerasi partai politik yang berakibat krisis figur pengganti. Kedua, alam demokrasi memungkinkan semua orang lintas profesi menggunakan hak politiknya untuk dipilih termasuk kerabat dekat petahana. Ketiga, politik pragmatis atau jangka pendek partai yang ingin melanjutkan kekuasaan pemerintahan tanpa mempertimbangkan kompetensi calon pengganti dan malah lebih mengutamakan calon terdekat incumbent yang popularitasnya tinggi. Konsekuensi logisnya, publik harus kritis terhadap budaya politik di muka dan tak terbawa arus wacana untuk menentukan sikap politiknya.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: