Selasa, 26 April 2011

Discuss “Menggugat Eksistensi Ahmadiyah”

Masjid Gandok Mulia, PPTM, 24 April 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Masih menggantungnya persoalan Ahmadiyah dan maraknya teror bom yang mendera, membuat Pondok Pesantren Takwinul Muballighin Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Mengungkap Propaganda Ahmadiyah dan Teror Bom di Indonesia”. Bertempat di Masjid Gandok Mulia PPTM, 24 April 2011, acara yang dimulai jam 9-12 WIB mengundang Ustad Fathurahman Kamal, Lc. M. Si (Direktur Institute Pemikiran Islam) dan Ustad Tindyo Prasetyo (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai pemateri. “Kita semua yang di sini haruslah berdoa agar presiden SBY diberanikan diri untuk berkata ‘Ya’ (bubarkan Ahmadiyah). Sebab, semuanya sudah jelas. Karena info yang saya peroleh dari beberapa sumber di pemerintahan, mereka sudah clear terkait kasus Ahmadiyah” ujar Ust. Fathur memulai materi. 

Diskusi publik rutin bulanan yang dihadiri tiga puluhan santri, masyarakat, dan aktivis mahasiswa ini bertujuan sebagai medium pencerahan ummat terhadap problematika keIslaman dan kebangsaan. Adapun kasus Ahmadiyah ini bukanlah menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tetapi termasuk penistaan terhadap agama Islam. “Sebernarnya Mirza Ghulam Ahmad tidak layak menyebut dirinya Ahmadiyah, tetapi lebih tepat dipanggil Kadzabiyah. Berasal dari kata Kadzab=pendusta. Sebab, setelah Rasulullah meninggal banyak sekali muncul Nabi palsu termasuk diantaranya ialah Musailamah Al Kadzab. Dan hanya Indonesialah, negeri dengan produsen nabi palsu terbesar di dunia” tegas Ustad yang juga menjadi Direktur Ma’had Ali ini. Bahkan Soekarno yang tidak pernah menjadi santri di pondok pesantren pun memberikan pernyataan jelas ‘Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]’ terangnya dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. 

Begitupun dengan filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India kala itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Islam and Ahmadism, cetakan Da‘wah Academy Islamabad, 1990 hlm. 8). Penganut Qadiyaniyah (demikian Muhammad Iqbal) menyebutnya menafkan sabda Nabi Muhammad ‘khatamun nabiyin’ bukan sebagai penutup para Nabi. Tetapi makna khatam hanyalah sebuah cincin (ring). Mirza Ghulam Ahmad (MGA) mengklaim penunjukkan Allah terhadap dirinya menurutnya adalah ‘wahyu’ sebagaimana termuat dalam Kitab Tadzkirah yang berbunyi “Al-Masih anak Maryam, Rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap” (Tadzkirah, hal. 190. Terjemah dinukil dari kitab Da’watul Amir). Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan (Da’watul Amir, hal. 190-1910). 

Padahal baginda Nabi Muhammad telah berkata “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Pengakuan juru bicara Ahmadiyah yang sering terdengar di televisi bahwa Ahmadiyah tetap bersyahadat sebagaimana mestinya umat Islam dan tidak mengakui MGA sebagai nabi hanyalah omong kosong belaka. Buktinya dapat dilihat pada pernyataan Ir. Syarif Ahmad Lubis, M.Sc., Ketua PB JAI “Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat Tuhan. Jadi, bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja diantara hamba-hamba yang dipilih-Nya”. (Sumber : Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 1.). Jadi telah jelas kebusukan Ahmadiyah sesuai fakta dan data di lapangan. Pun, mengenai otentisitas wahyu. Jika benar MGA adalah utusan Allah harusnya kitab Tazkirah buatannya menggunakan bahasa Urdu karena dia lahir dan hidup di India. 

Dalam slide materi Ust. Fathur menulis “Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (Q.S. Ibrahim: 4) Karena itulah Al-Qurân diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Suryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan-India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab? Bagi mereka wajar kalau di Tazkirah pun terdapat kosakata Arab, sebab di dalam Al-Qurân juga terdapat beberapa kata non-Arab. Faktanya bahwa Al-Qur’an juga mengandung kosakata non-Arab, meski itu ditentang oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Sedangkan yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat Arab yang sama persis dengan Al-Qurân, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan”. Maka terbukalah segala aib Ahmadiyah. Dan adalah keharusan bagi umat Islam menuntut pembubaran atau memilih membentuk agama baru.

 Sementara di termin lain, Ust. Tindyo Prasetyo fokus pada analisa teror bom di Indonesia. Ust. Yoyok, demikian beliau akrab disapa mengatakan ada banyak aktor yang bermain dalam kasus ini termasuk jaringan media massa dan tokoh intelektual yang memberikan komentar miring dan menyudutkan umat Islam. “Teror bom yang marak ini hanyalah skenario untuk mengkambinghitamkan umat Islam. 

Oleh sebab itu, umat Islam harus membuat skenario di atas skenario untuk menangkis serangan isu tersebut”. Anggun, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menanyakan “kenapa kasus Ahmadiyah hanya marak terjadi di rezim SBY. Kenapa di era Soekarno dan Soeharto tidak demikian?”. Merespon lontaran tanya tersebut Ust. Yoyok berkomentar “Karena kalau di era Soeharto umat Islam ditindas dengan pemaksaan asas tunggal pancasila. Sementara di kini kita hidup di era reformasi, masing-masing agama maupun ormas diberikan kebebasan untuk melaksanakan aktivitasnya sepanjang tidak melanggar norma-norma negara” tanggapnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Takwinul Muballighin

Tidak ada komentar: