Selasa, 19 April 2011

Menakar Peluang Capres Independen

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wacana calon presiden (capres) perseorangan digaungkan kembali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menghadapi pemilu 2014 nanti. Penulis menganalisa, dengan membawa isu capres independen seakan DPD ingin meneguhkan posisinya dalam trias politika kekuasaan dengan cara mengajukan amandemen UUD 1945. Sebab, selama ini posisi DPD antara ada dan tiada atau abu-abu. Dengan sistem bikameral (dua pintu) peran DPD hanya sebatas pengawal dan penyuara daerah tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang otonomi daerah dan melakukan fungsi controling secara mutlak karena harus menyampaikan hasil pengawasannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti melalui hak-hak anggotanya seperti hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. 

Inilah yang dikritisi La Ode Ida (Wakil DPD RI) dkk untuk direvisi pada Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur syarat pengajuan presiden oleh parpol ditambah oleh calon perseorangan. Rumusan nalarnya orang-orang DPD merujuk Amerika Serikat, negara yang dianggap modern sistem pemerintahannya. Peran Senat (DPD) dapat menveto kebijakan atau Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan House of Representative (DPR AS). Artinya RUU dapat menjadi UU untuk dijalankan manakala mendapat restu Senat (DPD). Itulah sebabnya DPD di sana disebut strong bicameralism atau memiliki peranan kuat dibanding eksekutifnya. Sedangkan DPD di Indonesia dikatakan soft bicameralism karena berbanding terbalik, yakni DPR RI lah yang dapat menveto kebijakan maupun usulan eksekutif. Ihwal ini amat merendahkan DPD, mengingat DPD merupakan corong aspirasi daerah dari 33 provinsi. Contoh, kasus Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta kini tak kunjung tuntas karena mandek di DPR. Padahal DPD sepenuhnya telah mendukung penetapan provinsi DIY. Jika menerapkan teori Strong Bicameralism ala C.V. Strong (Pakar politik AS) tentu polemik RUUK sudah rampung sebelum masa jabatan Sultan HB IX berakhir. 

Peluang dan Faktor Pendukung 

Di termin lain, cerita DPD tentang kesuksesan calon independen kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 20 persen, seperti di Sumenep, Madura dan Papua Barat ingin dibawa ke tingkat nasional melalui jalur capres independen. Kendati tidak memenangi pilkada tetapi setidaknya mendapatkan dukungan cukup kuat di tengah masyarakat. Pengalaman empiris inilah yang menjadi premis gagasan capres independen diprediksi akan mendapatkan dukungan khalayak. Jika dianalisa gagasan ini dilatari beberapa hal. Pertama, tren kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung menurun karena tak kunjung mereformasi diri dan mengalami degradasi integritas khususnya dalam proses rekrutmen kader. Selama ini parpol hanya dijadikan alat administrasi politik untuk meloloskan calon kepala daerah atau legislatif yang tebal kantongnya tanpa menyeleksi secara ketat, apakah orang tersebut kredibel dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Walhasil marak sekali terjadi money politic dan memunculkan demokrasi transaksional dalam kancah demokrasi nasional hingga lokal kadaerahan. Kedua, egoisnya parpol besar yang mengusulkan 3-5 persen sebagai ambang batas dalam parliamentary treshold dan 20 persen suara pemilu nasional bagi parpol sebagai syarat mengajukan tokohnya menjadi presiden, membuat partai kecil berkonspirasi dan bersatu padu mendukung adanya capres independen. Sebab, konsep ini lebih terbuka bagi tokoh partai kecil seperti Yusril Izha Mahendra, tokoh kapable namun tak didukung parpol seperti Sri Mulyani, atau tokoh parpol yang tersisih dari partainya yaitu Surya Paloh. Ketiga, memberikan rasa keadilan bagi seluruh warga untuk berpartisipasi politik sebagaimana diamanatkan konstitusi UUD 1945 BAB XA tentang hak asasi manusia Pasal 28D ayat 3 “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 

Lantas bagaimana syarat dan proses kontrolnya nanti? Inilah yang akan menuai perdebatan pelik nantinya. Selain itu, jika ada seseorang yang menjadi presiden melalui jalur independen dapat dipastikan akan terseok-seok langkahnya karena tidak memiliki dukungan kuat di parlemen. Acuan Dmitry Metvedev (presiden Rusia) yang menjadi satu-satunya capres independen di dunia saat ini tidaklah tepat lantaran Rusia menganut partai tunggal berideologi komunis yang begitu mengakar di negeri Eropa timur itu. Keempat, untuk membuka kran demokrasi di internal parpol. Sebab, jika ada tokoh berkapasitas, namun takluk di internal parpol. Dia dapat menggunakan sarana capres independen untuk maju dalam bursa pencalonan presiden. Ihwal ini akan membuat iklim demokratisasi berpolitik di internal (kader parpol) maupun eksternal (masyarakat umum) menjadi dinamis. Seperti Yudi Chrisnandi (eks politisi Golkar, kini masuk Hanura) dan Priyo Budi Santoso (wakil DPR RI) mereka berkompeten, namun tersisih oleh kekuataan uang Ical. Untuk maju dalam bursa calon presiden mendatang mereka dapat menggunakan jalur capres independen. Sebab, partai akan tetap mengusung orang berduit karena mahalnya ongkos demokrasi di negeri ini. 

Tantangan ke depan 

 Hingga kini ide capres independen masih debatable dan mendapat tentangan keras dari sejumlah partai politik. Penulis mencermati penolakan ini dilandasi dua aspek. Pertama, kalangan tokoh parpol menganggap ada upaya deparpolisasi. Sebagai kendaraan politik parpol mulai tidak laku ditumpangi karena pelayanannya yang tidak memuaskan. Orientasi parpol terlihat pragmatis untuk menduduki kekuasaan tanpa ada program jangka panjang dan konkret demi kemakmuran rakyat. Ditambah lagi proses rekrutmen yang tidak selektif dan hanya menerima tokoh berkantong tebal yang diusung maju menjadi bupati maupun gubernur. Imbasnya regenerasi politik tidak sehat. Kedua, adanya capres independen akan memunculkan saingan baru bagi partai politik. Dapat dipastikan respon parpol yang duduk di parlemen adalah menolak. Dengan berdalih untuk saat Indonesia belum siap untuk mengadopsi konsep ini. 

Jika nanti ada sekitar 1000 tokoh yang mengajukan diri menjadi capres independen, rakyat akan menjadi bingung dan suara politiknya akan banyak terpecah. Akhirnya diperlukan beberapa kali putaran pemilu yang menyerap banyak uang untuk menentukan presiden. Tak berhenti di sini. Untuk mewujudkan capres independen, DPD dan Gerakan Pendukung Capres Independen Seluruh Indonesia yang dikomandoi Fajroel Rahman dkk harus menghadapi tiga aral rintang. Pertama, pengajuan revisi UU Pemilihan Presiden, dengan menambahkan presiden dapat didukung oleh partai politik, gabungan partai politik dan calon perseorangan. Kedua, bersamaan dengan itu DPD mengusulkan amandemen konstitusi. Diperlukan persetujuan dua pertiga anggota MPR untuk meloloskannya. 

Kedua langkah ini akan berat karena akan mendapat tekanan parpol dengan rasionalisasi sebagaimana disebutkan di atas. Jika gagal, langkah ketiga adalah mengajukan judicial review (uji materi) seperti yang dilakuan Fajroel Rahman 2009 silam. Agaknya ikhtiar ini juga akan mendapat penolakan karena harus mendapat restu lima dari sembilan hakim konstitusi. Sebab, amandemen UUD 1945 terlalu riskan dan sensitif. Namun, masih ada waktu membentang 2,5 tahun ke depan untuk memperjuangkannya. Jika diratifikasi akan menjadi inovasi baru dalam iklim demokratisasi di bumi ibu pertiwi. Jika kandas, biarlah sejarah mencacat proses pendewasaan dan ikhtiar perbaikan demokratisasi yang mungkin akan dilanjutkan anak cucu nanti. Wallahu’alam. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Tidak ada komentar: