Rabu, 13 Juli 2011

Alokasikan APBD untuk Kesejahteraan

Dimuat di Suara Karya online, Senin, 11 Juli 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Sepekan terakhir moratorium dan pensiun dini bagi pegawai menjadi isu serius. Ini berkaitan dengan tidak idealnya porsi anggaran belanja pegawai yang harus ditanggung pemerintah pusat dan daerah. Anny Ratnawati (Wakil Menkeu) mengungkapkan, dana APBN yang dikirim ke daerah mencapai Rp 393 triliun. Sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai. Laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memaparkan, rata-rata total kenaikan belanja pegawai Rp 15 trilun lebih setiap tahun. Terhitung sejak 2005 yang hanya Rp 54,3 triliun menjadi Rp 112,8 triliun tahun 2008 dan melonjak menjadi Rp 180,8 triliun di tahun 2011. Atau, melompat rata-rata 44% dari APBD 2007 menjadi 55% pada 2010. Jika lonjakan anggaran rutin ini terus terjadi selama 2-3 tahun ke depan, dikhawatirkan keuangan daerah akan bangkrut. Imbasnya, pembangunan dan dana operasional untuk program kesejahteraan masyarakat akan tersendat.

Padahal konsepsi desentralisasi agar pembentukan pemerintah daerah dapat mempermudah pelayanan masyarakat melalui segala kebijakan yang diambil. Secara teori, kebijakan berkorelasi positif dengan anggaran untuk melicinkan program. Jika anggaran mayoritas malah tersedot di anggaran rutin, ini menjadi masalah. Sebab, anggaran pemberdayaan kerakyatan menjadi buncit.

Rumah Pensil Publisher

Laporan Fitra mengindikasikan APBD 2011 terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60% dan belanja modalnya (1-15%). Dari 124 daerah tersebut, bahkan memiliki belanja pegawai di atas 70%. Rekor tertinggi dicatat Kabupaten Lumajang yang mencapai 83% dana APBD untuk menggaji PNS. Maka, untuk menyeimbangkan belanja pegawai dan modal untuk program. Gagasan pemberhentian rekrutmen PNS dan pensiun dini patut dikaji. Efek positifnya tentu dapat memangkas APBD anggaran rutin sehingga dapat dialokasikan ke program pemerintah lainnya. Seperti untuk memperbaiki fasilitas umum seperti rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya serta menambah pasokan dana untuk operasional pendidikan. 

Kiat terakhir penting diupayakan, pendidikan adalah jaminan ketersediaan SDM yang mumpuni ke depan. Untuk mewujudkannya pendidikan gratis jenjang SD dan SMP sedikit demi sedikit perlu diikhtiarkan demi terjalankannya wajib belajar 9 tahun sebagaimana amanat konstitusi. Pemerintah Daerah Bekasi sudah merealisasikannya mulai tahun ini. Sehingga, di masa mendatang pemerintah dapat sekaligus menyiapkan wajib belajar 12 tahun sebagaimana digadang-gadang pemerintah dewasa ini.

Kedua, memberikan permodalan bagi unit UKMM sebagai roda ekonomi masyarakat hingga dapat berjalan dan membuka lapangan kerja massal. Produk kerajinan dan ketrampilan daerah dapat dijadikan daya jual untuk dipasarkan di lokal domestik dan mancanegera. Dampaknya bagi pemerintah daerah dapat menambah penghasilan melalui retribusi dan pajak penjualan. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: