Jumat, 01 Juli 2011

Si Kaya Haram Beli BBM Subsidi

Termuat di Harian Jogja, Jum'at, 1 Juni 2011

Rendahnya produktivitas minyak dan tingginya permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM), membuat pemerintah berfikir radikal untuk menanggulanginya. Langkah pembatasan premium, penggunaan kartu untuk membelinya, hingga menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuai kontroversi. Pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Saleh dengan MUI kemarin bertujuan agar para ulama turut menyosialisasikan BBM bersudsidi hanya diperuntukkan warga miskin dan haram jika orang kaya membelinya. Sebab, subsidi ini sudah menggunakan uang negara yang sangat besar hingga 95,9 Trilyun. 

Rumah Pensil Publisher

Selain itu, jika tak mampu mensubsidi karena defisit anggaran, pemerintah akan untang ke luar negeri. Maka menjadi tidak adil jika kalangan berpunya turut menikmatinya. Kendati belum menjadi fatwa, tetapi dalam konteks teologis. Pemerintah dalam hal ini kementrian ESDM sudah menjadi muftafti atau peminta fatwa. Tidak ada yang salah memang. Tetapi jika maksud pemerintah ingin menutupi kegagalan pengelolaan hulu migas dengan memanfaatkan stempel MUI, ihwal ini patut ditentang. Sebenarnya selain rapuhnya tata kelola hulu migas, pemerintah juga bingung untuk mengklasifikasikan mana kalangan the have (kaya) dan siapa masuk kategori the poor (miskin). Problem pemilahan ini saja masih diperdebatkan. Apalagi jika nanti dibuat peraturan hitam di atas putih, berpotensi terjadi kericuhan di masyarakat akar rumput. Beberapa pengamat menyatakan, keinginan pemerintah menggandeng MUI untuk merencanakan fatwa haram bagi orang kaya beli BBM subsidi, merupakan strategi pemerintah untuk mengalihkan konsumen membeli Pertamax. Meskipun tidak mengalami kelangkaan tetapi Pertamax mengikuti harga pasaran dunia yang cenderung tak disukai. 

Menurut Kurtubi (pakar perminyakan), salah satu solusi untuk menanggulangi perkara ini ialah agar pemerintah memenuhi target produksinya. Jika masih tak mampu, maka mau tak mau kenaikkan harga BBM dapat menjadi opsi. Tetapi agaknya langkah terakhir urung untuk dilakukan. Selain dapat membuat murka khalayak, polesan citra rezim bisa luntur dan menurunkan tingkat elektabilitas di pemilihan umum mendatang. Kedua, untuk menaikkan pendapatan negara ekspor gas ke Meksiko dan Jepang dapat digalakkan dengan catatan memperhatikan kebutuhan dalam negeri. Rezim SBY-Boediono sedang diuji dengan sebuah keputusan sulit. Jika tidak masak-masak difikirkan dapat menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Sebab, isu kenaikan harga BBM selalu menjadi isu sensitif karena berkorelasi dengan harga kebutuhan pokok masyarakat luas. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Tidak ada komentar: