Jumat, 01 Juli 2011

Upaya Memproteksi Buruh Migran

Dimuat di Harian Suara Karya, Rabu, 29 Juni 2011 

Langkah pemerintah melakukan moratorium atau pemutusan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi belumlah memecahkan pokok persoalan. Kebijakan tersebut hanya sekadar wujud protes yang dapat menjadi bumerang di wilayah domestik. Dipangkasnya pengiriman TKI sama saja dengan dihapusnya lapangan kerja di luar negeri. Imbasnya para calon TKI di tanah air akan membludak dan berpotensi meledaknya jumlah pengangguran. Data menunjukkan hingga Februari 2011 ada sekitar 8,32 juta pengangguran. Moratorium jika tak dibarengi dengan dibukanya akses lapangan kerja, pemerintah dapat dicerca oleh rakyat sendiri. 


Di sisi lain, akar masalah kekerasan terhadap TKI di Arab Saudi khususnya ialah tak adanya peraturan yang tegas dalam memberikan perlindungan kepada para pahlawan devisa. Pemerintah harus mendesak dibukanya pembicaraan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) kedua negara untuk memproteksi buruh migrant. Sebab, selama ini negeri dinasti Saud tergolong negara yang ribet duduk semeja untuk memperundingkannya. Faktor lainnya mereka masih menganggap pembantu adalah setengah budak yang dapat diperlakukan seenaknya. Eksekusi terhadap Ruyati binti Satubi menunjukkan pemerintah telah gagal dalam melindungi warga negaranya. Apalagi dalih KBRI tak tahu menahu kabar pemancungan, menunjukkan pemerintah dalam hal ini kementrian luar negeri tidak melakukan loby dan diplomasi birokrasi. Padahal dahulu di era Gus Dur mencontohkan diplomasi tingkat tinggi antar kepala negara dengan Raja Fahd, berhasil menunda prosesi pemancungan terhadap Siti Zaenab, seorang TKI Madura yang dinyatakan bersalah. Akar problem yang kedua ialah maraknya peruhaan jasa di Indonesia dalam menyuplai TKI ke mancanegara tak sesuai prosedur, pemalsuan data dan umur, hingga penempatan kerja yang ngawur. 

Pemerintah melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) harus mengevaluasinya. Jika tak kunjung segera akan ada Ruyati-Ruyati berikutnya yang diperlakukan semena-mena. Ke depan jika perundingan dan lobi pemimpin tertinggi gagal dan kesepakatan MoU juga tak juga tuntas. Permasalahan TKI kedua negara, Indonesia dapat membawanya ke forum dunia yang lebih tinggi, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) di mana Indonesia dan Arab Saudi menjadi anggotanya. Sikap ini perlu diupayakan untuk mencipta keadilan hakiki demi menjunjung hak asasi manusia.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Sleman 

Tidak ada komentar: