Minggu, 30 Oktober 2011

PPTM Menyambut Idul Adha, Perlu Bantuan untuk Bakti Sosial

Dimuat di Republika, Rabu, 26 Oktober 2011 

Bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, Pondok Pesantren Takwinul Muballighin (PPTM) akan menyelenggarakan bakti sosial pada Jumat-Ahad, 4-6 November 2011, di dua tempat, yakni dusun Krembuyang, Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan di shelter Gondang 2, Dukuh Ngepringan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Dusun Krembuyang, lokasi ini dipilih karena mayoritas dari 510 jiwa penduduknya adalah buruh tani sehingga tingkat kesejahteraan masih kurang. Selain itu, pemahaman keagamaan pun masih kurang sehingga membutuhkan bimbingan. Bahkan, setiap tahun, menurut penuturan warga, jarang sekali ada salah satu penduduk yang berkurban. 


Sedangkan, shelter Gondang 2 merupakan tempat pengungsian di lereng gunung berapi yang kini menjadi hunian sementara karena rumah warga rusak diterjang erupsi Merapi. Kepedulian dan keindahan rasa berbagi membuat PPTM hendak melakukan kontribusi sosial di sana dengan acara takbir keliling, pengajian akbar, bazar pakaian, penyembelihan hewan kurban, pemeriksaan kesehatan, festival anak saleh, dan training perawatan jenazah. Untuk memperlancar agenda tersebut, kami selaku panitia membuka ladang amal para pembaca untuk kami salurkan kepada warga di sana. Konfirmasi pemberian bantuan dapat melalui Faisal 085747504225 dan Latif 087738586215. Atau dikirimkan ke Ponpes Takwinul Muballighin, Jalan Narodo, Gang Masjid Gandok, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Atas kontribusinya, kami ucapkan terima kasih. Jazakallahu khairan katsira.


Vivit Nur Arista Putra
Santri Ponpes Takwinul Muballighin

Mentradisikan Menulis

Dimuat di Lampung Post, Senin, 24 Oktober 2011 

Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri, yang mengakibatkan suatu bangsa malas berpikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar Manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. Tercatat, tahun lalu seorang calon guru besar di Parahyangan Bandung dan dua dosen di kampus swasta Jogja tertangkap basah mengopi gugus gagasan skripsi mahasiswa S-1. Akan tetapi, insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argumen “matinya intelektualitas kampus?” Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering kita jumpai. 

Rumah Pensil Publisher

Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu diubah, karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam apa yang disampaikan dalam ruang kuliah kemudian mendengarkan kembali dan menulis, bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab, dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan, Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. 

Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. Budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan pikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. Sebab, menurut Ali Syari'ati, seorang intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Jumat, 14 Oktober 2011

Berharap Reshuffle Tak Gertak Sambal

Dimuat di Suara Karya-Online, Kamis, 13 Oktober 2011 

Isu reshuffle kini mencapai klimaksnya. Publik berharap, gonjang-ganjing perombakan kabinet tidak jauh panggang dari api. Terhitung sudah tujuh bulan, sejak 1 Maret 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjanji untuk mengevaluasi kinerja rekan koalisi. Pertengahan Maret, pidato paduka Presiden sedikit lunak dan memutuskan mempertahankan Partai Golkar dan PKS sebagai mitra koalisi. Kini, akumulasi penantian khalayak menemukan momentumnya sebelum 20 Oktober atau tepat 2 tahun umur KIB jilid dua. Rakyat berharap komentar Presiden SBY yang akan mengganti beberapa menteri tak hanya untuk menaikkan tensi politik selama sepekan ini sehingga pemerintah tampak serius mengurusi rakyatnya. 


Bongkar pasang jajaran menteri harus sesuai rapor kinerja UKP4, apalagi ada masukan agar menteri berasal dari parpol dicopot saja karena memiliki loyalitas ganda dan menjadikan kementeriannya sapi perahan untuk menambah finansial partai. Kendati ada atau tidaknya perombakan kabinet, masyarakat tak begitu terpengaruh. Masuk atau keluar parpol dari koalisi adalah urusan elite politik, yang tak berdampak bagi kehidupan wong cilik. Tetapi, jika kepala negara incumbent tidak mengambil langkah-langkah untuk membuat rakyat lebih sejahtera, akan memberikan efek negatif bagi ketua dewan pembina partai penguasa ini. 

Pertama, stigma pemimpin yang tidak dapat merealisasikan janjinya akan semakin melekat pada sosok Presiden SBY. Kedua, tak jadinya reshuffle juga akan memberikan preseden buruk bagi rekan koalisi lainnya. Yang diharapkan, perjalanan koalisi mengawal pemerintahan 3 tahun ke depan dapat efektif dan efisien. Sebab, inilah risiko politik transaksional. Tapi, akar masalahnya, fondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru sebagai upaya 'bagi-bagi kekuasaan' untuk kenyamanan kekuasaan Presiden SBY semata. Maka, pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan. Pernyataan Presiden tentang reshuffle tak ada urusannya dengan rakyat. Presiden SBY harus menjelaskan ke masyarakat apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang terkait dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau, sekadar menaikkan tensi politik agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
 Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Senin, 10 Oktober 2011

Menanti Kepastian Reshuffle

Dimuat di Nguda Rasa Merapi, Jum'at 30 September 2011. 

Tak terasa masa abdi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II hampir dua tahun berlalu. Khalayak ramai yang dimotori mahasiswa siap menyambut momentum 20 Oktober 2011 dengan aksi di jalan untuk mengevaluasi kinerja rezim SBY-Boediono. Sebab, publiklah yang merasakan hasil kerja presiden dan jajaran menterinya. LSM, lembaga survei, dan media massa selaku pilar keempat demokrasi yang berperan mengawal jalannya pemerintahan berlomba memaparkan siapa saja para menteri yang mendapat rapor merah dan mengecewakan publik. Setahun memang waktu yang relatif pendek untuk menakar kontribusi para menteri. Tetapi paling tidak ada gebrakan kerja untuk membangun pondasi program kerja strategis empat tahun mendatang. 


Burhanudin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan sesuai rapor UKMP4, Freddy Numberi (Menteri Perhubungan), Darwin Saleh (Menteri ESDM), Tifatul Sembiring (Menkominfo), Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan HAM), adalah pembantu presiden yang mendapat penilaian negatif. Belum lagi Muhaimin Iskandar yang terseret kasus korupsi di Kemenakertrans atau Musthofa Abu Bakar (Menteri BUMN) yang kini sakit-sakitan. Publik menagih janji presiden yang akan mengevaluasi setahun pemerintahannya. Hal ini tentu sangat mengecewakan, sebab kabinet ini sangat gemuk dibanding kabinet-kabinet sebelumnya. Gemuk karena diisi menteri representasi partai politik bukan kabinet ahli. Maka tak heran jika La Ode Ida menyatakan SBY harus mengganti menteri dari parpol yang memanfaatkan kementriannya sebagai sapi perahan partainya. 

Kendati SBY berpesan agar para menteri fokus kerja menuntaskan agenda bangsa, tetapi jika melihat Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (2004-2009) reshuffle tetaplah terjadi. Tercatat ada tiga pergantian menteri dan tiga menteri yang dirotasi. Seperti, Hatta Rajasa kala itu Menhub menjadi Menteri Sekretaris Negara menggantikan Yusril Izha Mahendra. Presiden SBY merupakan tipikal pemimpin yang memperhatikan opini publik yang dibangun media massa. Maka cepat atau lambat para pengamat politik memprediksikan pergantian menteri akan terjadi. Presiden harus cepat mengambil keputusan tentunya dengan pertimbangan yang matang dan rasional. Pernyataan untuk reshuffle ini penting dikeluarkan untuk meredam kegelisan para menteri dan publik yang menantikannya. Jika hendak perombakan kabinet segera lakukan, jika tidak menteri akan lebih tentram dan fokus dalam bekerja. 

Di termin lain, memang ada prestasi tersendiri di pemerintahan kali ini, seperti Menteri Koordinator Perekonomian dengan capaian sektor ekonomi makro mengalami kenaikan dari 4,5 menjadi 5,5. Prediksi bank dunia pun tepat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen lebih di tahun ini. Tetapi, klaim kemajuan di muka seperti orde baru yang mengukur keberhasilan dari kenaikan nominal angka dan tidak berdampak pada pengembangan sektor riil. Padahal sektor domistiklah yang menyelamatkan Indonesia dari terjangan krisis ekonomi global 2009 silam. Pemerintah terlalu menggembar-gembor capaian ini dengan investor negeri sakura dalam Japan-Indonesia Economic Forum. Padahal Unit Kecil Mikro dan Menengah (UKMK) banting tulang mati-matian agar tetap eksis tanpa perhatian pemerintah. Artinya alokasi kredit usaha rakyat belumlah merata dirasakan pengusaha kecil. Pengangguranpun belum dikatakan menurun drastis dari 32,5 juta menjadi 31 juta. Untuk menyerap lapangan kerja diperlukan pertumbuhan ekonomi sampai 8 persen yang mungkin menjadi tantangan pemerintah ke depan. 

Kedua, di aspek pemberantasan korupsi. Tidak ada dalam sejarah Indonesia surat kabar menampilkan berita korupsi setiap hari. Selain menunjukkan kebebasan pers, hal ini juga memaparkan berhasilnya pemberangusan koruptor melalui institusi negara produk reformasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Tipikor, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), komisi informasi, hingga MK. Belum lagi partisipasi publik yang antusias dari ICW, Pusat kajian antikorupsi FH UGM, Masyarakat Transparansi Indonesia yang turut berjihad perangi korupsi. Regulasia antikorupsi Indonesia pun terus membaik. Terakhir dilakukan harmonisasi dengan konvensi antikorupsi PBB yang diratifikasi. UU antikorupsi Indonesia juga dilengkapi UU KPK, UU antipencucian uang, UU keterbukaan informasi publik yang membantu membongkar kasus korupsi atau mafia anggaran (hal 148). Laporan kinerja KPK rentang waktu 2004-2010 terus menunjukkan peningkatan dari segi penanganan kasus untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. Alhasil data keuangan negara yang berhasil dikembalikan (asset recovery) dari korupsi maupun gratifikasi mencapai ratusan juta hingga 1 Trilyun lebih. 

Berpijak dari progress di muka yang perlu dilakukan bersama ialah memperkuat institusi pemberantasan korupsi sembari berantas mafia anggaran yang ada di parlemen, partai politik, dan peradilan yang merupakan institusi terkorup. Maka untuk mewujudkan agenda mendesak bangsa dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership) untuk mengarahkan jajarannya agar bekerja sesuai treknya. Pergantian kabinet memang hak prerogatif presiden, khalayak berharap pertimbangan reshuffle haruslah rasional dan menjauh dari aspek politis demi terlaksananya agenda bangsa dan negara yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Keputusan ini menjadi pertaruhan SBY di 2014 nanti. Baik buruknya kinerja pemerintahan akan berdampak pada tingkat akseptabilitas dan elektabilitas suara partai Demokrat di masa transisi nanti. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Perbesar Modal Pembangunan

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 29 September 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Sebanyak 124 daerah di Indonesia mengalokasikan belanja pegawainya di atas 70% dan berbanding negatif dengan belanja modalnya yang hanya 1%-15%. Demikian laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Tak tanggung-tanggung, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati pernah menyampaikan dana dari APBN yang dikirim ke daerah berjumlah 393 triliun. Jika demikian, amat sia-sialah pajak yang diambil dari masyarakat. Sebab, uang negara tidak bermuara pada pembangunan dan kesejahteraan warganya. Ini juga menjadi cerminan pemerintah tidak memiliki skala prioritas dalam menentukan politik anggaran. Lebih miris lagi pemerintah merencanakan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) 10 pada RAPBN 2012 (Republika, 6-7-2011). 

Para penyelenggara negara mengelak hal itu tak jadi soal karena APBN pun setiap tahun naik 10%. Benarkah demikian? Harusnya para pejabat berpikir. Bukankah APBN kita terserap 35% setiap tahunnya untuk melunasi utang Indonesia yang hingga April 2011 tertera lebih dari 1.600 triliun? Dan bukankah kebijakan ini kontradiktif dengan keluhan Menteri Keuangan bahwa maraknya gaji PNS membebani APBN dan APBD. Gagasan moratorium PNS dan pensiun dini pun akan terasa percuma toh gaji tetap naik juga tanpa dibarenagi baiknya kinerja. Perkara ini mencuatkan kesan publik bahwa reformasi birokrasi yang diamanatkan reformasi sejak 1998 hingga kini hanya sebatas remunerasi dan tanpa optimalisasi fungsi. 

Rumah Pensil Publisher

Selaku penulis saya mendukung pemberhentian rekrutmen PNS dan pensiun dini serta kenaikkan gaji bersyarat, artinya dapat dilakukan jika PNS bersangkuntan berprestasi. Open recruitmen PNS dapat memperhatikan faktor demografi atau berapa banyaknya masyarakat yang dilayani dan seberapa kuat kemampuan fiskal daerah untuk menggaji. Penambahan PNS tak boleh sembarangan, jika terjadi obesitas pegawai malah memungkinkan overlaping atau tumpang tindih tugas sehingga memperkeruh suasana kerja. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemendagri juga dituntut intervensi untuk merevisi UU No. 32/ 2004 tentang pemerintah daerah untuk mengatur batasan anggaran gaji. 

 Sisi positif disetopnya rekrutmen aparatur negera dan pensiun lebih awal tentu akan mengurasi beban tanggungan APBN sehingga dapat dialokasikan untuk modal pelayanan khalayak, seperti penambahan kredit usaha rakyat (KUR) bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Harapannya dapat memutar roda ekonomi masyarakat dan membuka lapangan kerja agar pengangguran yang kini mencapai 8,32 juta dapat sedikit berkurang. Konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah ialah untuk melayani masyarakat lebih dekat. Jika demikian pemerintah seyogianya lebih memperbesar modal pembangunan ketimbang modal belanja pegawai yang malah menjadi beban. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Meluruskan Makna Jihad

Dimuat di Jagongan Harian Jogja, 28 September 2011 

Peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Keputon, Solo, Jawa Tengah, Ahad (25/9) sekitar jam 10.53 dengan memakan 1 tewas dan 27 korban mengundang keprihatinan masyarakat. Melihat objek sasaran adalah tempat ibadah, dapat diduga tujuan pelaku ialah ingin memunculkan sikap saling curiga agar kerukunan antar umat beragama yang kini nyaman terjalin pecah. Hipotesa polisi mengatakan, pelaku ada keterkaitan kasus Cirebon karena lokasi pilahan bomber memiliki kesamaan. Hanya saja siapa tokoh yang dijadikan target di Solo tidak spesifik. 

Rumah Pensil Publisher

Penulis berargumen motif pelaku ada kemungkinan salah menafsirkan makna jihad dalam aksinya. Jihad berasal dari kata jahada yang berarti bersunggung-sungguh. Sikap kesungguhan tentu disesuaikan dengan kontekstualisasinya dan tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar, yaitu bunuh diri. Ihwal ini dicontohkan oleh baginda Nabi. Ketika selesai perang Badar Rasulullah bertutur setelah ini kamu akan menghadapi jihad yang lebih besar, yakni melawan hawa nafsu. Atau di sisi lain Muhammad pernah menyamakan keseriusan orang menuntut ilmu dengan jihad fii sabilillah. Sedangkan jihad qital (perang) dilakukan ketika sudah ada perjanjian dengan musuh untuk mengadakan peperangan. Dan dalam sejarah Islam, Nabi melarang kaum muslimin untuk membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan merusak rumah ibadah agama lain. 

Merujuk teladan terbaik umat ini, apa yang dilakukan Bayat di Solo bukanlah merupakan perjuangan jihad. Karena melanggar apa yang diajarkan Rasulullah yakni membuat keonaran di suatu tempat yang tidak selayaknya di kotori. Penulis juga menyesalkan sikap antisipatif dari kepolisian meskipun sudah mendapatkan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN). Penulis menghimbau agar umat tidak tersulut kobaran api provokasi yang sengaja dibuat untuk menguji kesabaran kita dalam menjalin kehidupan lintas agama. Sembari bersikap edukatif dengan memberikan pencerahan kepada generasi muda khususnya yang wawasan agamanya minim, agar tidak mudah terpengaruh doktrin parsial yang mengajak kepada kemulian berbingkai penyesatan dengan legitimasi agama. Terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama, karena yang bermasalah bukan agama. Tetapi umat yang kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu mendapat perhatian seksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama. 

Vivit Nur Arista Putra Aktivis 
Santri PP Takwinul Muballighin

Tafsir Ulang Makna Idulfitri

Dimuat di Lampung Post, 21 September 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Idul fitri telah kita lalui, tapi ada beberapa hal yang perlu dikoreksi mengenai makna Idul fitri. Kebanyakan orang menafsirkan kata ied: kembali dan fitri: fitrah atau suci. Sehingga Idul fitri disimpulkan kembali suci dengan jalan bermaafan. Selintas tidak ada yang salah. Padahal, interpretasinya tidak demikian. Ied memang berarti kembali, sedangkan fitri berasal dari kata afthara, yafthiru bermakna makan. Jadi, Idulfitri lebih tepatnya bermaksud kembali makan. Karena makan ialah pertanda puasa Ramadan telah usai dan merupakan wujud rasa syukur karena manusia telah melaksanakan kewajiban puasa selama sebulan penuh. Ihwal ini sesuai sabda Nabi yang diiriwayatkan Abu Ubaid, "Hari Raya Fitri adalah hari berbuka puasa kalian dan Hari Raya Adha kalian makan daging yang kalian sembelih di hari itu." (H.R. Ibnu Majah). Inilah mengapa disunahkan makan sebelum berangkat salat Idulfitri. Adapun Iduladha makannya setelah salat. Mengenai sebab musabab dianjurkannya perayaan dua hari raya di muka, karena kala itu di Madinah masih merayakan hari naylus (kelahiran kembali tuhan terang) dan mukhrojan, warisan tradisi Persia. Maka Nabi berpesan, sebagaimana diabadikan Imam Ahmad, Allah telah mengganti hari yang lebih baik untuk kalian, yakni Idul fitri dan Idul adha. 

Rumah Pensil Publisher

Mengenai bermaafan, sebenarnya dalam Alquran, Allah tidak menyuruh meminta maaf tetapi memaafkan. Menurut ulama hal ini lebih indah dan bijaksana.Tetapi jika kita bermaafan juga tidak mengapa karena aktivitas itu bukan merupakan tindakan tercela. Sunah Rasulnya, kita diminta melantunkan taqaballahu minna wa minkum syiyamana wa syiyamakum (semoga Allah memberkahi kami dan kalian serta puasa kami dan kalian). Jawabannya ialah minna wa minkum taqabal yaa karim dari kami dan kalian terimalah amalan wahai zat yang Mahamulia). Sebenarnya ucapan di muka adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW. Namun setelah usai sholat, sahabar menirunya. Dan Rasulullah pun mentaqrir atau mensetujuinya dan menjadi sunah hasanah hingga kini. 

Sedangkan mudik (pulang kampung) atau belanja baju baru bukanlah amalan yang direkomendasikan. Justru di sepuluh hari terakhir, baginda Nabi meminta kita untuk beriktikaf di masjid. Hari-hari terakhir Ramadan justru merupakan ujian konsistensi puasa kita. Apakah kita bisa istikamah atau takluk di tengah jalan. Bukan dihiasi budaya hedonis ber-shopping ria atau mudik yang berpotensi membatalkan puasa karena jauhnya perjalanan. Terakhir yang sering menjadi polemik ialah penentuan hilal atau munculnya bulan karena berbeda metode rukyat (melihat) dan hisab (menghitung ala astronomi). Perbedaan ini adalah rahmat dan jangan disikapi berlebihan. Meskipun demikian, kita berharap ke depan umat Islam Indonesia dapat tetap kompak, termasuk dalam penentuan 1 Syawal. Aamiin.

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Takwinul Muballighin