Minggu, 30 Oktober 2011

Mentradisikan Menulis

Dimuat di Lampung Post, Senin, 24 Oktober 2011 

Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri, yang mengakibatkan suatu bangsa malas berpikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar Manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. Tercatat, tahun lalu seorang calon guru besar di Parahyangan Bandung dan dua dosen di kampus swasta Jogja tertangkap basah mengopi gugus gagasan skripsi mahasiswa S-1. Akan tetapi, insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argumen “matinya intelektualitas kampus?” Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering kita jumpai. 

Rumah Pensil Publisher

Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu diubah, karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam apa yang disampaikan dalam ruang kuliah kemudian mendengarkan kembali dan menulis, bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab, dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan, Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. 

Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. Budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan pikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. Sebab, menurut Ali Syari'ati, seorang intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Tidak ada komentar: