Kamis, 10 November 2011

Hasil ‘Reshuffle’ Mengecewakan

Dimuat di Lampung Post, Kamis, 10 November 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Menjawab permintaan publik untuk menyusun kabinet ahli, hasil reshuffle kabinet ternyata tak membuat puas banyak pihak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan menerapkan politik akomodasi dan memasukkan kalangan profesional. Keputusan politik SBY tak tegas, lantaran tersandera kontrak politik dengan mitra koalisinya. Memang benar, SBY memiliki modal politik suara rakyat 60% lebih dari penduduk Indonesia yang mendukung dirinya. Namun, Presiden terpilih tetap membutuhkan dukungan politik di parlemen untuk melicinkan kebijakan pemerintahannya. Oleh sebab itu, berkoaliasi menjadi niscaya. Koalisi tanpa kontrak politik yang jelas inilah akhirnya mencuatkan politik saling sandera. Malangnya karena adanya jabatan ganda, seperti menjadi menteri sekaligus pimpinan partai politik. Ihwal ini membuat loyalitas ganda. Para menteri menjadi tak setia kepada Presiden, tetapi orientasi terpecah ketika juga harus menghidupi partainya dengan memanfaat posisi di kementeriannya. Buktinya, berulang kali SBY mengeluh mengenai menteri yang tak patuh pada instruksinya. 


Padahal, seharusnya ketika kader partai politik menjadi menteri, sebaiknya dia melepaskan amanah di parpolnya dan mewakafkan diri sepenuhnya untuk kemajuan bangsa dan negara. Inilah problem internal pemerintahan yang sesungguhnya. Sehingga, ketika pengumuman perombakan kabinet, sebagian khalayak merasa kecewa karena ada menteri yang berkinerja lumayan bagus diganti orang yang tidak mempunyai latar belakang relevan sesuai pos kementeriannya. Hal ini sangat kontradiktif, seperti Jero Wacik (kader Demokrat) yang tak berpengalaman mengurus bidang energi diposisikan sebagai menteri ESDM terbaru. Ada dugaan kementerian yang terkenal "basah" ini dijadikan partai penguasa lahan garapan proyek-proyek besar di dalamnya untuk supporting financial party. Sementara, dosen Universitas Cenderawasih, Balthasar Kambuaya yang seorang ekonom, malah diminta menjadi menteri Lingkungan Hidup. Terkesan SBY hanya mengakomodasi representasi geografis, setelah Freddy Numberi dipindah agar tak menimbulkan gejolak sosial mengingat Papua merupakan salah satu daerah pemantik konflik. Lebih heran lagi, Fadel Muhammad yang mendapat rapor bagus ketika menjadi gubernur Gorontalo dan tak termasuk kementerian yang nilainya jeblok versi UKP4 malah diganti pengurus Golkar lainnya Sharif Cicip Sutarjo. 

Ada kemungkinan Fadel adalah tumbal konflik internal partai beringin agar kelak popularitasnya tak naik dan menyaingi ketua umum dalam konvensi internal capres Golkar 2014. Maklum, terkenang sejarah di parpol pengusung Orba ini seorang ketua umum pernah dikalahkan Wiranto dalam konvensi internal capres 2004 kala itu. Hal inilah yang agaknya diantisipasi Aburizal Bakrie agar tak terulang. Perombakan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar ke Amir Syamsudin pun sarat tendensi. Bisa jadi rezim pemerintah ingin mengamankan kasus Century, mengingat bukti terbaru yang ditemukan BPK harus ditindaklanjuti melalui koordinasi KPK dan Kemenkumham. Yang lebih mengecewakan sosok Muhaimin Iskandar dan Andi Mallarangeng yang terseret kasus korupsi masih saja aman. 

Hal ini sangat bertolak belakang dengan keinginan publik agar mereka mundur. Kendati demikian, pemilihan tokoh profesional ke kabinet pun ada yang tepat seperti Dahlan Iskan di pos menteri BUMN atau Gita Wiryawan sebagai menteri perdagangan. Isu reshuffle ini hanya akan dipandang sebagai adegan drama agar pemerintah terkesan mengurus rakyatnya. Padahal, selama itu warga negara ditelantarkan lantaran selama dua pekan para menteri dilarang mengeluarkan kebijakan strategis karena menunggu momentum pergantian jabatan. Sementara bagi wong cilik, pergantian jajaran menteri tak ada pengaruhnya dan akan percuma jika tak memberikan dampak lebih positif ketimbang menteri sebelumnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: