Rabu, 14 Desember 2011

Perdebatan RUU Pemilu

Dimuat di Lampung Post, 7 Desember 2011. 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum untuk mengatur parliementary treshold (PT) atau ambang batas partai yang lolos ke parlemen, secara tradisi pembahasannya sejak Pemilu 1999 hingga kini selalu alot dan menuai polemik. Setidaknya sampai saat ini, publik dapat mengidentifikasi dua kepentingan di balik tawaran angka PT ke depan. Pertama, partai besar, seperti Golkar dan PDI Perjuangan ngotot menawarkan 5% sebagai limit maksimal dengan argumentasi untuk mengefektifkan pemerintahan dan memperkokoh sistem presidensial. Rasionalisasinya di parlemen harusnya ada 3-4 partai saja, sehingga sikap politiknya jelas (tidak abu-abu) dan pemerintah tak terjebak pada persoalan urusan internal partai, seperti kontrak koalisi yang menguras waktu dan memalingkan orientasi mengurus rakyat. 


Inilah yang selama ini terlihat di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Mitra koalisi sikap politiknya malah berseberangan dengan pemerintah karena masing-masing mengaku mempunyai kontrak politik yang jelas dengan presiden, bukan dengan partai demokrat. Khalayak khawatir jika ini terus terjadi maka akan merusak sistem demokrasi yang selama ini sedang bertumbuh dewasa di negeri ini. Kedua, karena menyangkut representasi atau perwakilan masyarakat yang heterogen di Indonesia, standar PT di atas akan memangkas jutaan suara rakyat yang disalurkan kepada partai politik yang tak lolos PT. Nah, persoalannya apakah suara itu dapat dilimpahkan ke partai lain yang lolos PT dan dapat dikatakan representasi yang legal dari kalangan masyarakat terkait? Tentu masyarakat akan menolak. 

Argumentasi partai menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan Gerindra ialah tetap bertahan pada 2,5%-3% saja agar suara rakyat yang disalurkan ke partai politik kendati tidak lolos PT, tetapi suara yang hangus tidak cukup banyak. Dengan patokan 2,5%, ada 18 juta lebih suara yang hangus, apalagi dengan passing grade baru 5%. Pasti banyak suara pemilih yang terbakar dan tak mampu menyampaikan aspirasi daerahnya kepada partai terkait karena tak lolos PT. Tendensinya ialah partai besar dengan standar PT 5% dapat memberangus partai kecil yang suaranya tak konsisten di lingkup daerahnya. 

Sebaliknya partai kecil bertahan pada kisaran 2,5%-3% agar tetap eksis dan terlibat koalisi atau mengontrol pemerintah di parlemen. Kedua nalar di muka setidaknya dapat menjadi pertimbangan bersama, termasuk partai pemerintah (Demokrat) yang menawarkan nilai tengah, yakni 4% untuk berkompromi, menganalisis sebelum berkonklusi tentang aturan PT yang jelas. Bagaimana agar dapat merepresentasikan akar rumput sekaligus memperbaiki tatanan sistem demokrasi dan pemerintahan semakin baik. Selaku warga negara, mari kita kawal pembahasan PT ke depan untuk Indonesia lebih baik. Tabik. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: