Senin, 14 Maret 2011

Membangun Spirit Kenabian

Dimuat di Resensi Buku Kedaulatan Rakyat, 13/3/2011 

Judul : Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 
Penulis : Syarifuddin Jurdi dkk 
Cetakan : 1, Januari 2011 
Penerbit : Education Center BEM Rema UNY Tebal : 148 Halaman 
Harga : Rp. 30.000,- 


Nilai-nilau luhur universal agaknya mulai luntur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demoralisasi mendera generasi muda, krisis katakter dan identitas menggejala warga negara. Ihwal ini dibuktikan dengan realitas masyarakat Indonesia yang semakin memprihatinkan. Pertama, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 2-2,6 juta kasus aborsi atau teradi 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan, 30% diantaranya dilakukan penduduk berusia 15-24 tahun. Kedua, data badan narkotika nasional Februari 2006 menyebutkan dalam 5 tahun terakhir, jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3% atau bertambah 3100 kasus pertahun. Ketiga, Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006 melansir prestasi Indonesia dengan maraknya kasus korupsi pada ranking 137 dari 159. Penyakit sosial di muka menunjukkan gagalnya output pendidikan Indonesia. 

Rumah Pensil Publisher

Maka tak heran dalam peringatan Hardiknas setahun silam, Mendiknas berpidato tentang pentingnya pendidikan karakter yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2011 dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Muhammad Nuh memaparkan tidak menyatunya ilmu yang dimiliki dengan sikap keseharian, dengan menyindir penegak hukum yang seharusnya menerapkan hukum dengan adil malah diadili. Pendidik yang selayaknya mendidik malah dididik. Pejabat yang berkewajiban melayani masyarakat malah minta dilayani. Hal ini merupakan fenomena buruk yang bersumber pada karakter. Merespon gagalnya proses pendidikan inilah muncul buku Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 sebagai wujud tawaran baru dalam khazanah pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab soal tetapi hal itu diperoleh melalui kecurangan. Sehingga yang didapat hanyalah nilai akademik tanpa disertai moral etik (hal 12). 

Diberlakukannya ujian nasional di satu sisi memancing pelajar berpikir pragmatis dengan orientasi lulus, tanpa memedulikan cara yang ditempuh untuk mencapai hasil itu. Pengembangan gagasan profetik ke bidang pendidikan merupakan langkah tepat untuk mendesain proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan transfer ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan moralitas dan kepribadian bangsa (hal 38). Atau secara sederhana dalam membentuk karakter diperlukan modeling (objek yang ditiru) agar pengembangan karakter yang diinginkan mempunyai orientasi jelas. 

Maka rujukannya adalah Nabi sebagai teladan paling lengkap dan sempurna dalam berinteraksi di dua dimensi kehidupan yakni kehidupan dalam tataran keTuhanan maupun kemanusiaan. Filosofinya tugas Nabi ialah menyempurnakan akhlah (karakter) manusia. Sebab, jatuh bangunnya pribadi maupun bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya. Pelajaran moralnya jika Nabi dicerahkan oleh wahyu, maka kita selaku pelajar dan mahasiswa tercerahkan melalui ruang kelas dan kampus. Maka selayaknyalah kita meneruskan peran Nabi di muka bumi ini. Bagi anda kalangan pendidikan maupun intelektual buku ini layak anda baca. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 11 Maret 2011

Membaca Arah Reshuffle Kabinet

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Sepekan terakhit kata reshuffle begitu menggema di telinga masyarakat Indonesia. Khalayak menanti dengan ketegasan presiden untuk membuktikan ucapannya dalam pidatonya tentang pemberian sanksi bagi partai tak sepaham dengan koalisi. Pidato politik tersebut disampaikan sehari setelah keputusan sidang paripurna di DPR yang menyatakan menolak diberlakukannya hak angket pajak. Bukanlah hasil yang dikomentari presiden SBY, melainkan membelotnya dua partai mitra koalisi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung disahkannya hak angket untuk mengusut tuntas mafia pajak.


Padahal gugus gagasan awal digulirkannya hak angket dilontarkan politisi partai Demokrat. Faktanya menjelang perhelatan voting, sikap inkonsisten muncul dan berbalik menolak hak angket mafia pajak. Banyak alasan dikumandangkan seperti tidak efektifnya hak angket dsb. Tetapi itu hanyalah dalih. Dibalik keputusan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya publik, kenapa partai berjargon nasionalis religius ini mendadak pindah haluan tidak menyetujui hak angket pajak. Apakah untuk mengamankan kekuasaan? Inilah yang sedang diduga khalayak. Memang secara kalimat verbal, pidato presiden selaku pimpinan lokomotif koalisi tidak mengarah langsung ke partai beringin dan partai ka’bah berlambang padi dan bulan sabit. Ini menjadi tipikal SBY yang selalu berkata multitafsir dan tidak mengucapkan kesimpulan tegas. Tetapi mencermati manuver politik keduanya dalam beberapa kasus seperti Centurygate dan perkara terbaru hak angket pajak, sangatlah terang posisi keduanya sedang terancam. Hanya soal waktu, momentum, dan lobi-lobi politiklah yang akan menentukan. Sebab, dalam pidatonya SBY mengatakan akan diberikan sanksi nanti. Ini pertanda masih ada komunikasi politik intens antar ketiganya untuk duduk bersama saling mengevaluasi, menginventarisir masalah, dan mengeluarkan policy (kebijakan) yang bisa jadi win-win solution (memuaskan ketiganya) atau malah win-lose solution (mengecewakan salah satu pihak).

Maka tak heran jika Aburizal Bakrie dan Anis Matta menyatakan siap diluar berperan sebagai oposisi atau masih dipertahankan berkoalisi jika presiden incumbent memberikan opsi diantara keduanya. Menjadi pertanyaan apakah pidato Pak Beye hanya sebuah gertakan untuk menggaungkan isu anyar dalam konstelasi politik nasional atau pernyataan serius lantaran geram terhadap tindakan kedua partai di muka yang menurutnya melanggar sebelas butir code of condact (tata kesepakatan berkoalisi). Jika peringatan serius beranikan SBY untuk mengambil kebijakan reshuffle dengan berbagai kemungkinan terburuk? Penulis berusaha untuk mengkalkulasi jika perombakan kabinet konkret dilaksanakan. Pertama, secara matematika politik jika Golkar dan PKS depak, pemerintah akan kehilangan dukungan di parlemen 29 persen. Atau setara dengan berkurangnya 164 suara, dengan rincian Golkar 107 anggota dan PKS 57 anggota. Ini angka yang sangat besar dan jika kedua bergabung dalam kelompok oposisi akan semakin kuat dan mampu mengendalikan parlemen. Maka terpangkasnya besarnya nominal dukungan di legislatif membuat partai pemerintah melakukan komunikasi politik dua arah dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan partai Gerindra untuk bergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab). 

Namun, sebagaimana dituturkan Megawati secara tegas dan ideologis PDI-P agaknya tetap menjadi partai oposan bersama rakyat untuk mengawal pemerintah. Sementara Gerindra mengicar posisi Menteri BUMN dan Pertanian sebagai prasyarat terlibatnya dalam pasukan koalisi. Hal ini tentu membuat Demokrat menimang-nimang karena daya tawarnya terlalu tinggi. Jika partai pimpinan Prabowo tetap berkeuh menolak bersanding dalam koalisi, Demokrat akan mencari format lain koalisi dengan menyingkirkan salah satu dari dua parpol pemberontak. Kedua, jika yang ditalak adalah Golkar amatlah tidak mungkin karena selain kaya pengalaman bergelut dalam singgasana kekuasaan, partai jagoan di era orde baru ini juga memiliki basis massa kuat di DPR. Selain itu, para kadernya yang menjadi menteri menunjukkan kinerja yang tak terlalu buruk selama setahun terakhir. Jika tetap diputus tali kekerabatannya ini menyuratkan arogansi politik partai Demokrat dan tak rasional. 

Ketiga, jika PKS yang dicerai SBY mengalami beban moral lantaran partai berbasis massa kalangan terdidik ini adalah partai pertama yang diajak berkoalisi dan bercucur keringat deras mengantar SBY duduk di RI 1. Bahkan paduka presiden menjulukinya backbone (tulang punggung) koalisi bersama partai Demokrat. Disingkirkannya PKS akan sangat bergantung kesepakatan politis masuk tidaknya Gerindra dalam bahtera koalisi. Di satu sisi publik dan mitra koalisi akan sedikit kecewa karena Gerindra tak berkeluh keringat berkontribusi membawa SBY-Boediono menjadi petinggi republik ini, justru kala itu malah menjadi lawan politik. Tetapi semua dapat terjadi, jika melihat Golkar yang semula rival politik kini menjadi sahabat politik pemerintah. Inilah resiko politik transaksional. Akar masalahnya ialah pondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru bagi-bagi kekuasaan untuk kenyamanan SBY semata. Maka pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan.

Penulis sependat dengan pengamat politik J.Kristiadi bahwa pidato politik presiden tak ada urusannya dengan rakyat. SBY harus menjelaskan ke publik apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang kaitannya dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau sekadar menaikkan tensi politik saja agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Reshuffle Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Dimuat di Fokus Anda Republika, 9 Maret 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Koalisi super jumbo dalam wadah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi tak menentu, setelah SBY berpidato pascarapat paripurna di DPR yang menyatakan pemberian sanksi bagi mitra koalisi yang tak komitmen mendukung pemerintah. Kalimat ironi ini tentu tertuju pada Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan terhadap hak angket pajak di parlemen. Menurut penulis, reshuffle harus dijelaskan ke publik secara logis. 


Jika pergantian kabinet hanya untuk mengamankan pemerintahan tentu hal ini amatlah pragmatis. Khalayak sama-sama tahu bahwa penggagas angket pajak berasal dari internal Partai Demokrat yang didukung partai lain termasuk Golkar dan PKS. Perkembangan selanjutnya, Demokrat yang awal mula berkoar menjelang pengambilan voting tak konsisten menindaklanjuti angket pajak. Justru malah balik menolak. Ihwal ini menimbulkan tanda tanya publik, apa alasan partai SBY ini menolak? Kesan inilah yang dibaca masyarakat luas, bahwa isu reshuffle yang dilontarkan presiden sehari setelah rapat paripurna di DPR hanya untuk menaikkan tensi politik agar pemerintah terlihat serius mengurus rakyatnya. Padahal berdasarkan survei Republika (Edisi Senin, 07 Maret 2011) masyarakat tak begitu peduli dengan bongkar pasang rezim. Karena reshuffle tak menjamin pemerintahan akan semakin baik.

Kendati demikian SBY segera mungkin dinanti ketegasannya, apakah ingin merombak mitra kerjanya di eksekutif atau tidak. Analisanya, agaknya presiden incumbent ini masih mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, secara matematika politik jika Golkar (107 anggota) dan PKS (57 anggota) ditendang, maka pemeritah akan kehilangan dukungan 164 suara. Lobi-lobi politik pun dilakukan ke PDI-P untuk terlibat bersama koalisi guna menanggulangi suara yang hilang. Kedua, jika Golkar yang dipangkas Demokrat akan kehilangan dukungan sangat besar yaitu 107 suara. Selain itu, partai beringin ini juga kenyang pengalaman di kekuasaan.

Ketiga, jika PKS yang diusir, beban moral tetaplah ada karena partai dengan basis kuat di kalangan menengah ke atas ini adalah pendukung pertama koalisi. Bahkan SBY pun menjuluki Demokrat dan PKS sebagai backbone koalisi. Pertimbangan lainnya ialah masih menunggu tawar menawar dengan Gerindra yang digadang-gadang masuk ke setgab sebelum mendepak PKS. Jika partai pimpinan Prabowo masuk akan melukai partai pengusung koalisi sejak awal lantaran Gerindra tak memeras kringat untuk mengatar SBY ke RI 1. Gerindra dipandang pragmatis dan hanya berorientasi jabatan karena sebelumnya adalah lawan politik SBY.

Kalangan akar rumput ingin bergegas mendengar keputusan SBY karena perkara reshuffle jelas tak ada kaitannya dengan agenda kesejahteraan rakyat. Reshuffle pun belum tentu menjamin program kerakyatan dilakukan semakin baik. Kita berharap para Menteri tetap fokus pada program kerja mereka tanpa terpengaruh arus politik reshuffle yang saling sandera antara presiden dan partai koalisinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute  Universitas Negeri Yogyakarta