Selasa, 26 April 2011

Discuss “Menggugat Eksistensi Ahmadiyah”

Masjid Gandok Mulia, PPTM, 24 April 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Masih menggantungnya persoalan Ahmadiyah dan maraknya teror bom yang mendera, membuat Pondok Pesantren Takwinul Muballighin Yogyakarta menggelar diskusi publik bertajuk “Mengungkap Propaganda Ahmadiyah dan Teror Bom di Indonesia”. Bertempat di Masjid Gandok Mulia PPTM, 24 April 2011, acara yang dimulai jam 9-12 WIB mengundang Ustad Fathurahman Kamal, Lc. M. Si (Direktur Institute Pemikiran Islam) dan Ustad Tindyo Prasetyo (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai pemateri. “Kita semua yang di sini haruslah berdoa agar presiden SBY diberanikan diri untuk berkata ‘Ya’ (bubarkan Ahmadiyah). Sebab, semuanya sudah jelas. Karena info yang saya peroleh dari beberapa sumber di pemerintahan, mereka sudah clear terkait kasus Ahmadiyah” ujar Ust. Fathur memulai materi. 

Diskusi publik rutin bulanan yang dihadiri tiga puluhan santri, masyarakat, dan aktivis mahasiswa ini bertujuan sebagai medium pencerahan ummat terhadap problematika keIslaman dan kebangsaan. Adapun kasus Ahmadiyah ini bukanlah menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tetapi termasuk penistaan terhadap agama Islam. “Sebernarnya Mirza Ghulam Ahmad tidak layak menyebut dirinya Ahmadiyah, tetapi lebih tepat dipanggil Kadzabiyah. Berasal dari kata Kadzab=pendusta. Sebab, setelah Rasulullah meninggal banyak sekali muncul Nabi palsu termasuk diantaranya ialah Musailamah Al Kadzab. Dan hanya Indonesialah, negeri dengan produsen nabi palsu terbesar di dunia” tegas Ustad yang juga menjadi Direktur Ma’had Ali ini. Bahkan Soekarno yang tidak pernah menjadi santri di pondok pesantren pun memberikan pernyataan jelas ‘Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu]’ terangnya dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. 

Begitupun dengan filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India kala itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: “No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam” (Islam and Ahmadism, cetakan Da‘wah Academy Islamabad, 1990 hlm. 8). Penganut Qadiyaniyah (demikian Muhammad Iqbal) menyebutnya menafkan sabda Nabi Muhammad ‘khatamun nabiyin’ bukan sebagai penutup para Nabi. Tetapi makna khatam hanyalah sebuah cincin (ring). Mirza Ghulam Ahmad (MGA) mengklaim penunjukkan Allah terhadap dirinya menurutnya adalah ‘wahyu’ sebagaimana termuat dalam Kitab Tadzkirah yang berbunyi “Al-Masih anak Maryam, Rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap” (Tadzkirah, hal. 190. Terjemah dinukil dari kitab Da’watul Amir). Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang dinantikan (Da’watul Amir, hal. 190-1910). 

Padahal baginda Nabi Muhammad telah berkata “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Pengakuan juru bicara Ahmadiyah yang sering terdengar di televisi bahwa Ahmadiyah tetap bersyahadat sebagaimana mestinya umat Islam dan tidak mengakui MGA sebagai nabi hanyalah omong kosong belaka. Buktinya dapat dilihat pada pernyataan Ir. Syarif Ahmad Lubis, M.Sc., Ketua PB JAI “Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat Tuhan. Jadi, bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja diantara hamba-hamba yang dipilih-Nya”. (Sumber : Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 1.). Jadi telah jelas kebusukan Ahmadiyah sesuai fakta dan data di lapangan. Pun, mengenai otentisitas wahyu. Jika benar MGA adalah utusan Allah harusnya kitab Tazkirah buatannya menggunakan bahasa Urdu karena dia lahir dan hidup di India. 

Dalam slide materi Ust. Fathur menulis “Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (Q.S. Ibrahim: 4) Karena itulah Al-Qurân diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Suryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan-India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab? Bagi mereka wajar kalau di Tazkirah pun terdapat kosakata Arab, sebab di dalam Al-Qurân juga terdapat beberapa kata non-Arab. Faktanya bahwa Al-Qur’an juga mengandung kosakata non-Arab, meski itu ditentang oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Sedangkan yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat Arab yang sama persis dengan Al-Qurân, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan”. Maka terbukalah segala aib Ahmadiyah. Dan adalah keharusan bagi umat Islam menuntut pembubaran atau memilih membentuk agama baru.

 Sementara di termin lain, Ust. Tindyo Prasetyo fokus pada analisa teror bom di Indonesia. Ust. Yoyok, demikian beliau akrab disapa mengatakan ada banyak aktor yang bermain dalam kasus ini termasuk jaringan media massa dan tokoh intelektual yang memberikan komentar miring dan menyudutkan umat Islam. “Teror bom yang marak ini hanyalah skenario untuk mengkambinghitamkan umat Islam. 

Oleh sebab itu, umat Islam harus membuat skenario di atas skenario untuk menangkis serangan isu tersebut”. Anggun, aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menanyakan “kenapa kasus Ahmadiyah hanya marak terjadi di rezim SBY. Kenapa di era Soekarno dan Soeharto tidak demikian?”. Merespon lontaran tanya tersebut Ust. Yoyok berkomentar “Karena kalau di era Soeharto umat Islam ditindas dengan pemaksaan asas tunggal pancasila. Sementara di kini kita hidup di era reformasi, masing-masing agama maupun ormas diberikan kebebasan untuk melaksanakan aktivitasnya sepanjang tidak melanggar norma-norma negara” tanggapnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Takwinul Muballighin

Dalam Dekapan Ukhuwah Kita Berdakwah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Kubaca Firman Persaudaaraan... 

Ketika kubaca firmanNya, “Sungguh setiap mukmin bersaudara” aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman Ya, kubaca lagi firmanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara” Aku makin tahu, persaudaraan tak perlu dirisaukan karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil mungkin dua-duanya, mungkin kau saja tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping (Kubaca Firman Persaudaraan, Salim A. Fillah)

Puisi di muka, mengajarkan pada kita bahwa brotherhood atau persaudaraan (al ukhuwah) adalah dampak dari iman. Oleh sebab itulah, tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini dengan beragam suku dan bangsa agar mereka saling mengenal. Tetapi dengan catatan diakhir firmannya Q.S. Al Hujurat: 13 ditutup dengan perintah takwa. Artinya jalinan kekerabatan haruslah dibingkai dalam ikatan ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya. Aspek aqidah lebih mengikat ketimbang pertalian darah. Karena itulah setiap muslim mendapatkan garansi aman untuk nyawanya, hartanya, dan kehormatannya. Di termin lain, karena persamaan darah tetapi beda aqidah, baginda Nabi dilarang memohon ampunan untuk sang paman Abu Thalib, kendati telah melindungi aktivitas dakwahnya.

Secara fitrah seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan muslim. Sebagaimana traktat yang kita kumandangkan dalam sesi dialog dengan Tuhan. “Bukankah aku ini Tuhanmu” kata Allah di Al a’raf: 172. “Ya, kami bersaksi akan itu.” Ujar umat manusia memegang janji. Maka tergantung takdir sosialnya ia dilahirkan dari rahim seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Menjadi kalimat tanya, kenapa pesan Nabi yang diriwayatkan Bukhari Muslim di muka tidak menyebut kata Islam. Sebab, pada dasarnya setiap insan telah memeluk Islam dan tergantung orang tuanya akan menjadikan anaknya untuk memilih memeluk trio agama di atas, atau Islam sebagai penyempurna ketiganya. 


Ihwal ini yang menjadi premis nalar, hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Dengan ilmulah seseorang dapat menentukan keyakinan yang ahsan (Islam), beramal dengan panduan sunnah, berjama’ah agar menggapai berkah, berikhtiar agar tetap istiqamah, dan dalam dekapan ukhuwah kita berdakwah. Perspektif ilmu sosiologi menyebutkan, manusia adalah makhluk zoon polition yakni tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Mungkin karena alasan inilah Hawa diciptakan dari tulang sulbi untuk menemani Adam. Dan Allah mengarahkan agar mereka senantiasa menjadi abdullah dan khalifatullah di sepanjang tanah bumi membentang. Menjadi hamba Allah bertugas untuk beribadah sebagai konsekuensi logis atas wujud ketundukan kepada sang khalik yang Maha Tinggi. Manifestasinya melalui ritual shalat. Kaidahnya sholat berjama’ah lebih banyak pahalanya 27 kali lipat dibanding sendirian. Inilah indahnya persaudaraan, dengan kebersamaan kita menuai berkah langit bertubi-tubi. 

Hikmahnya kesalehan pribadi haruslah menular ke kesalehan sosial. Inilah orientasi wakil Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardhi). Sebagai pemimpin bermisi memakmurkan bumi, ia tak bisa hidup sendiri, elitis, dan tak mau bersosialisasi. Berinteraksi, tegur sapa antarpribadi menjadi kemestian hakiki untuk merangkum tali silaturahmi. Kenikmatan ukhuwah, inilah mengapa Muhammad, si manusia suci berpesan rajutan benang silaturahmi berfaedah lewati zaman lintasi generasi. Memang manusia tak dilahirkan sendiri. Berjama’ah adalah anugrah untuk mempermudah kerja-kerja dakwah. Keunikan al akh berperan untuk tukar fikiran, menanggung kala bersimbah beban, dan bergiliran lantaran tabiat dakwah ialah istimror atau berkesinambungan. 

Dalam seruannya Allah menegaskan “Kalian adalah umat terbaik, yang dilahirkan kepada manusia. Mengajak pada yang ma’ruf mencegah pada yang mungkar serta beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran: 110). Budayawan sekaligus kyai Kuntowijoyo menafsirkan. Sebutan umat terbaik bukanlah ujug-ujug disematkan kepada pengikut Muhammad. Melainkan penuh dengan prasyarat. Ketentuan barisan umat terbaik menjadi berlaku manakala meyuruh kepada kebajikan, menafikan dan menyisihkan budaya kejahiliahan, dan beriman kepada Allah sebagai landasan. Ayat ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk berdakwah. Karena julukan umat terbaik tidak pernah menempel kepada kaum sebelum Muhammad. Dan karena dakwah adalah salah satu alasan kenapa kita hidup. Jika tiada dakwah, apalah arti menghela udara. Kemerosotan akhlak akan kentara dan kebodohan umat akan tiada tara. Sebab, jatuh bangunnya pribadi, etnis, bangsa, dan negara ialah karena akhlaknya. Karena perkara inilah kita dapat memahami, tujuan lelaki penutup Nabi diutus hanyalah untuk mereparasi akhlak. 

Adapun tafsir para ulama Imam An Nasa’i dalam kitab Sunan dan Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak meriwayatkan dari hadits Samak, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai penisbatan “kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. Ia berkata: “mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari Makkah menuju Madinah.” Rasionalisasinya latar diturunkannya surat ini di Madinah pascahijrah, sebagai pembeda antara kalangan mukminin dan kafirin. Pilihan kata “kalian” lantaran berbondong-bondong umat Islam menjadi peserta transmigran sebagai pertanda dimulainya cara dakwah baru di kota baru. Dari sirri (tertutup) berganti jahri (terang), dari serampangan (irtijal) menuju tersistematis (nizham), dari tauhid dan ibadah menjadi kompleks seputar syari’ah dan jihad membentuk negara. 

Isyarat Allah di At Taubah: 20 menunjukkan Iman, hijrah, dan jihad berkolaborasi guna meraih peruntungan mukmin sejati dan umat terbaik. Namun, semuanya akan terasa mudah jika dilakukan gerakkan massa persaudaraan (ukhuwah). Dengan kekompakan Rasulullah memenangi setiap perang, dengan persatuan Islam tegak menjulang, dan dengan persaudaraan adalah keindahan untuk beramal sholeh keseharian. Amin. Semoga Allah memudahkan. 

Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Selasa, 19 April 2011

Menakar Peluang Capres Independen

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wacana calon presiden (capres) perseorangan digaungkan kembali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menghadapi pemilu 2014 nanti. Penulis menganalisa, dengan membawa isu capres independen seakan DPD ingin meneguhkan posisinya dalam trias politika kekuasaan dengan cara mengajukan amandemen UUD 1945. Sebab, selama ini posisi DPD antara ada dan tiada atau abu-abu. Dengan sistem bikameral (dua pintu) peran DPD hanya sebatas pengawal dan penyuara daerah tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang otonomi daerah dan melakukan fungsi controling secara mutlak karena harus menyampaikan hasil pengawasannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti melalui hak-hak anggotanya seperti hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. 

Inilah yang dikritisi La Ode Ida (Wakil DPD RI) dkk untuk direvisi pada Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur syarat pengajuan presiden oleh parpol ditambah oleh calon perseorangan. Rumusan nalarnya orang-orang DPD merujuk Amerika Serikat, negara yang dianggap modern sistem pemerintahannya. Peran Senat (DPD) dapat menveto kebijakan atau Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan House of Representative (DPR AS). Artinya RUU dapat menjadi UU untuk dijalankan manakala mendapat restu Senat (DPD). Itulah sebabnya DPD di sana disebut strong bicameralism atau memiliki peranan kuat dibanding eksekutifnya. Sedangkan DPD di Indonesia dikatakan soft bicameralism karena berbanding terbalik, yakni DPR RI lah yang dapat menveto kebijakan maupun usulan eksekutif. Ihwal ini amat merendahkan DPD, mengingat DPD merupakan corong aspirasi daerah dari 33 provinsi. Contoh, kasus Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta kini tak kunjung tuntas karena mandek di DPR. Padahal DPD sepenuhnya telah mendukung penetapan provinsi DIY. Jika menerapkan teori Strong Bicameralism ala C.V. Strong (Pakar politik AS) tentu polemik RUUK sudah rampung sebelum masa jabatan Sultan HB IX berakhir. 

Peluang dan Faktor Pendukung 

Di termin lain, cerita DPD tentang kesuksesan calon independen kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 20 persen, seperti di Sumenep, Madura dan Papua Barat ingin dibawa ke tingkat nasional melalui jalur capres independen. Kendati tidak memenangi pilkada tetapi setidaknya mendapatkan dukungan cukup kuat di tengah masyarakat. Pengalaman empiris inilah yang menjadi premis gagasan capres independen diprediksi akan mendapatkan dukungan khalayak. Jika dianalisa gagasan ini dilatari beberapa hal. Pertama, tren kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung menurun karena tak kunjung mereformasi diri dan mengalami degradasi integritas khususnya dalam proses rekrutmen kader. Selama ini parpol hanya dijadikan alat administrasi politik untuk meloloskan calon kepala daerah atau legislatif yang tebal kantongnya tanpa menyeleksi secara ketat, apakah orang tersebut kredibel dan memiliki kapasitas untuk memimpin. Walhasil marak sekali terjadi money politic dan memunculkan demokrasi transaksional dalam kancah demokrasi nasional hingga lokal kadaerahan. Kedua, egoisnya parpol besar yang mengusulkan 3-5 persen sebagai ambang batas dalam parliamentary treshold dan 20 persen suara pemilu nasional bagi parpol sebagai syarat mengajukan tokohnya menjadi presiden, membuat partai kecil berkonspirasi dan bersatu padu mendukung adanya capres independen. Sebab, konsep ini lebih terbuka bagi tokoh partai kecil seperti Yusril Izha Mahendra, tokoh kapable namun tak didukung parpol seperti Sri Mulyani, atau tokoh parpol yang tersisih dari partainya yaitu Surya Paloh. Ketiga, memberikan rasa keadilan bagi seluruh warga untuk berpartisipasi politik sebagaimana diamanatkan konstitusi UUD 1945 BAB XA tentang hak asasi manusia Pasal 28D ayat 3 “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 

Lantas bagaimana syarat dan proses kontrolnya nanti? Inilah yang akan menuai perdebatan pelik nantinya. Selain itu, jika ada seseorang yang menjadi presiden melalui jalur independen dapat dipastikan akan terseok-seok langkahnya karena tidak memiliki dukungan kuat di parlemen. Acuan Dmitry Metvedev (presiden Rusia) yang menjadi satu-satunya capres independen di dunia saat ini tidaklah tepat lantaran Rusia menganut partai tunggal berideologi komunis yang begitu mengakar di negeri Eropa timur itu. Keempat, untuk membuka kran demokrasi di internal parpol. Sebab, jika ada tokoh berkapasitas, namun takluk di internal parpol. Dia dapat menggunakan sarana capres independen untuk maju dalam bursa pencalonan presiden. Ihwal ini akan membuat iklim demokratisasi berpolitik di internal (kader parpol) maupun eksternal (masyarakat umum) menjadi dinamis. Seperti Yudi Chrisnandi (eks politisi Golkar, kini masuk Hanura) dan Priyo Budi Santoso (wakil DPR RI) mereka berkompeten, namun tersisih oleh kekuataan uang Ical. Untuk maju dalam bursa calon presiden mendatang mereka dapat menggunakan jalur capres independen. Sebab, partai akan tetap mengusung orang berduit karena mahalnya ongkos demokrasi di negeri ini. 

Tantangan ke depan 

 Hingga kini ide capres independen masih debatable dan mendapat tentangan keras dari sejumlah partai politik. Penulis mencermati penolakan ini dilandasi dua aspek. Pertama, kalangan tokoh parpol menganggap ada upaya deparpolisasi. Sebagai kendaraan politik parpol mulai tidak laku ditumpangi karena pelayanannya yang tidak memuaskan. Orientasi parpol terlihat pragmatis untuk menduduki kekuasaan tanpa ada program jangka panjang dan konkret demi kemakmuran rakyat. Ditambah lagi proses rekrutmen yang tidak selektif dan hanya menerima tokoh berkantong tebal yang diusung maju menjadi bupati maupun gubernur. Imbasnya regenerasi politik tidak sehat. Kedua, adanya capres independen akan memunculkan saingan baru bagi partai politik. Dapat dipastikan respon parpol yang duduk di parlemen adalah menolak. Dengan berdalih untuk saat Indonesia belum siap untuk mengadopsi konsep ini. 

Jika nanti ada sekitar 1000 tokoh yang mengajukan diri menjadi capres independen, rakyat akan menjadi bingung dan suara politiknya akan banyak terpecah. Akhirnya diperlukan beberapa kali putaran pemilu yang menyerap banyak uang untuk menentukan presiden. Tak berhenti di sini. Untuk mewujudkan capres independen, DPD dan Gerakan Pendukung Capres Independen Seluruh Indonesia yang dikomandoi Fajroel Rahman dkk harus menghadapi tiga aral rintang. Pertama, pengajuan revisi UU Pemilihan Presiden, dengan menambahkan presiden dapat didukung oleh partai politik, gabungan partai politik dan calon perseorangan. Kedua, bersamaan dengan itu DPD mengusulkan amandemen konstitusi. Diperlukan persetujuan dua pertiga anggota MPR untuk meloloskannya. 

Kedua langkah ini akan berat karena akan mendapat tekanan parpol dengan rasionalisasi sebagaimana disebutkan di atas. Jika gagal, langkah ketiga adalah mengajukan judicial review (uji materi) seperti yang dilakuan Fajroel Rahman 2009 silam. Agaknya ikhtiar ini juga akan mendapat penolakan karena harus mendapat restu lima dari sembilan hakim konstitusi. Sebab, amandemen UUD 1945 terlalu riskan dan sensitif. Namun, masih ada waktu membentang 2,5 tahun ke depan untuk memperjuangkannya. Jika diratifikasi akan menjadi inovasi baru dalam iklim demokratisasi di bumi ibu pertiwi. Jika kandas, biarlah sejarah mencacat proses pendewasaan dan ikhtiar perbaikan demokratisasi yang mungkin akan dilanjutkan anak cucu nanti. Wallahu’alam. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Rabu, 13 April 2011

Batalkan Pembangunan Gedung DPR

Diterbitkan pada April 2011

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Wakil rakyat seakan mengidap penyakit tuna rungu. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap saja mengesahkan rencana pembangunan gedung baru dengan mengabaikan nasihat presiden agar seluruh pejabat negara melakukan efisiensi pembangunan gedung dan bangunan. Marzuki Alie juga mengabaikan suara penolakan rakyat lantaran menyedot anggaran 0,1 persen dari APBN dan tak akan menjamin produktifitas kerja parlemen. Sebagai catatan, 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam program legislasi nasional yang disusun tahun 2010, hanya 8 UU yang sudah diratifikasi. Rasionalisasi konstruksi gedung baru untuk meningkatkan kinerja check and balances agaknya hanya pepesan kosong dan penuh kebohongan. Sebab sedari awal prosesi pendirian gedung penuh cacat seperti tanpa di sayembarakan kepada kontraktor luar, selain itu masyarakat tak mendapat sosialisasi terlebih dahulu untuk memberi masukan. 

Berbagai dalih pimpinan DPR seperti proyek warisan, peningkatan kinerja, dan disetujui semua fraksi, berulang kali disuarakan untuk memuluskan pembangunan. Kendati anggaran sudah dipangkas dari rencana sebelumnya 1,6 T menjadi 1,136 T, tetapi untuk ukuran negara berkembang dengan pendapatan per kapita 3000 dolas AS per tahun, duit sebanyak itu akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pembangunan sosial. Jika dikaitkan dengan teori kebijakan publik, keinginan wakil rakyat di muka menyalahi beberapa asas. Pertama, desain gedung huruf N dengan 36 lantai ternyata tak sepenuhnya karya anak negeri. Maket gedung dengan kelengkapan kolang renang dan spa tersebut ternyata menjiplak gedung parlemen Chile. Dengan rancangan menjulang tinggi, terkesan menakut-nakuti rakyat dan membatasi akses wong cilik untuk menyampaikan aspirasi. 

Rumah Pensil Publisher

Seharusnya anggota legislatif membuka ruang lebar-lebar dengan gedung lebih sederhana, agar telinga mereka dapat mudah mendengar masukan masyarakat akar rumput. Kedua, jika terealisasi kebijakan pembangunan gedung tidak berpihak pada suara rakyat (not pro poor) yang secara akal sehat tentu mayoritas menolak ditengah belum terentaskannya 30 juta lebih warga miskin dan semakin maraknya pengangguran karena minimnya lapangan kerja yang berujung kriminalitas. Realitas ini hendaknya menjadi prioritas ketimbang mengurus fisik gedung yang tidak ada dampak secara langsung bagi penduduk menengah ke bawah. Aparat negera terlihat angkuh. Di tengah polemik kasus, ketua DPR malah berkomentar masyarakat jangan diajak ngobrol perkara ini. Ihwal ini menunjukkan tertutupnya mata dan hati nurani petinggi DPR. Efeknya seiring kebijakan dan sikap anggota dewan yang mementingkan dirinya sendiri, ekses negatifnya adalah akan terjadi krisis kepercayaan atau legitimasi dari khalayak ramai. Maka tak heran jika pemilihan umum mendatang terjadi kemerosotan suara rakyat atau menjamur gerakan golput, karena akar masalahnya terjadi pada anggota parlemen yang mengecewakan konstituennya. 

Beberapa LSM dan organisasi masyarakat pun beramai-ramai mengajukan somasi ke Badan Kehormatan atas sikap pimpinan DPR. Jika pemerintah eksekutif dan legislatif tak dapat dipercaya karena kebohongannya, masyarakat intelektual harus bersatu padu membentuk opini publik dengan gerakan massa untuk menuntut pembatalan pembangunan gedung keangkuhan. Slogan vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan yang mengemuka pada abad ke 18 melawan kezaliman Raja Louis XIV (1643-1715) karena mendeklarasikan “L’etat c’est moi” (negara adalah saya) agaknya patut kembali dikumandangkan. Sebab, jika ditarik dengan kaidah hidup di alam demokrasi, penguasa tidaklah mutlak. Yang absolut adalah suara rakyat. Daulat rakyat mengungguli daulat penguasa. Demikian pesan gerakan massa di timur tengah dewasa ini. Tidakkah para legislator belajar darinya? Semoga seruan ini menyadarkannya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta

Senin, 11 April 2011

Menyoal Kasus PKS

Pascagonjang-ganjing koalisi dan isu reshuffle yang akrab ditelinga khalayak memang jauh panggang dari api. Tetapi diluar pemerintahan, dua partai politik yang disangka pemberontak mendapat serangan bertubi-tubi atas tak sefahamnya dengan pimpinan koalisi. Seorang politisi Golkar dilaporkan terlibat penilapan Blackberry. Di termin lain dua petinggi PKS juga diserbu isi negatif yang menyibukkan partai berjargon bersih, peduli, dan profesional ini. Selain, Anis Matta (wakil DPR RI) dan Luthfi Hasan Ishaq (Presiden PKS) juga dilaporkan Yusuf Supendi (mantan pendiri PK) ke KPK dengan tuduhan penggelapan uang 10 Milyar saat pilkada Jakarta dengan mencalonkan Adang Darodjatun. Menyeruak kasus Arifinto (anggota DPR Fraksi PKS) yang tertangkap kamera membuka situs porno. Kendati belum terbukti kebenarannya tetapi perkara di muka sangatlah menggangu kinerja mereka di legislatif dan menuai tanda tanya kader dan simpatisan tentang fakta duduk persoalannya. 


Memang hampir semua partai mengalami faksi dan problem internal, tetapi khusus PKS hal ini menjadi perhatian khusus dilihat dari momentum terjadinya gejolak internal ini yang diduga sebagai serangan balik atas kekritisan PKS menggunakan hak angket pajak di parlemen. Meskipun kecurigaan ini hanya spekulatif kendati dan belum empiris, tetapi bau operandi politiknya sangat kuat jika mencermati momentum terjadinya perkara. Ada kemungkinan ihwal ini merupakan respon oknum luar kepada partai berlambang padi dan bulan sabit atas manuvernya di DPR. 

Mengkaji kasus PKS, Burhanudin Muhtadi (pengamat politik LSI) mengemukakan dua alasan. Pertama, ada kemungkinan Yusuf Supendi dijadikan kuda troya atau person operasional untuk mengacaukan kesolidan partai yang lahir dari gerakan dakwah. Kedua, secara internal terjadi tarik menarik antara kubu harokah pendiri partai dengan kubu hizby selaku organ partai yang dapat melakukan negosiasi dan bermanuver di pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan khitoh partai. Tetapi ulah mantan pendiri partai yang melaporkan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ke Bareskim Polri atas kiriman pesan singkat bermuatan tuduhan Yusuf bekerja sama dengan BIN untuk mengjungkalkan partainya. Tindakan Yusuf selama ini hanya dipandang mendramatisasi keadaan untuk menuai simpati kader lain agar turut serta mendukung dirinya. Jika tak ingin memperoleh citra negatif, sebaiknya problem internal hendaknya dituntaskan segera. Ibarat baju keluarga kotor masak mau dicuci di rumah tetangga, kan tidak etis. Berbarengan dengan itu, sebagai partai Islam penjelasan ke kader tentang fakta empirisnya juga mutlak terus dilakukan jika tak ingin kehilangan suara konstituen yang selama ini berasal dari kalangan cerdik pandai di perkotaan dan desa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Kamis, 07 April 2011

Refleksi Aksi dan Tantangan Masa Depan KAMMI

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Usia memang tidak selalu menunjukkan tingkat kedewasaan. Tetapi bertambahnya usia setidaknya memperlihatkan beragam perubahan. Apalagi bagi sebuah gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang kini menginjak usia ke 13 tahun. Angka ini bukanlah bilangan sejenak, sulit pula disebut masa tua. Namun, setiap tahun selayaknya menjadi proses pematangan bagi gerakan ini. Jika dianalogikan pada fase pertumbuhan manusia, maka KAMMI sedang menghadapi proses akil baligh dan metamorfosa gerakan. Umur reformasi itulah rentang waktu organisasi ini ada. Sebab, KAMMI merupakan salah satu elemen penggerak kran reformasi sekaligus penumbang rezim otoriter. Sudah menjadi sunatullah semakin bertambahnya usia dan kapasitas gerakan, semakin kompleks pula medan tantangan yang dihadapinya. Oleh karenanya membutuhkan desain gerakan yang tidak sederhana. 

Rijalul Umam dalam bukunya “Capita Selekta KAMMI, Membumikan Ideologi Menginspirasi Indonesia” mengatakan sebelum menetukan peran strategis KAMMI hari ini dan masa mendatang, perlu juga melakukan teoritisasi trend gerakan dari segi gerakan mahasiswa dan kebangsaan. Hal ini dilakukan untuk membaca zeitgeist (jiwa zaman), agar bila telah terbaca tingkatan zamannya KAMMI dapat menentukan peran strategis apa yang dapat dieksekusi dan pada sisi apa dapat berkontribusi demi kemajuan negeri. Sejarah menunjukkan dinamika gerakan mahasiswa biasanya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Catatan penting sejarah KAMMI dalam sepuluh tahun pertama adalah gerakan ini mampu leading dalam penguatan aksi politik nilai yang membuatnya mendapatkan tempat terhormat di level nasional. 


Deretan isu kebangsaan mampu diusung KAMMI seperti pergantian rezim diktator, enam visi reformasi, hingga pemberantasan korupsi. Selain itu, muslim negarawan menjadi ”brand image” gerakan bagi peristilahan kepemimpinan nasional yang disuarakan hingga pemilihan presiden 2009. Prestasi ini patut dijaga dan kembangkan. Kini KAMMI jilid 2 (2009-2019) menghadapai tantangan berbeda dibanding satu dekade awal. Pemerintahan orde baru telah berganti menjadi pemerintahan demokratis yang hierarkis, dengan pengelolaan yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini medan tantangan KAMMI semakin kompleks, maka dibutuhkan kemasan gerak dan langkah yang variatif, sistematis, dan visioner. Jika dikaitkan dengan tren teoritisasi gerakan, kini KAMMI berada di fase rekonstruksi (2009-2014) atau aksi politik nilai. Konsekuensi logisnya ialah dibutuhkan rencana strategis yang matang dan visioner di tengah kontemplasi politik nasional dan global. 

Mengaca sejarah, tren gerakan mahasiswa pascakemerdekaan ialah melawan komunisme yang diperagakan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tahun 1950-an adalah konsolidasi ummat secara ideologis. Terlihat gerakan mahasiswa dan pemuda menyolidkan barisan ummat dalam naungan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hingga M. Natsir terpilih menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Maka tak heran jika kala itu HMI dianggap sebagai underbow dari Masyumi. Kesamaan ideologis dan pemikiran membuat organisasi dikait-kaitkan dengan partai politik. Amin Sudarsono, dalam bukunya Ijtihad Membangun Basis Gerakan memaparkan sejarah orde lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan menggarap mahasiswa. HMI diduga sebagai alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII nya, PNI dengan GMNI nya, PKI dengan CGMI nya. 

Bagaimana dengan KAMMI, hendaknya pada masa kini citra KAMMI tidak selalu identik dengan gerakan dakwah berwujud parpol di Senayan sana. Penulis mengangguk dua kali komentar di muka. Hanya saja bagaimana mewujudkannya?. Bukankah pandangan citra negatif harus disulap menjadi citra positif, tentunya maksud sosial independen dalam paradigma KAMMI tanpa melupakan bagian dari rekayasa dakwah Islam dengan wilayah operasional yang berbeda. Kesamaan ideologi akan tetap mengendap dalam tempurung kepala, perihal sikap inilah yang harus tegas berbeda. Persoalan independensi KAMMI, haruslah menjadi perbincangan serius di mata kader dan pengurus. Apakah ingin menjadi underbow, invisible underbow, atau independen bro...?????///>#%* Inilah yang menjadi tantangan KAMMI ke depan. Tren berlanjut tahun 1960-an dengan membangun oposisi gerakan melawan antirezim otoriterisme. Di tahun ini kali pertama gerakan mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menumbangkan Soekarno yang berubah menjadi otoriter dengan demokrasi terpimpin. Tahun 1970 sampai 90-an tren isunya adalah kebangkitan pemikiran Islam hingga pelembagaan forum kajian Islam menjadi lembaga dakwah kampus yang muaranya melahirkan KAMMI. 

Era 2000-an gerakan mahasiswa berganti menjadi gerakan politik dalam arti dua hal. Pertama, aksi demonstrasi mahasiswa selalu berdampak perubahan kebijakan pemerintah. Kedua, ihwal ini salah satunya dipengaruhi mobilitas vertikal alumni gerakan mahasiswa ke pusaran kekuasaan. Relasi antara alumni dengan mantan institusi menarik untuk dikaji. Bagaimanapun tokoh alumni yang menjadi aktivis parpol pastilah memiliki sisa pengaruh kuat di mata adik angkatannya. Jika demikian kesan invisible underbow akan selalu mengemuka bagi organisasi apapun itu. Pada dimensi kebangsaan dan kenegaraan agenda yang perlu dibawa KAMMI ialah mentransformasikan demokrasi formal saat ini menuju demokrasi substansial. Intisari demokrasi tak sekadar pemilihan pemimpin secara langsung. Tetapi juga mengedepankan agenda pembangunan kesejahteraan masyarakat di kancah domestik maupun internasional. 

Sebagai organisasi masyarakat oposan pemerintah, KAMMI haruslah memastikan prosesi pemilihan pemimpin pusat hingga kepala daerah berlangsung dengan jujur dan adil serta terhindar dari money politic. Selain itu, KAMMI juga perlu mengawal kerja-kerja penguasa agar on the track sesuai konstitusi dan mengemban amanat rakyat. Sebab, standar minimal hidup di alam demokrasi ialah transparansi dan akuntabilitas semua warga termasuk penguasa. Oleh sebab itu, untuk mempermudah kerja dakwah perlu dilakukan pembagian wilayah kerja KAMMI. Konkretnya berubahnya sistem pemerintahan menjadi desentralisasi, membuat KAMMI turut melebur menyesuaikannya menjadi KAMMI komisariat di kampus dengan corak intelektual akademis, KAMMI Daerah di skup kabupaten kota dan KAMMI Wilayah provinsi dengan corak gerak taktis, praksis, dan strategis dengan fokus isu lokal kedaerahan. 

Di beberapa provinsi dan kabupaten, KAMMI sudah membentuknya kendati belum seantero Indonesia. Lantas yang langkah kedua yang wajib dipraktikkan ialah menggagas isu baru sebagai brand image atau marketisasi gerakan. Agar spirit gerak KAMMI tidak melulu reaktif atas isu atau wacana yang mengemuka tingkat nasional maupun lokal, tetapi lebih proaktif dengan mengumandangkan gugus gagasan baru yang menginspirasi sekaligus menjadi trendsetter gerakan. Semisal, corak gerak KAMMI Komisariat UNY sudah terbentuk image “pendidikan profetik” dan “syariatisasi kampus” atas jualan gerakan yang digiatkannya. Derivasi programnya dapat melalui pamfletisasi, diskusi, maupun menjadikannya grand thema Ospek atau acara kampus lainnya. Tentunya ihwal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan karakteristik kampus masing-masing. Sebagai contoh kajian pemikiran Islam dapat digarap kawan-kawan KAMMI UIN, Isu ekonomi syari’ah dapat menjadi objek kajian KAMMI Hamfara atau KAMMI UII Distrik FE. Isu pangan dan pertanian menjadi tawaran KAMMI Instiper, isu kemandirian dan alternatif energi dapat menjadi jargon gerak KAMMI UPN. 

Untuk teritorial Yogyakarta, keistimewaan Yogya menjadi concern isu gerakan KAMMI Wilayah dan KAMMI Kota serta KAMMI Daerah Sleman dengan pengawal Raperda pendidikannya. Ke depan agaknya isu advokasi anggaran perlu digalakkan KAMMI. Di level nasional LSM FITRA sudah mempraktikkannya dengan mengadvokasi keluyuran bertajuk studi banding anggota DPR. Hampir semua media massa merujuk data FITRA seputar pengeluaran dana anggota legislatif yang menilap uang rakyat. Karena hanya merekalah LSM tunggal dengan fokus isu advokasi anggaran. Di kawasan daerah dan kabupaten kota agaknya KAMMI perlu membuatnya sebagai bagian dari kontrol sosial pemerintah daerah yang kini marak penyalahgunaan anggaran lantaran tidak transparan dan akuntabel segala programnya. Bukankah Peter Drucker pernah berujar “langkah terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan”. John Naysbitt pun tak mau kalah berpetuah “keberhasilan bukan hanya didapat dari menyelesaikan masalah, melainkan juga mengeksploitasi peluang”. Mari bergerak tuntaskan perubahan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman 

Pemerintah Harus Tegas Sikapi Ahmadiyah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seruan dari Forum Umat Islam (FUI) agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau membentuk agama baru yang tak digubris pemerintah pusat, justru mendapat respon positif dari beberapa pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur dan Banten secara tegas melarang beredarnya ajaran Ahmadiyah melalui surat keputusan gubernur yang dikeluarkannya. Kebijakan ini agaknya harus diikuti provinsi lainnya untuk menjaga aqidah umat agar tidak terkontaminasi ajaran tak sesuai syariat. Tentu tanpa bermaksud generalisir, lantaran Ahmadiyah terpecah menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad (MGA) Nabi baru dan Ahmadiyah Lahore yang hanya memandang MGA sebagai mujadid atau pembaharu. 

Setidaknya ada dua perspektif kenapa aliran Ahmadiyah harus dilarang. Pertama perspektif teologis, sejak awal berdirinya di India aliran ini memang sudah cacat dari lahir. Lanskap sosialnya kala itu umat Islam India sedang mengusir Inggris yang menjajah. Melihat kuatnya perlawanan serdadu Islam, Inggris melakukan politik devide et impera untuk memecah soliditas tentara Islam dari dalam. Dipilihlah MGA (1839-1908) sebagai tokoh pemecahnya. Menurut Abul Hasan Ali An Nadwi (Ulama India), MGA memfatwakan penghapusan syariat jihad, karena tokoh berpengaruh ihwal ini membuat semangat sebagian pejuang muslim luntur. Selain itu, menurut penelitian INSIST ia juga menggagas kitab Tazkirah sebagai rujukan dan ada beberapa ayat Al Qur’an yang dipelintir. Maka tuntutan bubarkan Ahmadiyah bukanlah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan sebagai hukuman bagi organisasi yang menista aqidah Islam. Riset WAMY (Lembaga Pengkajian dan Penelitian) mengungkapkan, Qadiyanisme (demikian WAMY menyebutnya) merupakan gerakan yang muncul pada tahun 1900 yang dibidani penjajah Inggris di benua India dengan tujuan merusak dan menjatuhkan umat Islam dari segi ajarannya sendiri. 

Khusus dari segi jihad sehingga mereka tidak menghadapi penjajah Inggris dengan mengatasnamakan Islam. Corong gerakan ini adalah majalah “Religion” yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. (Hal 301, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Penerbit Al i’tishom). Adian Husaini dalam buku “Inilah Ahmadiyah” mengukip buku Dr. Ihsan Ilahi Zhahir “Al Qadiyaniyyah: Dirasat wa Tahlil” diterjemahkan Pustaka Darul dengan judul “Mengapa Ahmadiyah dilarang?”. Buku ini mengungkap sosok MGA dari sumber primer dokumen Ahmadiyah. Dikisahkan MGA pernah berkata “tidak diragukan lagi bahwa dilahirkan di tengah-tengah umat Muhammad saw, beribu-ribu orang wali dan orang pilihan tetapi tak seorang pun sama denganku.” Bahkan dengan bejatnya MGA memelintir firman Allah dengan menyatakan “Akulah yang dimaksud dalam firmanNya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam.” (Q.S. Al Anbiyah: 107).

Di bab lain MGA juga mengemukakan loyalitasnya kepada kolonial Inggris “kuhabiskan mayoritas masa hidupku untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Britania dengan menentang ajaran jihad. Aku masih terus berupaya demikian hingga kaum muslimin menjadi setia dengan ikhlas kepada pemerintah ini.” Maka teranglah jika Ahmadiyah dikatakan sesat. Kedua perspektif sosio-yuridis, tidak tegasnya pemerintah pusat untuk membubarkan Ahmadiyah menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak cukupkah bukti fatwa Rabithah Alam Al Islami, MUI, UN, dan Muhammadiyah tentang Ahmadiyah yang melecehkan agama Islam dan melanggar SKB. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya tahun 1937 mengutip pesan baginda Nabi akan kedudukan Muhammad sebagai Nabi terakhir “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi.” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Di termin lain, rezim SBY tidak sedikitpun bertindak karena takut dipandang melanggar HAM oleh dunia internasional. Reputasi Indonesia yang tergolong sukses mengembangkan demokrasi akan luntur jika Ahmadiyah ditiadakan. 

Rumah Pensil Publisher

Pemerintah agaknya juga sengaja memelihara Ahmadiyah sebagai alat politik untuk memecah belah kekritisan umat Islam. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM) berkomentar, tindakan aparat penegak hukum polisi dan kejaksaan agung dalam bentuk penangkapan atau penahanan pimpinan aliran sesat secara sosio-yuridis merupakan kebijakan sangat tepat dan berdasar. Hal ini diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Perpres ini ditingkatkan menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi “barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat 2 menegaskan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jadi fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam, bukanlah pelanggaran HAM. Memilihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM. Kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika ada sistem hukum mengaturnya. (Hal 38, Inilah Ahmadiyah, BAB Pelarangan Aliran Sesat Tidak Melanggar HAM, Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 2008). 

Mengacu norma di atas, maka jelaslah Ahmadiyah dengan MGA nya yang mengaku Nabi baru merupakan aliran sesat yang harus ditindak tegas dan dibubarkan atau membentuk aliran baru tanpa embel-embel Islam. Bukankah Allah berkata “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al Kafirun: 5). Khalayak dapat mencermati latar terjadinya dua kasus Cikeusik dan Pandeglang yang berselang dua hari. Penulis menganalisa, kejadian di muka adalah respon pemerintah kepada ulama dan rohaniawan yang sebelumnya mengkritisi dan menggugat kebohongan pemerintah. Terkesan dua kasus dengan modus yang sama ini memang disetting agar tokoh agama fokus mengurus umatnya ketimbang mengontrol kebijakan pemerintah. Akhirnya jika pemerintah pusat tak serius menghapus Ahmadiyah, kita berharap kesigapan pemerintah daerah untuk melarang peredaran Ahmadiyah lebih luas. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Ponpes Takwinul Muballighin 

Analisa Teror Bom Buku


Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Teror bom buku yang menggunjang Indonesia mencuatkan ragam spekulasi tentang apa motif dibalik semuanya dan siapa dalang penggeraknya. Sejak tahun 2000 modus serangan memang bervariasi mulai dari memakai mobil, tas ransel, hingga buku disertai pesan yang tertera dijudulnya. Bom berselimut buku terbilang unik dan sederhana, apakah memang disetting demikian mengingat sasaran adalah tokoh kutu buku. Atau kemampuan finansial tak mencukupi sehingga cukup membungkus bom dengan buku. 


Menurut analisa Soeripto (Pengamat Intelijen) muncul bom buku setidaknya ada tiga motif yang melatari pelaku. Pertama, untuk mengalihkan isu politik yang sedang menyerang istana atas pemberitaan dua media massa The Age dan The Sidney Morning Herald dari Australia. Kedua, bom skala kecil ini disinyalir hanyalah ancaman atau psy war untuk mengabarkan kepada dunia internasional bahwa aktivitas terorisme masih ada di Indonesia. Ketiga, ada kemungkinan ini hanya rekayasa untuk memberitahukan kepada negara barat dan Amerika Serikat bahwa detasemen antianarki bentukan anyar pemerintah memiliki tugas memberantas teror sehingga membutuhkan suplai dana lebih dari donatur barat. Jika dicermati ketiga objek sasaran seperti Ulil Abshar Abdala (Pendiri Jaringan Islam Liberal), Goris Mere (mantan petinggi BIN), Soeryokoesoemo (Ketua pemuda Pancasila), Ahmad Dhani (Personel band Dewa 19 yang dianggap antek Yahudi). Terkesan pelaku mencari efek dari news value (nilai berita) yang dapat membentuk persepsi publik. Yakni khalayak akan mengira pelakunya adalah orang lama. 

Dampaknya adalah umat Islam selalu menjadi kambing hitam jika ada kasus kekerasan dan terorisme. Karena secara sederhana, pengamat terorisme dan mabel Polri dapat menyimpulkan pengirim paket buku adalah kalangan Islam fundamentalis. Padahal masih berbagai kemungkinan apakah kasus ini dimotori aktor lama atau baru. Jika pelaksananya tersangka lama tentu akan memberatkan persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Jika pelaku baru lantas siapa? Apakah ini pekerjaan rapi tanpa jejak ini dilakukan intelijen? Benarkah demikian, lantaran setiap ada perkara yang menyerang istana selalu muncul kasus baru untuk mengalihkan isu. Apa konspirasi besar dibalik semua ini? Semoga kita dapat mengkritisi tanpa mudah terbawa isu petinggi elite negeri ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute