Jumat, 06 Januari 2012

Mahasiswa Pribadi Terpilih


Dimuat di Suara Merdeka, 5 Januari 2012


Mahasiswa membawa serentetan peran dan tuntutan sebagai konsekuensi logis status. Agen of change, iron stock, dan moral force, adalah tuntutan massa saat berbicara mahasiswa. Ihwal tersebut memang tidak muncul begitu saja, perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa telah melahirkan konsep peran itu.

Gerakan mahasiswa masa lampau telah banyak mempengaruhi pengambil kebijakan di negeri ini, bahkan suksesi kepemimpinan 1998 tak lepas dari aksi mahasiswa. Maka tak heran jika mahasiswa di era reformasi dinisbatkan menjadi pilar kelima demokrasi.

Kini, bukanlah hal bijak mengingat masa lampau dan bersembunyi di balik kebesaran status. Sebab, bukan sandangan status yang membuat mahasiswa berarti, tetapi kesadaran terhadap tuntutan dan harapan di balik julukan tersebut yang menentukan (Sudjatmika Dwiatmaja; 2005).

Tantangannya ialah justru datang dari pihak kampus sendiri sebagai arena belajar mahasiswa.

Sekarang perguruan tinggi tak seperti dulu, di masa kini kampus justru menjauhkan mahasiswa dengan realitas. Sebagai contoh kebijakan Sistem Kredit Semester (SKS) adalah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) gaya baru.

Imbasnya mahasiswa menjadi fokus akademik dan berkutat pada teori pelajaran serta berlomba cepat lulus lantaran didera mahalnya biaya perkuliahan per semesternya. Tidak salah memang, tetapi jika sikap ini justru menimbulkan ketikpekaan terhadap kondisi sosial, mahasiswa malah menjadi kelompok rentan yang harus ditolong untuk disadarkan.

Menjadi insan pembelajar adalah keniscayaan. Sebab, mahasiswa harus mencerahkan dirinya sebelum membelajarkan lingkungan. Maka sense of crise pun menjadi karakter wajib dengan realitas sosial menjadi bacaan keseharian dan solusi sosial menjadi tuntutan pemikiran.

Mahasiswa berada pada posisi pengawal dan transformasi nilai. Berpijak dari pikiran inilah mahasiswa harus matang secara spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas, sebagai bekal untuk-meminjam istilah Paulo Freire-memberikan kesadaran (contientizacao) yang berorientasi perbaikan umat.

Tuntutan di muka hanya akan menjadi jargon dan retorika kosong, tanpa cara pandang dan paradigma profetik di kepala. Harus dipahami analog mahasiswa faktual segaris sepemaknaan dengan nabi. Jika nabi tercerahkan oleh wahyu, maka mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Mereka adalah the choosen people (pribadi terpilih) yang menggenggam tugas sejarah untuk melakukan perbaikan kehidupan. Begitulah mahasiswa seharusnya, memberikan pencerahan ke khalayak.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar: