Selasa, 28 Februari 2012

Kenaikkan BBM Harus Bertahap


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 23 Februari 2012


Pemerintah berada dalam posisi serba sulit. Berapapun besarnya subdisi BBM yang diberikan tak akan mampu melawan permintaan pasar. Seperti semakin banyaknya kendaraan bermotor dan mobil pribadi serta kemungkinan melambungnya harga minyak dunia jika Iran memblokade selar Hormuz sebagai jalur suplai sepertiga minyak dunia. Saat ini pengeluaran subdisi BBM 2012 mencapai Rp.123,6 triliun. Kalkulasinya jika produksi BBM sekitar Rp 8200,- per liter, berarti pemerintah memberikan bantuan Rp 3700,- per liter.

Uang sebesar itu, jika terus menerus digelontorkan akan membebani negara. Padahal jika difokuskan pada hal bidang lain, dapat membeli kerera api baru sebagai angkutan massal masyarakat, membangun infrastruktur, akses transportasi, dan mendukung industri kreatif sebagai penopang sektor ekonomi Indonesia.

Ditermin lain, pemerintah menghadapi dilema karena belum siapnya masyarakat menerima pencabutan subsidi atau bahasa kasarnya kenaikkan harga BBM. Kita lihat saja pengalihan pembelian dari premium ke pertamax saja banyak rakyat yang tidak mau karena harganya mahal. Sementara untuk menghindarkan ketergantungan khalayak pada BBM, rencana pemerintah untuk melaksanakan konversi BBM ke gas belum siap sepenuhnya karena perangkatnya mahal. Seperti pembelian alat konversi (konventer kit) 250.000 unit untuk Jawa-Bali dengan harga 2,5 juta per satuannya.

Jika kebijakannya ini dipaksakan akan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Tentu kita dapat belajar dari Nigeria yang memutuskan mencabut subsidi BBM seluruhnya. Sehingga harga BBM sebelumnya Rp 3600,-/liter sekarang merangkak dua kali lipat menjadi Rp 7890/liter. Massa pun merespon dengan turun ke jalan dan merusak fasilitas umum. Memang Indonesia tak bisa disamakan dengan Nigeria karena di sana produksi minyak lebih besar dan tingkat konsumsinya lebih sedikit. Tetapi efek sosialnya patut diantisipasi pemerintah jika tak ingin kerusuhan 1998 berulang dan membuat harga minyak fluktuatif.

Solusi jangka pendeknya pemerintah dapat memberlakukan kenaikkan harga BBM secara bertahap, sembari mempersiapkan secepat mungkin program konversi ke gas. Hitungannya pencabutan subsidi BBM Rp.1000,- saja dapat menghemat 38 triliun atau lebih baik daripada pembatasan pemakaian BBM tak bersubsidi bagi mobil pribadi yang hanya 8 triliun.

Langkah ini harus didukung dengan kebijakan lain untuk meredam kekecewaan masyarakat seperti ada pengecualian bagi kendaraan umum. Agar dampak terhadap naiknya biaya transportasi tak terjadi. Sehingga apabila publik merasa keberatan menggunakan kendaraan pribadi karena BBM mahal, memiliki opsi memakai kendaraan massal yang lebih murah. Oleh sebab itu, angkutan umum seperti bus way dan kereta api di kota besar pun perlu diperbanyak disertai pelayanan yang semakin baik.

Kedua, memberikan keringanan pada kebutuhan umum masyarakat seperti kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan Kemendiknas tahun ini untuk memangkas angka putus sekolah dan kemudahan bagi masyarakat tidak mampu untuk periksa di rumah sakit dapat segera direalisasikan. Kebijakan ini dapat meminimalisir frustasi sosial yang agaknya kini menjadi budaya massa layaknya kasus Mesuji dan Bima.

Ketiga, peningkatan produksi kebutuhan pokok dalam negeri perlu digalakkan untuk mengurangi nilai impor pangan dan menghambat efek domino kenaikkan harga BBM. Dan yang tak kalah penting ialah dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan industri kreatif dapat diwujudkan. Sebab, ranah industri inilah yang selama ini menjadi tameng dan perisai ekonomi nasional dari terjangan badai krisis ekonomi global. So, pemahaman kondisi dan alternatif solusi kawanan masyarakat amatlah dibutuhkan untuk melebur problem pelik ini.

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: