Kamis, 22 Maret 2012

Mahasiswa Harus Tradisikan Menulis


Dimuat di Republika Jogja, Kamis, 22 Maret 2012


Republika edisi Senin, 27 Februari 2012 mengangkat headline “Hentikan Copy-Paste”. Koran komunitas muslim ini mengutip data Kemendikbud tentang rendahnya produktivitas karya ilmiah dalam jurnal dibanding negara tetangga, Thailand 59.332, Malaysia 55.221, dan Indonesia 13.047. Sedangkan perbandingan jumlah penduduk dengan jurnal publikasi (1996-2010) menunjukkan Thailand peringkat 42, Malaysia 43, dan Indonesia 64. Atau sebanyak 239 juta jiwa hanya memiliki 54 karya ilmiah per populasi satu juta penduduk.

Data inilah yang menjadi premis kebijakan Kemendikbud untuk memberlakukan publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan strata 1, S2, dan S3. Tak heran jika kebijakan ini dianggap reaksioner dan tak memiliki perencanaan yang matang. Ihwal ini terlibat minimnya jumlah jurnal di Indonesia sebagai daya dukung sebagaimana dilansir kompas.com. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah dalam bentuk cetak hanya sekitar 7.000. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi.

Seyogianya bukan lantaran anak bangsa kalah dengan negeri jiran dalam menerbitkan karya ilmiah kemudian dibuatlah peraturan ini. Tetapi harusnya ikhtiar pemerintah untuk melestarikan tradisi intelektual (membaca, menulis, riset, dan diskusi) yang kini tak begitu menjamur di kalangan mahasiswa.

Bisa jadi sedikitnya eksistensi jurnal di tanah air, lantaran tak banyaknya pasokan tulisan dari calon sarjana ibu pertiwi. Sehingga pihak redaksi tak punya banyak opsi untuk memuat gagasan seseorang. Kondisi ini membuat redaksi penerbit jurnal terpaksa menagih dan meresume skripsi, tesis, atau disertasi bernilai A demi keberlanjutan terbitnya jurnal agar nilai akreditasinya tak turun.

Di sudut lain, bagi mahasiswa pragmatis merespon kebijakan ini dapat memesan pihak ketiga untuk membuatkan tugas akhir atau menyuap pihak redaksi jurnal untuk mengorbitkan karyanya seadanya. Suap, traksaksi dagang skripsi, plagiat, dan mafia gelar mungkin adalah ekses dari kebijakan ini. Namun, penyimpangan ini tak akan terjadi jika setiap mahasiswa mentradisikan menulis sejak dini di kampus.

Langkah ini dapat dimulai dengan membiasakan menulis artikel di media massa. Materi yang dituangkan pun tak perlu berat-berat, cukup apa yang diperoleh di jurusan masing-masing dikontekstualisasikan dengan isu lokal atau nasional yang relevan dengan jurusan. Selain itu, bahan materi dan referensinya dapat diperoleh melalui surat kabar, hasil riset institusi atau tokoh dan hasil diskusi yang disarikan. Menulis selain melatih mahasiswa berfikir sistematis, juga dapat menjadi medium untuk memberikan pencerahan dan manfaat bagi khalayak ramai.

Jika tak kunjung dimuat oleh surat kabar, media blog, dan situs jejaring sosial dapat digunakan sebagai ruang aktualisasi mahasiswa. Pada intinya menulis menjadi target keseharian untuk mengekspresikan gagasan melalui tinta dan pena. Aktivitas ini juga menjadi tanggung jawab moral seorang mahasiswa yang memperoleh julukan agen perubahan untuk mewasiatkan gugus gagasannya kepada generasi berikutnya. Sebab sepudar-pudar tulisan yang bermanfaat, itu lebih baik daripada fikiran yang tak pernah dilestarikan. Karena secara psikologis dan tinjauan ilmu kesehatan, menulis tidak membuat orang cepat pikun karena otak dan hatinya dinamis bekerja. Keduanya bekerja lantaran rasa sensitifnya pada realitas sosial yang diinderanya.

Akhirnya, mahasiswa bukanlah intelektual pohon pisang yang hanya ditakdirkan berbuah lalu mati. Sebuah analogi dari hanya menulis skripsi lalu tiada lagi. Tetapi menjadikan menulis sebagai bagian investasi amal di dunia dan di akhirat nanti.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka Pendidikan

Tidak ada komentar: