Selasa, 06 Maret 2012

Mengawal Anak Menonton Televisi

Dimuat di Citizen Jurnalism, Tribun Jogja, Selasa, 6/2/2012 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Data KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menunjukkan sebanyak 1,4 juta anak menonton TV pada kisaran waktu jam 18-21. Sangatlah disayangkan karena waktu itu adalah untuk belajar. Acara TV pada waktu itu adalah sinetron, bukan acara anak. Jika dikalkulasi rata-rata anak menonton sinetron 50 menit per hari, atau lebih banyak dari menyaksikan tayangan anak yang hanya 20 menit per hari. “Buruknya bagi anak adalah fase pertumbuhan mereka masih tahap meniru (modelling), dengan tingkat selektifitas yang rendah. Sehingga anak akan menerima apa saja tanpa mengkritisinya atau menolak. Lebih parahnya ketika di rumah orang tua menyerahkan pengasuhan anak pada TV dan tidak mendampinginya” ujar Fuad Nashori dalam Sekolah Ayah Bunda “Bahaya Pengaruh Media pada Anak”, Minggu, 4 Maret 2012 di Masjid Nurul Ashri. 

Lebih jauh, dosen Psikologi UII ini juga menuturkan hasil riset dari Lefkowitz menemukan bahwa sebagian besar dari 900 anak yang diamati selama 10 tahun secara berkesinambungan memiliki agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang jarang menonton sajian kekerasan. Penelitian lain dari Children Hospital (Boston, USA) terhadap 754 anak menunjukkan mereka yang banyak menonton televisi (terutama drama/sinetron percintaan) lebih dini dalam pertumbuhan seksual. Bagi tumbuh kembangnya otak, anak dibawah lima tahun yang rutin menonton TV akan mengalami hambatan membaca pada usia 6-7 tahun. 


Secara emosional pun anak akan cenderung mempunyai sikap individual yang tinggi. Karena anak lebih dekat pada media TV, Internet, Ipad ketimbang belajar berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Bagi orang dewasa pun dapat demikian, karena pesatnya perkembangan teknologi sisi positifnya dapat membantu aktivitas manusia tetapi secara tidak langsung dapat membuat diri kita berperilaku layaknya anak autis atau asyik pada dunianya sendiri. Mengaca pada problem di muka, Rahmat Arifin selaku ketua KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) cabang DIY berpendapat pentingnya diberikan pendidikan media atau media literacy dalam kurikulum pendidikan anak. Orientasinya adalah agar anak melek media dan kritis sehingga dapat memilih mana yang layak disaksikan dan mana yang tidak. Di negara maju, pendidikan media sudah diterapkan pada kurikulum yang diajakan mulai anak pra sekolah. Pertanyaannya ialah siapa yang berperan besar mengajarkannya. Di sekolah guru memiliki peranan signifikan untuk melakukannya. Sedangkan ketika di rumah, orang tua dapat membangun kebiasaan bermedia yang sehat. Kiatnya ayah atau ibu dapat mendesain ruangan agar TV di letakkan di ruang tengah, bukan di kamar tidur anak. Sehingga orang tua dapat mengontrol dan memantau agar anak tidak melihat tayangan seks, mistis, dan kekerasan. Selain mendampingi anak menonton TV, cara kedua orang tua dapat membuat jadwal menonton TV yang diletakkan di atas TV. Hal ini untuk memudahkan anak mengingatnya, memilihkan acara yang bermanfaat sekaligus belajar mengatur waktu. 

Jika anak didampingi pembantu, ajarkan pembantu untuk memilihkan acara yang positif. Dan yang lebih urgen adalah alihkan perhatian anak secara bertahap dari kebiasaan buruk menonton TV dengan mentradisikan membaca buku. Sebab membaca buku mempunyai sisi maslahat yang lebih banyak daripada mudharatnya. Penelitian Fuad Nashori (2003) memaparkan, terbentuknya kepribadian anak yang baik karena intensitas yang tinggi orang tua dalam mendampingi dan mendidik anak bukan diserahkan pada media. Jika demikian, kenapa kita tidak mencobanya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Tidak ada komentar: