Sabtu, 07 Juli 2012

Tragedi Lumpur Lapindo

Dimuat di Bernas Jogja, 1 Juni 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Enam tahun sudah tragedi lumpur Lapindo. Lumpur tanah yang menyembur di daerah Porong, Sidoarjo tersebut membuat puluhan desa dan ribuan kepala keluarga mengungsi. Para ahli mengatakan lumpur Lapindo akan berhenti pada 2030. Dampak buruknya ke depan selain menerjang rumah penduduk juga melalap fasilitas umum seperti jalan raya dan jalur rel kerata api serta memuat gas metan beracun. Kendati ada ikhtiar proses ganti rugi, tetapi hingga kini belum sepenuhnya tuntas pembayarannya. Tercatat ada 4229 berkas korban dengan nilai ganti rugi 920 Milyar yang belum dilunasi. Dengan adanya kasus ini, tentu akan mengganjal prosesi pencalonan Aburizal Bakrie selaku si empu perusahaan menuju RI 1. Karena calon presiden hendaknya terbebas dari isu negatif yang menderanya untuk meminimalisir kampanye negatif lawan politiknya.
Sampai saat masih diperdebatkan, apakah luapan lumpur Lapindo ini merupakan bencana alam atau kesalahan pengeboran perusahaan. Jika terkategori peristiwa alam yang berefek sosial, maka negara harus turut serta menyelesaikannya. Namun, jika kesalahan drilingatau pengeboran korporasi maka hanya pabrik tambang saja yang melakukan ganti rugi. Malangnya, timbul kesan negara ditaklukkan korporasi lantaran negara turut serta menanggung biaya pemecahan lumpur Lapindo. Terdata sejak 6 September 2006 sebanyak 6 Trilyun lebih APBN terkuras. Lebih rincinya 2006-2010 dikucurkan 2,8 Trilyun untuk penanggulangan dan kini dianggarkan 2011-2014 5,8 Trilyun. Hal ini membuat sebagian kalangan ingin mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas pengalokasian uang negara untuk penuntasan bencana lumpur Lapindo yang seharusnya ditanggung perusahaan saja.
Sungguh ironis uang negara yang seyogianya dialokasinya untuk kesejahteraan rakyat, malah diberikan kepada korporasi raksasa untuk membantu merampungkan permasalahannya. Lebih detailnya ada dua kategori yaitu korban terdampak dibayar PT Minarak Lapindo Jaya dan di luar peta terdampak ditanggung pemerintah. Tetapi dengan 150.000 m kubik per hari lumpur yang dikeluarkan dengan rentang waktu satu dekade mendatang, pemerintah akan lebih banyak menanggungnya karena daya sebar lumpur kian meluas. Semburan lumpur yang terus mengucur dan berlarutnya penanggulangannya sempat memunculkan film dokumenter berjudul “Mud Max” yang kritis menyorotinya.
Bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2012, dengan memahami sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada titik ini kita berharap pihak PT Lapindo segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanah, bangunan, dan menyumbat kutukan alam lumpur Lapindo. Semoga.
Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Tidak ada komentar: