Sabtu, 08 September 2012

Puasa, Pemaaf, dan Peminta Maaf


Dimuat di Buletin RESOLUSI, September 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra
Puasa seakan divisualisasikan memperlemah tubuh dengan lapar dan dahaga. Iklan di televisi mengatakannya dengan berbagai jargon produk makanan dan minuman. Maaf penulis sebut merk dagang seperti Okky Jelly Drink “penahan dan penunda rasa lapar”, Promaag “jika anda berpuasa mengalami gangguan pencernaan, minumlah Promaag”, atau Pocari Sweat dan Mizone yang gencar menawarkan minuman penambah hidrogen dan ion tubuh saat Ramadhan. Pengaruh media massa ini memengaruhi cara pandang setiap orang. Bahkan pemerintah daerah pun membuat kebijakan memangkas waktu kerja bagi PNS di bulan Ramadhan, masuk jam delapan dan pulang jam dua belas. Cara pandang tersebut memberikan kesimpulan seakan puasa menghambat progesifitas dan produktivitas kerja.

Padahal perubahan besar dalam menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini terjadi di syahru Ramadhan. Kemenangan perang Badar yang membangkitkan mental kaum muslimin untuk lepas dari ketertindasan kafir Quraisy, Fathul Makkah (penaklukan Mekkah) yang berakibat berbondong-bondongnya warga Mekkah masuk Islam, Muzaffar Quthus menaklukkan pasukan Tartar dalam perang Ain Jalut, Shalahudin Al Ayubi mengusir pasukan salib dari Palestina dalam perang Hithin, dan kemerdekaan republik Indonesia kesemuanya terjadi pada bulan Ramadhan. Penyebabnya adalah kemenangan yang satu mendahului yang lain. Kemenangan pertama adalah kemenangan di alam jiwa, kemenangan di alam roh yang mempunyai satu rahasia; puasa. Ya, puasa yang berdampak pada kemenangan di alam nyata.
Berasa lapar dan dahaga saat puasa itu lumrah dan manusiawi. Tetapi itu dampak fisiologis bukan bagian orientasi amalan. Kita harus membedakan dampak dan orientasi. Sejatinya orientasi puasa ialah menempa ruhiah insani bukan ragawi. Ihwal ini dapat tercermin dari firman Ilahi “hai orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Al Baqarah: 183). Perhatikan, Allah menggunakan kata “orang-orang beriman” bukan orang-orang berIslam. Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Iman menuturkan ketika mendedah hadist kedua Arba’in An Nawawi substansinya menunjukkan derajat sistematis yakni ihsan, iman, dan Islam. Jadi rutinitas puasa Ramadhan ditekannya kepada orang yang beriman tanpa terkecuali orang yang berIslam. Karena orang yang beriman pasti berIslam, tetapi orang berIslam belum tentu beriman. Wallahualam. Kata takwa mendefinisikan sisi ruhiyah yang diproses bukan fisik. Tarikh Islam mengisahkan, “hai Ubay apakah makna takwa?” tanya Umar bin Khatab. “Bagaimana jika kamu berjalan melewati jalan yang onak dan duri” tanya balik Ubay bin Ka’ab. “Tentu aku akan berhati-hati” tandas Umar. “Itulah takwa, penuh dengan kehati-hatian dalam menjalani hidup” jelas Ubay.
Di kutub lain, jika dicermati pada akhir Al Baqarah: 183 Allah menegaskan tujuan puasa agar kamu menjadi orang bertakwa yang memakai fi’il mudhorik (kata kerja yang akan datang). Jadi hakikat takwa tak hanya tumbuh di bulan Ramadhan saja, tapi di manapun, kapanpun dan di bulan berikutnya. Kita tentu familiar dengan kalimat yang dilontarkan khatib pada setiap khutbah Jum’atnya itaqillaha khaitsuma kunta

(bertakwalah di manapun kamu berada). Maka menjadi evaluasi kaum muslimin pada umumnya apakah setelah puasa level ketakwaannya semakin meninggi, stagnan, ataukah menurun.

Amalan Nabi di Syahrul Syawal
Ramadhan usai, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa menjabarkan para sahabat saling melantunkan taqaballahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amalan kami dan kalian). Jawabannya ialah minna wa minkum taqabal yaa karim (dari kami dan kalian terimalah amalan wahai dzat yang Maha Mulia). Sebenarnya ucapan kalimat di muka ialah isi khutbat sholat Ied Nabi, tetapi kemudian setelah usai dicontoh para sahabat dan Rasul pun mentaqrir (menyetujuinya) sehingga menjadi sunah hasanah.
Sahabat berdoa demikian karena puasa merupakan amalan sirri (tersembunyi) dan dipenuhi ketidakpastian apakah segala Ramadhan akan diterima Allah atau ditolok. Para ulama pun penuh rasa khauf (rasa takut) dan raja’ (penuh harap). Takut kalau amalannya tidak diterima dan penuh harap agar diterima amalannya dengan bermunajat kalimat doa di muka.
Imam Ahmad bin Hambal berkata “aku tidak mendahului mengucapkan selamat (tahniah) hari raya pada seorang pun. Namun, kalau ada yang mengucapkan selamat hari raya kepadaku aku akan membalasnya”. Imam Ahmad melakukan ini karena hukum mengucapkan salam atau selamat dengan menjawabnya berbeda. Mengucapkan salam adalah sunnah dan membalasnya adalah wajib. Allah berfirman “apabila kamu diberi salam penghormatan, maka balaslah dengan yang lebih baik atau setara dengannya. Sungguh Allah maha menghitung segala sesuatu” (An Nissa”: 86). Kesimpulannya adalah seseorang yang mendahului tahniah memiliki qudwah (teladan), begitupun yang menjawabnya juga mempunyai qudwah (teladan).
Adapun ucapan minal aidin wal faizin yang sering kita temui di baliho atau pernyataan pejabat di surat kabar dan televisi, bukanlah bermakna mohon maaf lahir dan batin. Sebenarnya kata tersebut merupakan penggalan dari kalimat ja’alanallahu waiyyaakum minal’aaidin wal faaizin (semoga Allah menjadikan kita kembali suci dan meraih kemenangan), sedangkan kata idul fitri ada dua penafsiran. Pertama ada yang menyatakan ‘kembali ke fitrah atau suci’. Kedua ada yang menjelaskan idul fitri bermakna ‘kembali makan’. Fitri berasal dari kata afthara, yafthiru berarti makan. Karena makan ialah pertanda bahwa puasa Ramadhan telah usai dan merupakan wujud rasa syukur karena manusia telah melaksanakan kewajiban puasa selama sebulan penuh. Ihwal ini sesuai sabda Nabi Diriwayatkan Abu Ubaid, “... hari raya Fitri adalah hari berbuka puasa (makan) kalian dan hari raya Adha kalian adalah makan daging yang kalian sembelih di hari itu." (H.R. Ibnu Majah).
Oleh sebab itulah, Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’ad mengatakan “Nabi Muhammad saw biasa mengakhirkan sholat idul fitri dan mempercepat pelaksanaan sholat idul adha”. Adapun hikmahnya kaum muslimin diminta lebih siang sholat idul fitri karena Nabi menganjurkan makan terlebih dahulu sebagai tanda puasa selesai, dan memerintahkan lebih pagi sholat idul adha agar dapat segera menyembelih kurban.
Amalan Nabi Muhammad saw di bulan Syawal adalah puasa enam hari di bulan syawal. Diriwayatkan dari Abu Ayub Al Anshari, Nabi bersabda “sesiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawal, maka seolah berpuasa sepanjang masa” (H.R. Jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i). Sa’id Hawwa dalam Al Islam mencoba mengkalkulasi hadist di muka, jika setiap amalan dibalas Allah 10 kali ganjaran pahala. Maka 30 hari puasa Ramadhan X 10= 300 ditambah 6 hari puasa Syawal X 10= 60. Hasil akhirnya 300+60= 360. Kenapa tidak sampai 365 hari, karena ada hari-hari lain yang dilarang untuk berpuasa yaitu idul fitri, idul adha, dan tiga hari Tasyrik.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan, menurut Imam Ahmad bin Hambal, puasa syawal dapat dilakukan berturut-turut atau tidak, dan tak ada kelebihan antara cara pertama dan kedua. Pendapat lain menurut Imam Syafi’i dan Hanafi, lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berturut-turut yaitu setelah hari raya. Lantas bagaimana jika puasa Ramadhan kita pernah bolong. Ijtihad para ulama, jika puasa Ramadhan hukumnya wajib maka menggantinya juga wajib, sementara puasa Syawal adalah sunnah. Maka lebih diprioritaskan mengganti Ramadhan terlebih dahulu ketimbang puasa Syawal. Tetapi ada pula yang berkomentar, untuk mengganti puasa Ramadhan dapat dilakukan di bulan-bulan lainnya selain Syawal, yang jelas sebelum Ramadhan datang lagi. Maka di bulan Syawal ditekankan untuk puasa enam hari. Tafadhal, argumentasi ini juga tidak salah. Penulis hanya menegaskan, kita tidak tahu kapan kematian menghampiri, maka seyogianya kita dahulukan amalan wajib.
Pemaaf dan Peminta Maaf
Tradisi saling memaafkan setelah Ramadhan hanya ada di Indonesia. Kata halal bi halal pun merupakan istilah yang muncul dari orang Indonesia. Tak akan kita temui dalam literatur arab. Jika anda menyaksikan televisi timur tengah tak ada iklan atau ucapan orang dan pejabat “minal aidin wal faaizin, mohon maaf lahir dan batin”. Budaya bermaafan adalah kebiasaan yang baik, tetapi hendaknya jangan menimbun dosa setahun kemudian baru meminta maaf. Lebih bijaknya beri maaflah orang lain sebelum mereka meminta maaf. Allah mengatakan “jadilah pemaaf dan lakukanlah yang ma’ruf dan jangan pedulikan orang bodoh” (Al A’rah: 199).
Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an atau populer disebut Tafsir At Thabari berkomentar, ayat ini merupakan perintah Allah pada Muhammad agar memaafkan orang musyrik dan tidak bersikap keras pada mereka.
Pada ayat lain kita dapat merujuk pesan langit, “dan sesiapa bersabar dan memaafkan, sungguh itu merupakan hal yang diutamakan” (Asyuura: 43). Imam At Thabari menafsirkan kata “sabara” maksudnya bersabar terhadap perilaku buruk yang dialaminya, sedangkan kata “ghafara” artinya memaafkan orang yang berlaku buruk terhadapnya. Tanpa membela diri, padahal mampu. Kendatipun kita benar dan terdzolimi, kita tetap diperintahkan Allah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Subhanallah. Memberi maaf berbeda dengan membiarkan kesalahan. Jika orang lain meminta maaf, lebih afdhal kita memaafkan dengan menasehatinya secara baik tentang kesalahannya agar tidak mengulanginya. Sebab, Allah pun lebih pemaaf terhadap kesalahan hambanya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Dzar Al Ghifari, Nabi bertutur “sungguh Allah memaafkan dari umatku kesalahan, lupa, dan terpaksa” (H.R. Ibnu Maajah).
Manakah yang lebih utama antara memaafkan dan meminta maaf. Keduanya lebih utara, karena jika kita tidak mau meminta maaf, hal ini akan berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Dia akan merasa berada di atas, tidak pernah salah, dan akan dipenuhi rasa sombong. Oleh sebab itu, meminta maaf juga merupakan amalan yang dianjurkan.
Menjadi pemaaf merupakan manifestasi meneladani sifat Allah Al Ghafuur (maha pengampun) dan karakter Nabi Muhammad yang pemaaf kendati ditolak dan dimaki dalam aktivitas dakwahnya. Berpijak dari sifat inilah jika kaitannya manusia bersalah pada Allah, dianjurkan memohon ampun dan bertaubat. Kalau bersalah dengan orang lain, maka harus diselesaikan dulu dengan meminta maaf agar Allah juga mengampuni kita. Wallahua’lam.
“Ya Allah, sungguh engkau maha pemaaf, menyukai permintaan maaf, maka maafkanlah aku” (Dari Aisyah, H.R. Tirmidzi, Ibnu Maajah, Ahmad)
Vivit Nur Arista Putra
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Tidak ada komentar: