Selasa, 23 Oktober 2012

Evaluasi Pemberian Grasi

Dimuat di Republika Jogja, 23 Oktober 2012
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Putusan peninjauan kembali MA dan pemberian grasi presiden terhadap terpidana mati kasus narkoba Hengky Kurniawan (HK) dan Deni Setia Maharwa (DSM) seakan antiklimaks dengan perjuangan melawan narkoba selama ini. MA mengubah hukuman HK menjadi 15 tahun penjara dan DSM mendapatkan ampunan menjadi kurungan badan seumur hidup. Beberapa silam, Presiden juga memutuskan grasi bagi Schapelle Corby (ratu mariyuana Australia). Jika dibaca latar kebijakannya, motif politik menjadi pendorongnya. Dampaknya beberapa tahanan warga negara Indonesia dibebaskan dari terali besi di negeri Kanguru.

Menurut istana ada seratus lebih permohonan grasi ke presiden, tapi mayoritas ditolak. Sementara untuk kasus DSM, kepala negara mempertimbangkan hak asasi manusia untuk hidup. Jika difikir matang, memberantas mafia narkoba dan jaringannya juga menjunjung generasi muda untuk hidup berkelanjutan. Pasalnya yang terkena sindrom narkoba dominan para remaja. Maka mengurangi hukuman terpidana narkoba yang terkait sindikat narkoba internasional, sangatlah menyakiti hati rakyat Indonesia yang berkomitmen menjauhkan anaknya dari barang haram tersebut.
Kendati secara konstitusi ada dalil hukumnya Pasal 14 ayat 1 UUD 1945 “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan mahkamah agung”. Tetapi presiden juga harus mengingat kesepakatan pemimpin ASEAN dalam 4 April 2012 yang tertuang dalam ASEAN Leaders Declaration on Drug Free ASEAN 2015Pada pertemuan itu, setiap negara di asia tenggara mengakui masalah narkoba tetap menjadi salah satu masalah keamanan utama. Karena imbasnya yang kuat merusak struktur sosial bangsa dan dapat berpengaruh pada tindakan kriminal yang mengancam stabilitas negara.

Oleh sebab itulah, disepakati roadmap kerja 2009-2015 ASEAN bebas narkoba. Koordinasi masif dan penegakan komprehensif untuk meminimalisir produksi dan peredaran obat terlarang. Tetapi itu semua dibutuhkan komitmen kuat dan tindakan tegas setiap kepala negara untuk memberantas mafia dan gembong narkoba, tak sekadar distributornya. Jika presiden SBY terus menerus obral grasi, tak hanya masyarakat sipil. Negara lain mungkin akan mempertanyakan keseriusan Indonesia membumihanguskan narkoba dan variannya.
Rapor buruk di ASEAN selama ini alur peredarannya memang berpangkal pada segitiga Laos, Thailand, dan Myanmar. Tetapi besarnya demografi, Indonesia dipandang merupakan pangsa pasar potensial guna mencari keuntungan. Perkara ini menjadi tantangan petugas bea cukai dan keimigrasian untuk semakin teliti dan sigap mengawasi arus peredaran barang dan manusia. Apalagi ke depan akan dibentuklah masyarakat ASEAN layaknya uni Eropa, di mana setiap orang dapat lalu lalang ke pelbagai negara ASEAN dengan bebas tanpa visa.
Sebagai evaluasi dan koreksi atas kebijakan presiden, publik dapat menyampaikan aspirasi kepada dewan perwakilan rakyat agar dapat menggunakan hak interpelasi (hak bertanya), hak menyatakan pendapat, hingga hak angket (untuk penyelidikan). Sekadar pengingat data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan, jumlah pemakai narkoba sudah mencapai 3,8 juta orang. Bahkan Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) mencatat jumlahnya hingga 5 juta jiwa. Rinciannya 70 persen pecandu narkoba masih bersekolah dengan rentang usia 14-20 tahun. Jika tak ingin bertambah, presiden selaku penanggung jawab tertinggi dan terbesar hajat hidup bangsa ini, harus komitmen terhadap ucapannya selama ini. Berantas narkoba.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Sleman 

2 komentar:

blogger mengatakan...

kok sekarang gak aktif lagi nulis mas

Vivit Nur Arista Putra mengatakan...

Insyaallah sekarang mulai lagi. Alhamdulillah tahun lalu saya menulis buku "Pecandu Buku". Semoga bermanfaat bagi pembaca ya..