Senin, 05 Juli 2010

Refleksi Aksi 9 Desember

Dimuat di Harian Jogja, 14 Desember 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Sejarah rezim di negara mana pun, termin kedua kekuasaannya akan menuai banyak cobaan dan tantangan. Akan tetapi, di sisi lain policy yang diambilnya pun kian berani bahkan pada taraf kebijakan tak populis sekalipun. Hal ini disebabkan matangnya proses pembelajaran dari akumulasi pengalaman berlebih di lima tahun pertama. Terbukti awal periode kedua pemerintahan SBY dimulai dengan nuansa baru. Perumusan agenda bersama dengan melibatkan tokoh masyarakat, pakar, dan elemen sosial dalam nasional summit November kemarin, hingga program seratus hari yang terencana, terukur, dan transparan agar dapat dikontrol masyarakat adalah terobosan baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

Malangnya, program seratus hari yang terhitung sejak pelantikan presiden terganjal beberapa kasus yang dapat memecah konsentrasi dan memalingkan fokus kerja pemerintah. Kasus BC I, atau dugaan kriminalisasi sistemik terhadap duo pimpinan KPK Bibit-Chandra, serta kasus BC II atawa Bank Century yang merenggut uang rakyat 6,7 Trilyun dan menyeret nama pejabat tinggi negara menjadi batu sandungan dan sasaran tembak lawan politik SBY. Tak heran jika SBY begitu khawatir terhadap aksi massal 9 Desember yang mengusung isu tuntaskan korupsi dan skandal Bank Century yang disinyalir dilakukan tanpa semangat memberantas korupsi, bahkan diduga ditunggangi kepentingan politik tertentu yang memiliki motif lain. Faktanya kekisruhan massal yang ditakutkan presiden tak terjadi. Demontrasi berlangsung lancar, tertib, dan aman kecuali Makassar dan Pamekasan. Selain itu, semua aksi yang digelar hampir diseantero kota pojok negeri relatif terkendali. 

 Jika penulis amati, aksi dengan agenda utama deklarasi Piagam Indonesia Bersih tersebut, dapat menjadi pemantik dan penyadar segenap khalayak bahwa masih banyak kasus korupsi yang belum diusut, merajanya mafia peradilan, praktik penegakkan hukum tebang pilih, yang membuat khalayak ramai merasa wajib ikut serta memberantasnya. Terlepas dari ihwal di muka, phobia pemerintah terhadap aksi massa terbesar sejak demonstrasi besar-besaran menggulingkan Soeharto 1998, agaknya cukup beralasan. Momentum sebagai katalisator pemercepat laju tuntutan massa menjadi salah satu kuncinya. 

Rijalul Imam dalam bukunya Menyiapkan Momentum menjelaskan tentang rumusan momentum yaitu massa dikali kecepatan. Artinya, jika kita ingin menciptakan momentum maka perbanyaklah kuantitas massa , bersamaan dengan itu perbesarlah tingkat akselerasi kita dalam banyak hal, termasuk fokus isu tuntutan aksi yang ingin diusung sebagai upaya dan tindakan terwujudnya perubahan. Maka dapat penulis simpulkan kekuatan aksi 9 Desember menuai perhatian khalayak terletak pada momentum, kuantitas massa, dan fokus isu tuntutan. 

Jika kita refleksikan secara seksama peristiwa tersebut mengandung arti yang mendalam. Pertama, kepedulian masyarakat luas untuk turun aksi ke jalan mengindikasikan rakyat mulai cerdas menanggapi problem sosial kekinian dan bosan akan lambannya kerja pemerintah memberantas kasus korupsi dan mafia kasus. Kedua, hendaknya energi kolektif gerakan sosial tak hanya berkumpul pada momentum tertentu saja, namun dapat setiap saat menderu sebagai lonceng pengingat akan komitmen pemerintah memberangus korupsi. Hal ini penting dilakukan agar tidak timbul prasangka negatif dari penguasa terhadap aksi masyarakat yang mengkritisi kasus yang belum menuai titik terang. 

Ketiga, dalam era demokrasi virtual dan reformasi rezim, peran media untuk membentuk opini publik menjadi urgen, sehingga dapat menempatkan diri sebagai pilar demokrasi keempat yaitu watch dog atau kontrol sosial, agar kasus sekecil apapun yang melilit pemerintah akan langsung tercium oleh rakyat. Oleh sebab itu, ada baiknya kita mendengarkan petuah ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, “dalam sejarah pemerintahan, siapapun yang melawan suara rakyat akan binasa.” Wallahua’lam bishawab. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Menggugat Ujian Nasional

Dimuat di KOMPAS Jogja, 11 Desember 2009 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pascapenolakan kasasi dari Mahkamah Agung atas perkara ujian nasional yang diajukan pemerintah semakin memojokkan posisi pemerintah (Depdiknas). Sebelumnya masyarakat lewat gugatannya (citizen law suit) juga memenangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat dan pengadilan negeri Jakarta lewat aduannya karena pemerintah tak mampu menyelenggarakan pendidikan secara layak dan merata serta tidak memberikan akomodasi bagi korban yang tak lulus ujian nasional. Ihwal ini semakin membuktikan bahwa ujian nasional memang cacat secara hukum, kendati MA tidak secara eksplisit melarang pelaksanaan UN.

Namun, ujian nasional yang dijadikan sebagai penentu kelulusan serasa tidak adil, karena merenggut hak pendidik sebagai evaluator untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Sisdiknas Pasal 58 ayat 1) dan mengabaikan unsur penilaian berupa proses. Selain itu pembangunan sarana prasarana pendidikan serta peningkatan kualitas SDM (pendidik) bersifat sentralistik, fokus di kota besar dan tidak merata (unsimilarity) hingga daerah pedalaman. 

Dengan demikian, hasil UN tidak dapat dijadikan indeks atau ukuran prestasi setiap pemerintahan daerah karena ketimpangan fasilitas dan pengajar antardaerah provinsi. Pemerintah telah membuat PP No. 19/ 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan kriteria minimal sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik Indonesia. Adapun lingkup standar nasional pendidikan meliputi; standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Logikanya kedelapan standar awal haruslah dipenuhi lebih dulu sebelum beranjak pada penjatuhan standar penentuan penilaian (baca: UN). Pemerintah seakan tergesa-gesa memutuskan kebijakan UN. Momentumnya tidak tepat. Rasionalisasinya, UN tidak mungkin dilaksanakan jika delapan lingkup standar pendidikan nasional belum dipenuhi. 

Seharusnya BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) selaku badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan, menganulir kebijakan UN dari Depdiknas. Sebab, pemerintah secara luas belum menuntaskan delapan aspek standar di atas. Maka amatlah naif jika Depdiknas bersikukuh menghelat UN. Jika dilacak, kesesatan UN sebagai penentu kelulusan dapat penulis urai satu per satu. Pertama, UN hanya menguji kognitif peserta didik karena mata pelajaran yang diujikan berisi pilihan ganda dan esai yang membuat siswa cenderung menghafal fakta-fakta dan berfikir satu arah (divergen). Kedua, segelintirnya mapel UN sebagai penentu kelulusan yang diujikan, berdampak pada fokus belajar siswa tertuju pada mapel tersebut dan mengabaikan pelajaran lain. Ketiga, menurut Anita Lie (Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya) UN berdampak pada kerusakan sistem. Proses belajar mengajar di kelas berubah menjadi bimbingan belajar yang akan menghasilkan lulusan instan (siap saji) dan mengacuhkan proses. Keempat, muncul sindrom problem sosial. Bagi satuan pendidikan, karena UN berkaitan dengan prestise sekolah, maka pendidik akan melakuan kiat apapun agar anak didiknya lulus. Begitu pun peserta didik, adanya stigma “bodoh” dari masyarakat bagi siswa yang tak lulus UN berefek pada tekanan psikologis. Potensi inilah yang dapat membuat peserta didik dan pendidik kongkalikong untuk berbuat curang. Amat miris memang. Sekolah yang harusnya menjadi ruang pendewasaan dan pematangan berfikir mitra didik, malah menggiring siswa untuk berfikir pragmatis; pokoknya lulus. Pendidikan haruslah mendekatkan siswa pada realitas sosial, agar ia peka, menerka, dan menganalisa masalah yang ditemuinya. 

Jika UN dilaksanakan bobot soal ujian haruslah disesuaikan dengan daerah masing-masing dan jangan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Tetapi untuk mengukur kualitas pendidikan di setiap daerah. Evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 bermakna “kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan,” haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan dan pendidik setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberi otonomi pada sekolah. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Administrasi Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan Politik untuk Mahasiswa

Dimuat di Harian Jogja, Desember 2009 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Rentang waktu satu dasawarsa terakhir demokratisasi di negeri ini semakin dewasa. Terselenggaranya pemilihan umum langsung yang mengakomodir kemajemukan agama, suku, ras, dan budaya dengan baik, aman, kendati belum adil sepenuhnya, menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan Indonesia menampung keanekaragaman warga negaranya. Inilah yang menyebabkan Indonesia memperoleh penghargaan internasional sebagai representasi negara multikultural yang demokratis. Menjadi konsekuensi logis generasi selanjutnya untuk melestarikan demokrasi yang mencerdaskan masyarakatnya agar kehidupan berbangsa dan bertata negara terlaksana. Yakni, terciptanya kontrol sosial sesama warga negara maupun antarpemangku kebijakan dengan rakyatnya. 


Kata Abraham Lincoln “demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Rakyat sebagai penentu calon pemimpin dan objek sasaran kebijakan pemerintah, haruslah cerdas dan faham aturan main sistem demokrasi agar tidak diombang-ambingkan. Untuk itu, pendidikan politik menjadi penting untuk diberikan, agar tidak terjadi –meminjam istilah Amien Rais- powerless atau tuna kuasa. Dengan demikian rakyat akan cerdas mengontrol roda pemerintahan dan meminimalisir terjadinya pemerintahan otoriter. Berangkat dari statement di muka pendidikan politik menjadi penting diberikan ke publik, dan komunitas yang potensial melakukannya ialah mahasiswa. Membicarakan mahasiswa, tak lepas dari idealisme dan kampus sebagai ruang geraknya. Mahasiswa adalah the chosen people (manusia pilihan) yang menduduki kelas midle atau menengah dalam stratifikasi sosial. Oleh sebab itu, banyak harapan bersimpuh di pundaknya. Kalangan elit birokrat beserta perangkatnya, tentu menaruh asa agar mahasiswa dapat melanjutkan perjuangan mereka dalam bidang apa saja demi kemajuan negara. 

Di sisi lain, khalayak ramai akar rumput menginginkan agar mahasiswa membela rakyat, tidak terlena dengan kemapanan, dan bersuara kritis atas segala kebijakan yang tidak membumi. Sedangkan kampus adalah alam bagi mahasiswa yang memberikan ruang pembelajaran dan perantaraan pengenalan sebelum terjun ke masyarakat. Sebagai institusi tertinggi penyelenggaraan pendidikan, peran kampus haruslah mendekatkan mahasiswa dengan konteks realita persoalan masyarakat kekinian, bukan malah menjauhkannya. Pada titik ini, pendidikan politik disalurkan di kampus melalui aktivitas bermain peran (role play) sebagai presiden mahasiswa yang menjalankan roda pemerintahan, dewan perwakilan mahasiswa sebagai pengontrolnya, atau menjadi partisipan maupun simpatisan dalam politik kampus sebagai peleburan idealisme mahasiswa. 

Berpijak dari pola fikir inilah sekelompok mahasiswa mendirikan Republik mahasiswa (Rema), sebagai ruang konkret pembelajaran untuk merembeskan politik education dalam tempurung kepala mahasiswa. Bukan bermaksud mendirikan negara dalam negara, tetapi dari sinilah pendidikan politik tersebut dimulai. Sudah menjadi tradisi di setiap kampus, akhir tahun merupakan masa pergantian kepengurusan organisasi mahasiswa (ormawa). Penentuan ketua atau presiden mahasiswa ditentukan mayoritas suara dalam pemilihan mahasiswa (pemilwa). Begitu pun di kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang menurut agenda 5-10 Desember; masa kampanye, 11 Desember; debat calon presiden mahasiswa, dan 15 Desember; pemungutan suara. Partai mahasiswa di kampus seperti Partai Tugu, Partai Bintang Perdamaian, Partai Gaul, dan Partai Matahari Sejahtera siap unjuk gigi mengusung capres dan wapresnya dalam hajatan akbar tahunan pemilwa sebagai bagian pelestarian pendidikan politik bagi mahasiswa. So, kita nantikan siapa pemenangnya. Bravo UNY. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Mahasiswa UNY

Rasionalisasi Kabinet SBY

Dimuat di Harian Jogja

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Teka-teki siapa yang akan menemani SBY terjawab sudah. Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah diumumkan. Komposisinya 19 perwakilan parpol, 4 pejabat militer, 12 kalangan professional, dan 2 birokrat. Banyak khalayak mengaku kecewa, namun ada pula yang menaruh harapan. Rasa kecewa muncul melihat susunan kabinet terbaru masih ditempati orang-orang lama alias L4 (loe lagi-loe lagi). Padahal sebagian dari mereka tak menunjukkan keberhasilan berarti dikepengurusan sebelumnya. Jika difikir apa alasan mendasar (raison d’etre) SBY mempertahankan muka-muka lama seperti Purnomo Yusgiantoro dan Freddy Numberi,. Apakah mereka tergolong sukses mengemban tugasnya? Tidak. 


Menurut pengamat politik UGM Aan Dwiparna, pilihan tersebut berdasar aspek loyalitas dan mempertimbangkan representasi geografis semata. Selain itu, SBY terkesan menyalahi konsepnya sendiri the right person, the right place, and the right time dalam memilih menteri. Jika dicermati koordinator menteri perekonomian Hatta Rajasa tidak sesuai posnya, mengigat kader PAN ini tidak memiliki rekam jejak mengurus masalah ekonomi makro maupun mikro. Padahal pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tujuh persen di masa datang. Hal ini tentu kontradiktif dengan konsep the right person, (tepat memilih orang) dan the right place (tepat menempatkannya). Perihal banyaknya kader parpol yang duduk di eksekutif dapat dimafhumi sebagai konsekuensi logis koalisi partai pemenang pemilu yang berdampak pada pembagian jatah di kabinet. 

Kemungkinan sisi negatif lainnya ialah masih adanya menteri yang merangkap jabatan di parpol, ditakutkan akan terjadi vested interest (konflik kepentingan) dengan partainya, ego sektoral, jika kritis dapat terjadi friksi internal di pemerintahan, dan membuat fokus kerja terbelah. Sebab, untuk manajerialisasi seorang menteri akan sangat luas jika memegang jabatan ganda. Jika SBY berkomitmen untuk memperkuat sistem presidensial dan pemerintahan efektif, presiden harus merespon hal ini. Kendati secara legal formal tak ada kode etik yang melarang menteri menjadi pengurus partai politik. Tetapi, sebagaimana tertera dalam pakta integritas, para menteri harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dapatlah dijadikan pertimbangan untuk bersikap. Sedangkan masyarakat lain mengaku cukup optimis dengan kabinet ini. Ihwal ini dapat dianalisis. Pertama, menangnya partai Demokrat di parlemen dan eksekutif akan menjadikan stabilitas politik sehingga pemerintah dapat terus fokus bekerja. Ditambah lagi tiada parpol yang lantang menyerukan diri sebagai oposisi. 

Menurut Meriam Budiharjo, sistem presidensial menjadikan eksekutif berperan lebih besar ketimbang legislatif. Hal ini diperkuat dominannya suara Demokrat di parlemen. Dengan demikian, DPR yang sejatinya dimintai persetujuan kebijakan oleh pemerintah agaknya akan mengontrol kebijakan pemerintah secara formalitas saja lima tahun ke depan. Kedua, kendati kabinet ini terlampau gemuk (34 menteri dan departemen) ketimbang negara lain dengan sistem presidensil umumnya. Akan tetapi masyarakat patut mengapresiasi adanya program seratus hari yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, satu tahun sebagai langkah tindak lanjut, dan lima tahun ke depan sebagai penuntasan. Rancangan strategis ini akan dimatangkan dan diintegrasikan dalam Oktober Summit Agenda. Tokoh masyarakatpun dapat merekomendasikan program kerja apa yang harus digarap pemerintahan mendatang. 

Jika program kerja tersebut dilakukan secara transparan, tepat sasaran, tentu akan memudahkan rakyat mengukur keberhasilan pemerintah ke depan, dan dapat pula dijadikan pertimbangan reshuffle kabinet jika diperlukan. Ini merupakan hal yang baru sepanjang sejarah rezim di Indonesia. Pada titik ini rakyat dapat menagih janjinya dan dapat diterka apakah pemerintah serius menyejahterakan rakyat dengan setumpuk persoalan yang dihadapinya. Akhir kata selamat berfikir, berjuang, dan berkarya SBY-Boediono. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute

ISL Perlu dipromosikan

Dimuat di Harian Jogja, 17 Desember 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


 Dua tahun sudah Indonesian Super League (ISL) hajatan akbar sepak bola Indonesia digelar. Berbagai perbaikan dilakukan PSSI untuk membangun kemandirian dan profosionalitas klub sepak bola tanah air. Mulai dari pembentukan badan hukum yang membuat klub harus mandiri secara financial dan melepas ketergantungan APBD, Infrastruktur sesuai standar internasional, sertifikasi pelatih berlisensi A, dan pembinaan tunas muda setiap klub untuk menyiapkan selapis generasi ke depan. 

Akan tetapi, ada yang menarik dari aturan baru PSSI hasil adopsi kode etik AFC, mengenai transfer atau kepemilikan pemain asia setara dengan pemain domestik ditambah satu pemain dapat dimainkan di Liga Champions Asia (LCA). Regulasi baru ini membuat kebijakan masing-masing klub gencar memburu pemain benua asia. Tak heran negeri yang dianggap sepak bolanya lebih maju ketimbang kita seperti Iran, Jepang, dan negari jiran ASEAN menjadi targetan. Walhasil kuartet Singapura seperti Nor Syah Alam, Riduan (Arema), Mustafic Fachrudin, Bhaihaki Khaizan (Persija), Amir Syah Reza (Persiba) kini merumput di Indonesia. Sebelumnya sudah ada Phaitoon Thiabna (Persijap) dan Roby Gaspar (Persema) yang berlaga di ISL. Tentu, datangnya mereka kita harapkan mengangkat kualitas sepak bola nasional. Serta menarik perhatian kuli berita Internasional. Macthday pembuka Arema kontra Persija kabarnya diliput empat wartawan negeri Singa. Secara tidak langsung sorotan wartawan ini dapat mengenalkan dan mempromosikan ISL pada khalayak manca. 

 Jika penulis cermati, sebenarnya daya tarik ISL bukan terletak pada regulasi baru PSSI yang berdampak maraknya pemain Asia eksodus ke nusantara. Akan tetapi, antusiasme dan fanatisme penonton yang memadati stadion setiap pertandingan membuat pemain asing tertantang dan merasa “dihargai” berlaga di ISL. Hal ini tak banyak ditemui di kompetisi sepak bola Asia lainnya. Nilai plus lainnya ialah hampir meratanya kualitas pemain membuat sulitnya memprediksi kampium liga super, hal ini memberikan peluang klub tetap sama besar mencapai tangga juara. Secara psikologis perihal ini akan berpengaruh bagi pemain yang merumput di ISL. Kendati secara nonteknis aturan PSSI, seperti transfer pemain dan ketegasan pemberian sanksi oleh PSSI masih perlu dibenahi. Berpijak dari pemikiran di muka, agar pemain bintang Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika latin tertarik menjajal kompetisi kita, ISL perlu dipromosikan. Kiatnya, PSSI dapat menghelat turnamen pramusim dengan mengundang klub asing. Selain menambah pengalaman bertanding, turnamen tersebut dapat mengangkat daya tawar klub ISL pada kontestan lain. Thailand dan negeri Asia timur lainnya sudah mempraktikkannya dengan mengundang klub Inggis. 

Kedua, perekrutan pelatih ternama akan mempermudah transfer pemain bintang untuk masuk. Kesemuanya dapat mudah dilakukan jika PSSI serius mengelola kompetisi secara profesional, dengan mereformasi regulasi dan aspek teknis lainnya yang masih berlubang. Penulis hanya bisa berharap, hendaknya setiap perhelatan ISL menjadi pelajaran perbaikan demi kemajuan sepak bola kita. Bravo sepak Indonesia. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa UNY

Menerka Alasan Golkar Berkoalisi

Dimuat di Rubrik Jagongan Harian Jogja, 23 Oktober 2009
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Kemenangan Aburizal Bakrie (Ical) di Munas Pekan baru, Riau berdampak pada sikap politik Golkar lima tahun ke depan. Dapat diterka kendaraan politik orde baru ini merapat ke pemerintah. Kendati bargaining power atau daya tawarnya lemah, namun kedekatan personal Ical dengan SBY menjadikan peta koalisi bertambah dan dapat dipastikan pembagian jatah kabinet kian ramai. Hal ini diperkuat pernyataan Akbar Tanjung (dewan pertimbangan Golkar) yang siap mengajukan kader terbaiknya mengisi kabinet Indonesia bersatu jilid II.

 Pernyataan politik partai Beringin ini semakin mempertegas tabiat partai ini tak dapat jauh dari kekuasaan. Tampaknya partai yang mulai ikut pemilu sejak 1972 ini mengidap penyakit amnesia sejarah. Bagaimana tidak? Apakah koalisi dengan Demokrat di pemerintahan 2004-2009 tidak memberikan pelajaran! Saat itu terjadi tarik ulur kepentingan antara Golkar dan Demokrat, belum lagi klaim keberhasilan antara SBY dan JK menjelang pemilu 2009. “Peristiwa” tersebut mengindikasikan Golkar tak mau kalah untuk urusan kekuasaan. Golkar di bawah nahkoda baru tak jauh berbeda dengan periode lalu. Ical seperti JK. Bedanya, bergabungnya Golkar ke pemerintah akan menjadikan Ical berada dalam bayang-bayang SBY. Penuturan Ical bahwa mengawasi kinerja pemerintah tak harus menjadi oposisi dan dapat dilakukan dalam pemerintahan dengan mengritisi dan menolak kebijakan yang tak populis atau pro rakyat, justru sangat kontradiktif. Jika kader partainya yang mengisi kabinet terlibat pembuatan policy atau kebijakan serta kader Golkar lain mengritiknya, bukankah sama dengan menjilat ludah sendiri! Apalagi suara legislatif dimiliki Demokrat. 

Tentu proses kontrol lebih efektif dilakukan di luar lingkaran kekuasaan dengan mengagitasi masyarakat dan memanfaatkan media massa sebagai watch dog atau pilar demokrasi keempat, agar terjadi balance antara eksekutif dan legislatif. Semoga pilihan Golkar koalisi bukanlah pragmatis. Akan tetapi, mari kita lihat sisi lain keputusan Golkar untuk terlibat dalam pemerintahan. Penulis memprediksi ada tindak lanjut koalisi ini untuk memenangkan pemilihan daerah (pilkada) 2010. Golkar sadar suara konstituennya di”curi” Demokrat dalam pemilu parlemen April silam. Oleh sebab itulah, partai tertua ini ingin mengambil kembali suara rakyat dengan membonceng rivalnya yang kini tengah naik daun. Akankah ini berhasil? Bisa jadi. Jika melihat tipikal masyarakat umum, pilihan mereka selalu berubah dalam setiap perhelatan pemilu. Melorotnya suara Golkar dan menanjaknya suara Demokrat hampir 300 persen ketimbang pemilu 2004 adalah contohnya. Artinya proses demokrasi kita masih terpukau oleh bentuk dan khalayak ramai belumlah dikatakan pemilih rasional. Berkoalisi artinya ikut berkontribusi di pemerintahan dan mengurusi rakyat. Dengan demikian kader Golkar akan banyak show up ke publik untuk menarik perhatian konstituen serta memperbaiki citra partai. Maka implikasinya koalisi Golkar adalah pertaruhan eksistensi partai ke depan, sekaligus tantangan bagi Ical. 

Koalisi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat pemerintahan yang muaranya ialah efektifitas kebijakan yang berpihak pada rakyat. Golkar tidak akan besar, manakala berpandangan satu, dua, atau lima tahun. Golkar harus bervisi ke depan dengan perencanaan strategis yang matang. Partai didirikan untuk menampung aspirasi dan idealisme setiap warga negara, bukan gerbong semu sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Mahasiswa

Syifaul Qulub (Obat Hati)

Ramadhan tahun ini saya mengikuti kajian seputar syifaul qulub atau obat hati. Saat itu Ustad Sholihun bertindak sebagai pemateri. Sebagai tanggung jawab dakwah, akan saya bagikan sejuput wawasan yang penulis peroleh. Berkisar tentang hati sebagai salah satu istrumen penting manusia yang menjadikan mula segala asal muara tindakan manusia, selain akal. Ajaran Rasulllah pun ketika pertama kali mensyiarkan dakwah Islam adalah menyentuh hati dengan tauhid. Tempat bersemayam keyakinan. Hal itu dilakukan selama 13 tahun dakwah Islam di Makkah.

Sepanjang waktu itu, hanya mengomentari hal fundamen atau mendasar seperti aqidah, syari’at, dan akhlak. Pembersihan hati dengan tauhid (manunggaling kawula gusti) inilah yang menjadikan seruan Islam yang diusung Nabi Muhammad sukses. Muhammad sebagai the chosen people, berhasil menyatukan ragam kabilah penduduk Makkah. Tauhid ini pula yang meleburkan segala kejahiliahan dan merubah sikap seseorang sebagai manifestasi keberimanan. Jika kita renungi sebab musabab tersumbatnya hati ialah; pertama, pengagungan pada aku dan makhluk. Jika ini terjadi, akan berimbas pada prioritas insan pada duniawi dan mengabaikan akhirat. Sebagai contoh, kesombongan Abu Jahal dan Abu Lahab yang tak mengakui ajaran Muhammad saw. Perkara lain yang patut direnungi ialah panggilan adzan subuh. Ajakan sholat lebih baik daripada tidur (pilihan akhirat) masih kita abaikan dengan memilih tidur (pilihan dunia). Contoh lain ialah kita dapat meneladani sikap Abu Bakar. Mertua Rasulullah tersebut, terlepas semua penghalang hatinya. 

Rumah Pensil Publisher

Ketika Rasulullah wafat, kita dapat membandingkan sikap Umar bin Khatab dan Abu Bakar. Saat Muhammad saw meninggalkan sahabat. Umar mengacungkan pedang seraya berkata “siapa yang mengatakan Muhammad mati, ia akan berhadapan denganku”. Abu Bakar tampil dan berbicara “barangsiapa menyembah Muhammad ia telah mati. Akan tetapi siapa saja yang menyembah Allah, sungguh ia Maha hidup”. Kemudian Umar pun tersadar akan itu. Peristiwa di muka mencerminkan segala tambatan hati Abu Bakar pada aku dan makhluk telah tuntas. 

Kedua, yaitu hubus syahwat (cinta keinginan). Jika kita tak pandai mengelola keinginan, syahwat itu akan menjerumuskan kita. Maka keinginan kita haruslah didasari kefahaman (al ilmu qabla amal). Jika orang takut kepada Allah, siapapun akan takut kepadanya. Namun, jika seseorang takut pada makhluk, ia akan dipermainkan. Nafsu tersebut harus kita atur. Kita bisa belajar pada Abdullah bin Umar. Ia ridho hidupnya diatur oleh Islam. Dalam dirinya terdapat nafsu mutma’inah. Saking cintanya dalam berbicara dan duduk pun ia meniru gaya Rasulullah. 

Oleh sebab itu, ibadah hati adalah obat mujarat untuk membunuh kotoran dalam rongga dada kita. Karena penyakit fisik itu disebabkan oleh penyakit hati. Maka, ibadah hati jauh lebih berat dari ibadah fisik, ibadah hati jauh lebih indah dari amalan fisik, ibadah hati jauh lebih besar pahalanya ketimbang amalan fisik. Sebagai contoh, orang merenungi ciptaan Allah dan menimbulkan tauhid, jauh lebih besar pahalanya daripada sholat semalam. Ibadah hatilah yang menggerakkan amalan fisik. Syekh Akhmad Yasin, sosok yang kuat hatinya. Meskipun buta ia mampu bergerak mengajar ilmu dan berjuang bersama rakyat Palestina. Kita refleksi bersama. Bagaimanakah ibadah hati kita? 

Vivit Nur Arista Putra
Pemimpin Redaksi Buletin PROGRESS