Kamis, 19 Agustus 2010

Membaca dan Menulis

Reorientasi bagi kutu buku dan pejuang pena... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Sungguh bangunan Islam ini dipahat oleh orang yang rabun baca, tetapi ia memiliki pandangan yang melampaui zamannya. Adalah niscaya peradaban Islam ini didirikan oleh orang yang lumpuh menulis, tetapi ia dapat mencipta generasi terbaik yang tiada terulang sepanjang sejarah. Dialah Muhammad saw. Akan tetapi, janganlah kita maknai bahwa Nabi tidak menganjurkan dua aktivitas penting dalam sejarah pembangunan Islam, yakni membaca dan menulis. Allah tidak memberikan kemampuan baca dan tulis kepada Muhammad ialah bagian dari strateginya agar ajaran yang dibawa anak Abdullah itu murni pesan dari langit dan dapat segera diterima kaumnya. “Dan sekiranya kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang kafir itu berkata, ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata (Q.S. Al An’am: 7). Dalam lembaran Lauh Mahfudz lainnya diterangkan “berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi (tidak bisa baca dan tulis).… dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (Q.S. Al A’raaf:158). 

Demikian keterangan Allah akan maksudnya. Agar kaumnya yang notabene juga buta aksara dan gagap menulis dapat menerima ajaran Muhammad secara logis. Bahwa Rasulullah mendapatkan bimbingan langsung dari sang Khalik semata. Terlepas dari dua argumen di muka, ummat Islam diperintahkan untuk giat membaca dan menggoreskan pena. Lihatlah satu kalimat imperatif Al Qur’an yang rutin turun selama dua puluh tiga tahun diawali dengan lima ayat “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Rabbmulah yang Maha mulia, Yang mengajarkan manusia melalui perantaraan kalam, dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al Alaq:1-5). 


Dr. Raghib As Sirjani dalam bukunya “Spiritual Reading, Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca”, menafsirkan kalimat Allah di muka menjadi dua hal. Pertama, membaca itu harus dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka. Maksudnya membaca itu haruslah dengan niat karena Allah dan sesuai aturan Allah untuk kemaslahatan bumi dan manusia, serta demi kebaikan dunia dan akhirat. Kedua, setiap insan yang membaca suatu ilmu, janganlah menjadikan sombong akan ilmu yang dikuasainya. Sebab, Allahlah yang memberikan ilmu kepadanya. “Bertakwalah kepada Allah dan dialah yang telah mengajarimu (Q.S. Al Baqarah:85). 

Di sisi lain, aktivitas menulis pun dititahkan dalam The Holy Qur’an, “Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Q.S. Al Qalam: 1). Para Mufassirin atau ahli tafsir mengatakan, jika Allah bersumpah dengan makhluknya, maka ciptaannya itu memiliki peranan penting dalam kehidupan. Dalam konteks ayat ini adalah pena, dan kegunaannya dijabarkan pada kalimat berikutnya yakni untuk menulis. Sebab, dari tulisanlah kita dapat mengkaji pesan Allah. Bayangkan jika Al Qur’an tidak diabadikan berwujud tulisan di zaman Khalifah Umar bin Khatab, mungkin kaum muslimin akan kesulitan menelaah norma bimbingan hidup tersebut. Tanpa tulisan pula sejarah takkan dikenang, ia mungkin hanya kilasan kehidupan tanpa makna. Menulis itu mengikat ilmu, menyampaikan ilmu, mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan meneguhkan keimanan. Orang yang gemar membaca dan menulis tidak akan cepat pikun, karena fikiran dan hatinya dinamis bekerja. Tidak ada peradaban di bumi ini yang menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai penopang kejayaan selain Islam.

Adian Husaini dalam bukunya “Penyesatan Opini” menjelaskan bahwa aktivitas menulis yang dibawakan seorang wartawan dan penulis lepas maupun siapa saja ialah ibarat periwayat hadist. Hadist atau sabda Nabi akan dikatakan shahih (kuat atau valid) manakala bersumber dari periwayat yang beriman, jujur, dan moralnya terjaga. Sebaliknya, ucapan dan tingkah polah baginda Rasul tersebut akan disimpulkan dha’if (lemah) jika penulisnya tercela secara pemikiran dan sikap keseharian. Sebab, ide bermula dari tempurung kepalanya tidak ada niatan untuk menyebarluaskan kebajikan dan menghapuskan keburukan. Membaca mesti ditradisikan dan menulis menjadi wajib diupayakan. Sebab, kita akan dianggap serakah karena banyak ihwal yang dibaca (realita dan buku) tetapi nihil tulisan sebagai manifestasi mengkampanyekan ilmu. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Esensi dan Klasifikasi Puasa

Dalam pemaknaan pesan suci Ramadhan... 19 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

 “Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. Al Baqarah: 183). Pesan langit di muka mengandung maksud bahwa puasa adalah perintah imperatif moral agar setiap insan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya (takwa). Berasal dari kata “waqa” yang bermakna memelihara. 

Rumah Pensil Publisher

Said Hawwa menyebut esensi dari puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan -hati dan perut- yang dijadikan sarana syetan mengajak orang kembali kepada keburukan. Secara filosofis puasa juga mengandung hikmah untuk membersihkan hati dan harta. Dalam lanjutan ayat di atas dikatakan “Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya. Dan puasamu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al Baqarah:184). Dan ketahuilah “amalah setiap anak Adam pahalanya untuk dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untukKu dan Aku akan memberikan pahala berkali lipat. Puasa adalah benteng, maka jika kalian berpuasa janganlah kalian berkata kotor, janganlah marah, dan jika ada orang yang mencaci maki dan menyerangmu katakanlah, sesungguhnya saya sedang puasa” (H.R. Bukhari-Muslim). 

Dalan riwayat Muslim disebutkan, “di bulan Ramadhan pahala anak Adam akan dilipatgandakan, satu amalan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala”. Imam Al Ghazali dalam kitab klasiknya Ihya’ Ulumuddin mengklasifikasikan tingkatan puasa setiap manusia ada tiga, yakni puasa umum, puasa khusus, dan puasa super khusus. Adapun puasa umum ialah puasa yang dilakukan mayoritas orang, menahan makan, minum, dan jima’ (bersetubuh). Sedangkan puasa khusus ialah menahan lapar dan dahaga dan menjaga indera tubuh penglihatan, pendengaran, lisan, tangan, kaki dari perbuatan maksiat. Puasa yang khusus lebih khusus lagi yaitu puasa hati dari kehendak hina dan segala fikiran duniawi serta mencegahnya dari memikirkan selain Allah. Puasa hati dari keinginan yang rendah dan fikiran yang tidak berharga. Puasa terakhir ini merupakan level para Nabi, para sahabat, dan muqarrabin. 

Para ulama menyebutnya kita tidak mungkin mecapai tingkatan ini, dan jenjang puasa yang kemungkinan dicapai ialah puasa khusus. Yaitu puasanya orang shalih yang menahan dan menjaga anggotan badannya dari maksiat. Untuk menyempurnakan puasa khusus ada enam perkara yang harus dilalui. Pertama, menundukkan pandangan dari objek yang membuat Allah murka dan benci. Sebab, pandangan adalah busur panah beracun iblis. Dari sanalah mula segala asal muara ucapan dan perilaku. Dan merupakan ujian terberat di tengah keterbukaan akses informasi dan vulgarnya siaran televisi yang menampilkan aksi seronok. Tetapi jikalau dapat menanggulanginya Sang Khalik menghadiahkan pahala setimpal “barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang mendapatkan kelezatannya di dalam hatinya” (H.R. Al Hakim). 

Kedua, menjaga lisan dari gosip, menggungjing orang lain, bualan sia-sia, maupun perkataan nista. Sebab, kesemuanya itu dapat merusak puasa. Jika tak ada topik penting pembicaraan yang disampaikan hendaknya diam atau mengisi waktu luang dengan membaca Al Qur’an. Ketahuilah “barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Kebaikan itu sendiri akan berlipat ganda menjadi sepuluh. Tidak aku katakana alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu, lam satu huruf, dan mim satu huruf” kata Nabi yang diabadikan Imam At Tirmidzi. 

Ketiga, menahan pendengaran dari ihwal yang tak disukai Allah. Karena setiap yang diharamkan perkataannya, diharamkan pula pendengarannya. Oleh sebab itu, Allah menyamakan orang yang mendengarkan dengan orang yang memakan barang haram. “Mereka itu adalah orang yang suka mendengar berita bohong, dan banyak memakan yang haram” (Q.S. Al Ma’idah: 42). Keempat, menahan anggota tubuh dari dosa. Said Hawaa dalam bukunya Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa) menerangkan barang yang haram adalah racun yang menghancurkan agama, sedangkan barang halal adalah obat bermanfaat bila dikonsumsi sedikit. Tetapi berbahaya jika terlalu banyak. Sebab tujuan puasa adalah mengurangi makanan halal tersebut. Baginda Nabi bertutur “berapa banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasannya kecuali lapar dan dahaga” (H.R. Nasa’i dan Ibnu Majah). Maka janganlah berlebihan saat berbuka. Bagaimana dapat mengedalikan hawa nafsu jika saat berbuka memanjakan nafsunya dengan makanan yang banyak. Karena orientasi puasa adalah pengosongan dan penundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai takwa. Kelima, hendaknya setelah berbuka, hatinya merasa khauf (cemas) dan raja’ (harap). Sebab, ia tidak tahu puasanya diterima atau ditolak. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilaksanakan. Sedangkan penuh harap berperan menumbuhkan optimism untuk menjalani puasa berikutnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Pondok Pesantren Takwinul Muballighin.

Senin, 02 Agustus 2010

Tradisikan Menulis, Lawan Copy Paste

Dimuat di Koran Merapi, Rubrik Nguda Rasa, 2 Agustus 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Peter F. Drucker dalam bukunya Masyarakat Pascakapitalis mengatakan faktor penentu bagi eksistensi masyarakat baru (baca komunitas kampus), bukanlah sumber ekonomi dasar yang dijadikan modal (kapital), sumber daya alam tak selamanya menjadi andalan, bukan pula banyaknya tenaga kerja, melainkan pengetahuan. Begitu mulianya orang berilmu sampai-sampai banyak orang ingin mendapatkannya secara instan. Beberapa bulan lampau tercatat seorang calon guru besar di Parahyangan, Bandung, dan dua dosen universitas swasta di Jogja yang memalsu tesisnya dengan mengkloning pokok pikiran mahasiswa S-1. 

Selain itu, data yang dilansir sejumlah media massa memberi warta sebanyak 1082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan "guru profesional”. Maraknya aksi pemalsuan karya ini bermotif agar pelaku dinominasikan orang yang kredibel, berilmu, sehingga dikata pantas dihargai secara sosial dan tunjangan finansial. Malangnya, insan akademik yang hendak memperoleh julukan guru besar ini justru bertindak lebay atau melampaui batas dalam meraih titelnya tanpa melalui prosedur ilmiah. Kondisi ini membuat sebagian khalayak meragukan kapasitas seorang profesor di dunia kampus. Bahkan ihwal ini sempat dilontarkan menteri pendidikan Muhammad Nuh yang sedikit sanksi akan kualitas penyandang gelar doktor di Indonesia. Dugaan Mendiknas ini bukan tak berdasar. Minimnya penelitian dan karya berwujud buku atau karya tulis yang dihasilkan sekaliber guru besar, merupakan salah satu bukti pudarnya tradisi ilmiah intelektual kampus. Mau tidak mau harus dimafhumi rentetan insiden pendidikan di muka memberikan wajah buruk bagi intelektualitas kampus. 

Rumah Pensil Publisher

Perguruan tinggi yang menurut mandatnya diamanahi mengemban tridharma yakni dharma pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat belumlah melaksanakan sepenuhnya. Dua aktivitas terakhir amatlah jarang dilakukan para dosen. Jika meneliti dan mencerahkan masyarakat saja alpa diupayakan, ini mengindikasikan minimnya kepekaan sosial serta kurangnya kepedulian terhadap nasib dan problem keummatan. Jika sense of careness saja tidak mencuat dalam benaknya, tidaklah mungkin keluar sikap memecahkan duduk persoalan. Tradisi plagiarisme sama dengan mencuri. Budaya buruk ini mengakibatkan suatu bangsa malas berfikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai orisinalitas, kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa (Rhenald Khasali; 2010). Pernyataan guru besar manajemen UI tersebut adalah sindiran telak akan maraknya aksi penjiplakan karya dewasa ini. Malangnya duplikat karya itu dilakukan di lingkungan akademik oleh dosen dan mahasiswa yang seharusnya menghalau kebiasaan buruk ini. 

Jika diusut, ada beragam sebab yang membuat civitas akademika berpikir pragmatis dan mengharapkan hasil karya serbainstan atau siap saji. Pertama, Undang-undang Guru dan Dosen No.14/ 2005 menawarkan iming-iming berupa tunjangan struktural dan fungsional bagi seorang guru besar menjadikan setiap dosen ngebet meraihnya. Orientasi kompensasi berlebih ini kadang kala mengabaikan sisi kompetensi yang seyogianya dikuasai sebagai prasyarat awalnya. Maka tak heran, dosen setingkat magister ingin segera naik level agar eksistensi atau keberadaannya di lingkungan sosial dan tambahan finansial segera diakui. Konstruksi arah pikiran seperti ini berdampak pada sikap dan tindakan pragmatis yakni mencomot persis gugus gagasan orang lain. Hal ini semakin dipermudah dengan majunya teknologi informasi dan komunikasi yang melicinkan akses kerja seseorang. Ditambah lagi, kurang telitinya penguji dalam mengoreksi hasil garapan skripsi atau disertasi pendidik, tentu perkara ini membuka celah untuk memplagiat. 

Kedua, tidak tegasnya otoritas dalam menjerat kasus penjiplakan membuat plagiator beraksi leluasa tanpa efek jera. Padahal, UU No. 19/ 2002 Pasal 72 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, dan menjual kepada umum suatu ciptaaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta diancam pidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta. Kendati kaidah hukumnya gamblang sebagaimana dipaparkan di muka, akan tetapi seakan-akan pemerintah dihadapkan pada dilema. Di satu sisi pemerintah harus bertindak tegas dengan menghentikan atau mencopot gelar yang diembannya. Di termin lain, institusi pendidikan masih membutuhkan kontribusi pendidik dan dosen bersangkutan karena minimnya tenaga pengajar yang pakar. Jika demikian, tak pantaslah sarjana, doktor, dan profesor disebut seorang intelektual. Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual ialah orang yang mampu mengejawantahkan buah pemikirannya secara lisan dan tulisan serta ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. 

Akhirnya patutlah kita mengejek mereka layaknya jargon iklan rokok. Pengin eksis, jangan lebay plis! Akan tetapi insiden di muka tidak dapat dijadikan premis argumen matinya intelektualitas kampus? Pasalnya, tradisi ilmiah seperti forum diskusi, seminar, maupun pengajaran masih sering dijumpai. Persoalannya adalah ketidakmauan mengabadikan kesimpulan dan mengapungnya ide di ruang ilmu tersebut menjadi sebuah tulisan. Tentu beragam sebab telah jamak diketahui, mulai dari majunya teknologi yang memudahkan budaya copy-paste, jarang membaca dan menelaah literatur, hingga ada yang menyatakan menulis adalah bakat khusus yang dimiliki seseorang. Sehingga ia urung untuk menulis. Cara pandang demikian perlu dirubah. Karena menulis hanya membutuhkan kemauan dan kegigihan untuk terus mencoba. Bayangkan jika kita merekam menggunakan recorder apa yang disampaikan dalam ruang kuliah, forum curah pendapat, kemudian mendengarkan kembali dan menuliskannya bukankah sudah tiga kali belajar. Sebab dengan menulis dapat mengetahui dan memahami apa-apa yang tidak didapat dari membaca dan mendengar. Bahkan Bobby de Potter menjadikan menulis sebagai salah satu indikator keberhasilah hidup. Menjadi pertanyaan bagaimana mentradisikan menulis. Pertanyaan ini akan susah dijawab jika anda tidak segera menulis. 

Budaya plagiat dapat dilawan dengan membangun kebiasaan menulis. Tentu kemampuan menulis ini harus sebanding dengan apresiasi yang diberikan pihak perguruan tinggi seperti memberikan beasiswa bagi mahasiswa dan dosen yang mengabadikan fikirannya dalam wujud tulisan dan karyanya dimuat di media massa. Atau pihak rektorat dapat memberikan honorarium tambahan. Kiat ini dapat memantik mahasiswa maupun dosen agar terus menulis. Tentu tidak selamanya seorang penulis dihargai dalam bentuk materi. Keinginan untuk menyebarkan pemikiran dan menciptakan perbaikan melalui tulisan patut ditanamkan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Penulis Buku "Pecandu Buku"

Kamis, 29 Juli 2010

Kapitalisme dan Simbolitas Pendidikan

Dimuat di Lampung Post, 28 Juli 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Sudah menjadi paradigma dalam tempurung kepala massa bahwa pendidikan adalah tangga mobilitas vertikal paling baik dalam tatanan sosial masyarakat. Maka tak heran jika khalayak rela merogoh kocek dalam-dalam agar buah hatinya dapat menikmati jenjang pendidikan. Seakan menjadi problem klasik tahun ajaran baru, persoalan pungutan liar di sekolah selalu terjadi. Kompas, 15 Juli 2010, melaporkan sejumlah warga dan orang tua murid mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta lantaran membubungnya pungutan uang seragam di beberapa sekolah menengah atas di Kota Pelajar ini. 

Bahkan salah satu SMK yang diadukan memasang tarif seragam Rp1,156 juta hingga Rp1,831 juta saat daftar ulang. Padahal harga paket seragam lebih mahal ketimbang harga di pasaran. Jika faktanya demikian, sekolah kini telah kehilangan jati dirinya. Sekolah bukanlah ruang pencerahan yang dikelola untuk menghasilkan tunas muda masa depan. Tetapi, sekolah telah menjadi arena pasar yang diperebutkan kekuatan para pemilik modal untuk menggerakkan program dengan semangat pedagang. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar, maka kaum kapitalis memandang negara ini prospek dengan pangsa pasar yang menjanjikan. Akhirnya proyek liberalisasi pendidikan dikumandangkan. Akibat dari liberalisasi ialah swastanisasi dan privatisasi dalam mengatur lembaga pendidikan. Setiap sekolah akan membuat aturan sendiri untuk medapatkan uang dari para peserta didik. Dampaknya akan muncul banyak sekolah swasta maupun sekolah keterampilan yang tidak memiliki tujuan jelas. Muaranya akan ada seleksi kelas sosial karena kalangan yang punya uang sajalah yang berhak mencicipi manisnya pendidikan. 

Ini artinya sekolah melanggar mandat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab III tentang penyelenggaraan pendidikan Pasal 4 Ayat (1): "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa." Selain itu sekolah seakan terjebak pada simbolitas pendidikan. Adalah niscaya seragam berfungsi sebagai identitas dan salah satu perangkat pendidikan. Akan tetapi, hal itu bukanlah perkara substansial dari proses transfer ilmu di satuan pendidikan. Seragam digunakan agar terjadi persamaan anak dengan latar belakang beragam. Mereka bertemu dalam ruang belajar atas dasar kesamaan hak untuk menuntut ilmu bukan karena status sosial. Namun, lain dulu lain sekarang. Kini seragam telah dijadikan komoditas sekolah yang dikelola ala industri. 

Eko Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sekolah menjelaskan sekolah yang dibangun untuk mencari laba berbeda dengan sekolah yang dibangun sebagai basis perlawanan terhadap ketidakadilan sosial melalui pendidikan. Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka menyemai benih perjuangan melawan kolonialisme menggunakan jalur pendidikan. Karena tokoh bangsa itu menyadari bahwa dengan pendidikanlah akan mengubah segala permasalahan. Lulusan sekolah ini juga harus melahirkan "pemberontak" yang mengubah struktur dan sistem sosial yang penuh kesenjangan. Karena murid paham akan realitas sosial yang menyadarkan mereka untuk melakukan gerakan perlawanan. Dan karena sekolah tak sekadar didirikan untuk membuat anak didik cerdas semata, tetapi juga mampu mencipta alumninya menjadi intelektual. 

Sebab, menurut Ali Syari'ati, intelektual yang sebenarnya ialah orang yang menginovasi gagasan dan ikut terlibat dalam agenda perbaikan umat. Akhirnya satuan pendidikan haruslah kembali kepada fitrah tujuan pendidikan, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Senin, 26 Juli 2010

Evaluasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional

Dimuat di Harian Jogja, 26 Juli 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Insan pendidikan kini sedang ramai memperbincangkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Ihwal ini berkait dengan maraknya keluhan masyarakat akan mahalnya masuk RSBI. Bahkan pungutannya berkisar 1-10 juta rupiah per anak. Jika demikian biaya masuk pendidikan hampir sama dengan biaya masuk kuliah. Tentu pihak sekolah menawarkan harga demikian bukan tanpa alasan. Sebab, label internasional dijadikan daya tawar sekolah kepada masyarakat luas karena memberikan garansi dan fasilitas lebih ketimbang sekolah biasa. Tetapi benarkah demikian? Jika ditinjau latar berdirinya, pemerintah memang menargetkan dalam rencana strategis 2005-2009 untuk membentuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). 


Undang-undang SISDIKNAS No.20/2003 Pasal 50 ayat 3 menjabarkan “pemerintah dan atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Akan tetapi hal ini belum bisa dilaksanakan, maka dibuatlah RSBI sejak 2003 dengan rentang waktu 4-5 tahun untuk menuju SBI. SBI merupakan salah satu pengklasifikasikan versi Depdiknas yang membagi sekolah menjadi tiga model. Pertama, sekolah nasional (menerapkan aturan pendidikan nasional), sekolah internasional (lembaga asing yang diizinkan menyelenggarakan pendidikan di Indonesia), dan sekolah bertaraf internasional (menerapkan aturan nasional plus standar internasional). Malangnya sebagaimana menurut Suryadharma (eks Dirjen Mendikdasmen) mengemukakan bahwa mindset, kultur, kompetensi tenaga pendidikan, fasilitas, kurikulum, kebijakan, dan manajemen merupakan kendala dan tantangan pembentukan RSBI. 

Oleh sebab itu, penulis mendukung upaya kemendiknas untuk mengevaluasi RSBI yang meliputi empat parameter, yakni (1) akuntabilitas keuangan. Bagaimana transparansinya dan alokasi dananya? (2) proses rekrutmen siswa. Apakah benar peserta didik yang diterima memang berprestasi atau karena kuat finansial sebagai pelicin masuk. (3) prestasi akademik yang dihasilkan. Hal ini patut menjadi tolok ukur sebab naik levelnya RSBI menjadi SBI juga harus mempertimbangkan aspek ini. (4) prasyarat RSBI yang sudah dipenuhi. Meliputi kelengkapan sekolah, kurikulum rujukan, serta yang paling urgen adalah standar kompetensi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian personal, dan sosial. Selain itu pendidik harus S1, bersertifikasi, dan menguasai minimal dua bahasa agar proses transfer ilmu tak menemui problematika. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan

Minggu, 25 Juli 2010

Legalisasi Senjata Satpol PP

Dimuat di Harian Jogja, 13 Juli 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Ditengah sorotan publik yang begitu tajam terhadap Satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP). Gamawan Fauzi mengumandangkan peraturan anyar melalui peraturan dalam negeri No.26/2010 yang menyatakan polisi sipil satpol PP akan diberikan kewenangan memiliki senjata secara legal berjenis senjata kejut, peluru hampa, dan gas air mata. Dan hanya diperuntukkan bagi kepala satuan atau komandan regu. Permendagri tersebut menindaklanjuti peraturan pemerintah No.6/2010. 

Kendati peraturan masih ditunda dan belum diratifikasi, akan tetapi secara perspektif yuridis Permendagri No.26/2010 melanggar UU No.2/2002 yang menyatakan kebolehan memiliki senjata hanya untuk aparat kepolisian. Bisa jadi Mendagri menafsirkan konteks kalimat di muka secara bias makna. Bahwa senjata yang dimaksud adalah senjata api untuk polisi, sedangkan satpol PP hanya senjata kejut dan peluru hampa. Terlepas mana yang benar, yang jelas senjata apapun dapat mematikan. Pedagang kaki lima dan gepeng sekalipun dapat dibuat keder oleh kehadiran satpol PP. 

Menurut penulis, secara sosiologis masyarakat tentu tidak akan menerima jika polisi penegak peraturan daerah ini dipersenjatai. Insiden Priok di Ibu kota, menjadi saksi keji terakhir sikap semena-mena. Belum lagi data-data lain, yang menyimpulkan Satpol PP terlampau arogan. Jika kultur gerakan yang otoriter dan tidak manusiawi ini dipertahankan, hal ini serupa dengan era orde baru di mana negara menindas rakyat dan siapa saja yang tak mematuhi hukum. Adalah benar deskripsi tugas satpol PP sangat kompleks, meliputi penegakan perda yang harus berhadapan dengan bermacam masalah ketertiban umum dan keamanan. Ihwal ini hampir sama dengan peran polisi di daerah. Tetapi alur perekrutan anggota satpol PP sangatlah berbeda dengan polisi yang memang sedari lulusan sekolah menegah atas mulai dibina. Sehingga secara intelektualitas kadar kefahaman akan fungsi dan perannya mumpuni. 

Sedangkan satpol PP proses perekrutan dan pembinaannya tidak regular dan jangka panjang layaknya polisi. Sehingga kecakapan sikap, pengalaman lapangan, dan kefahaman akan perannya masih pertanyakan. Oleh sebab itu, mengamini argumen Sosiolog Ari Sujito pencerdasan dan pembinaan rutin pemerintah terhadap satpol PP diperlukan agar tidak terjadi kesalahan sikap dan tindakan di lapangan. Termasuk dalam memahami instruksi gubernur, bupati, dan melihat konteks permasalahan.

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute UNY

Segera Laksanakan KTSP

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 20 April 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pijakan dasar pelaksanaan ujian nasional (UN) tertera jelas dalam PP 19/2005 Standar Nasional Pendidikan BAB X tentang Standar Penilaian Pendidikan pasal 68. Pada pasal tersebut diputuskan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peraturan Pemerintah yang baru PP No. 10/ 2010 isinya menyatakan peserta didik yang tak lulus ujian nasional dapat melakukan ujian ulangan malah menunjukkan mulai melunaknya sikap pemerintah karena mendapat tekanan dari banyak pihak yang menolak penerapan UN sebagai wujud evaluasi. 

Alasan penolakannya ialah, pertama mengabaikan pendidik sebagai evaluator pendidikan. UU Sisdiknas BAB XVI perihal evaluasi pendidikan pasal 58 mengungkapkan “Evaluasi hasil belajar mengajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan”. Kedua, pemerintah berperan mutlak dalam penentuan kelulusan dan mengabaikan pendidik yang mengetahui persis perkembangan anak. Ketiga, UN menilai secara kognitif. Sedangkan afektif dan psikomotorik terabaikan. Padahal keduanya yang lebih faham adalah pendidik. Ihwal ini menjadikan anak berfikir konvergen (satu arah). Keempat, penyelenggaraan UN selama 3 hari atau 2 jam per hari tidaklah menghargai proses belajar mengajar peserta didik selama 3 tahun. Kelima, UN kontradiktif dengan pembentukan karakter anak. Efek mendasarnya akan merusak sistem pendidikan. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out). Hal ini tentu mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa. Insiden UN ini juga berimbas pada psikis atau mental pendidik dan peserta didik. Cara pandang dan cara mengajar guru menjadi pragmatis. Mengukur keberhasilan dari segi hasil, bukan serangkaian proses. Sekolah pun akhirnya hanya akan memfokuskan proses belajar-mengajar pada mapel yang diujikan di UN, karena hasil UN menyangkut prestise satuan pendidikan. Peserta didik pun demikian, pola belajar mereka menjadi monoton satu arah pada mapel yang ditawarkan di UN dan kemungkinan besar mengabaikan mapel lainnya. Inilah yang berpotensi memunculkan kecurangan massal, antara pendidik, peserta didik, bahkan sekolah. Kesemuanya dilakukan demi satu kata pragmatis; lulus. 


Revisi UN, Terapkan KTSP 

Polemik ujian nasional mencapai klimaksnya ketika Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas perkara ujian nasional. Keputusan ini didasari pertimbangan yang matang, bahwa pemerintah memang belum meningkatkan kualitas pendidik secara merata, sarana prasarana yang komplit, dan akses informasi yang menyeluruh hingga daerah pedalaman. Jika dinalar inilah problem pendidikan yang sesungguhnya, UN hanyalah persoalan yang mengapung di akhir tahun saja dalam evaluasi pendidikan. Malangnya pemerintah masih saja berkilah bahwa ketiga hal di muka dalam proses renovasi. Tapi sampai kapan? Tentu inilah pertanyaan publik yang mengemuka. Mengingat sudah 64 tahun negeri ini merdeka, tetapi layanan pendidikan masih jauh dari asa. 

Maka perhelatan UN menjadi sangat diskriminatif, karena kemampuan antardaerah sangat timpang dalam memenuhi delapan standar pendidikan yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian. Provinsi berkota besar umumnya sudah memenuhi prasyarat di atas. Tetapi bagi daerah pedalaman sangatlah bertolak belakang. Alur nalarnya seharusnya, pemerintah melengkapi terlebih dahulu delapan standar pendidikan sebelum mengeluarkan kebijakan UN. Mencermati dan menyadari beragamnya potensi satuan pendidikan, sudah sepantasnya pemerintah menyerahkan mekanisme pendidikan dan evaluasinya pada sekolah masing-masing. Apa gunanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dicetuskan sejak 2006 jika tidak dilaksanakan. KTSP memberikan kesempatan lebih kepada sekolah dan pendidik untuk mengelola pendidikan secara mandiri sebagai konsekuansi dari desentralisasi pendidikan, yang dikembangkan berdasarkan potensi, kebutuhan, kepentingan pendidik, dan lingkungan setempat.

Oleh sebab itu, evaluasi pendidikan menurut PP No. 19/ 2005 yang bermakna "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan", haruslah dikembalikan pada satuan pendidikan setempat sebagai konsekuensi logis penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni memberi otonomi pada sekolah, dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mengembangkan KTSP secara serentak. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan