Jumat, 01 Oktober 2010

Sejarah Berkata Yogyakarta Istimewa

Dimuat di Wacana, Bernas Jogja, 1 Oktober 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Minggu, 5 September 2010 kawula (masyarakat) Yogyakarta mengadakan upacara “sehari tanpa Indonesia”. Demikian harian lokal memuatnya dicover depan. Cukup beralasan memang, sebab seremonial tersebut dilangsungkan menggunakan bahasa Jawa dan tanpa mengibarkan sangkakala merah putih. Justru bendera kraton mengudara di sana. Massa aksi yang memakai pakaian tradional ini menuntut pemerintah pusat untuk segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dan meratifikasinya. Pasalnya dua tahun terakhir RUU Keistimewaan selalu terkatung-katung dan tak ada hasil kendati sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas). 


Hal inilah yang membuat Sri Sultan Hamengkubuwono X gerah dan menantang pemerintah pusat untuk melakukan referendum. Sebagai orang Jawa tulen, Sri Sultan tentu merasa pekewuh (tidak enak hati) jika terlalu menuntut penetapan, sebab akan menimbulkan kesan publik Sri Sultan meminta-minta jabatan. Tetapi jika tidak segera diselesaikan sampai periode kepemimpinannya berakhir, status Yogyakarta menjadi hambar. Maka publiklah yang harus bersuara menuntut pengesahan RUUK Yogyakarta. Persoalannya berkutat pada bagaimana suksesi kepemimpinan di pemerintahan daerah. Jika Yogyakarta dinisbatkan menjadi daerah istimewa, maka presiden RI akan menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai simbol penguasa lokal dengan masa jabatan seumur hidup. Sebagaimana yang telah diemban Hamengkubuwono IX (1945-1998). Tetapi jika Yogyakarta bukan dikategorikan daerah istimewa artinya proses penentuan pemimpin daerah dilakukan secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Di mana masing-masing partai politik dapat mengusung orang di luar kraton yang akan dicalonkan untuk menduduki posisi gubernur. 

Jika kenyataannya opsi kedua yang terjadi. Artinya pemerintah republik Indonesia buta sejarah dan tidak menghargai lagi peran historis Yogyakarta yang membuatnya didaulat menjadi daerah istimewa. Catatan sejarah menunjukkan Yogyakarta adalah teritorial yang memiliki otoritas khusus semenjak 250 tahun silam. M.C. Ricklefs dalam bukunya Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1729-1949 A History Division of Java mengisahkan sejak Belanda melakukan invasi ke tanah Jawa dan turut campur tangan terhadap kerajaan Jawa melalui serikat dagangnya VOC. Maka dibuatlah perjanjian Giyanti (13 Febuari 1755/Ba’da Mulud 1680) untuk meredam pengaruh luas Belanda. Hasilnya kemudian Raden Sujana atau pangeran Haryo Mangkubumi mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1755 di mana dalam hukum kolonial wilayah Yogyakarta dikategorikan Vorstenlanden (daerah kerajaan). Konsekuensi logisnya adalah adanya beberapa perbedaan hukum dan politik dengan wilayah pemerintahan kolonial Belanda lainnya (Ricklefs, 1974). Kerajaan ini berlangsung turun temurun hingga kini dibawah kekuasaan Hamengkubuwono X yang sekaligus menjadi gubernur DIY. 

Pada akhir perang dunia II Belanda meninggalkan Indonesia dan diganti penjajahan Jepang. Tahun 1941 tentara negeri Samurai merangsek masuk Yogyakarta dengan menistakan pemerintahan lokal dan terkesan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dan Kasultanan. Pada saat itulah Pakualam VIII memutuskan bergabung kembali dengan Kasultanan. Hingga suatu ketika kedua pemimpin tersebut mendengar warta proklamasi kemerdekaan RI, kemudian menyampaikan surat kawat (telegram) kepada Presiden Soekarno yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang memutuskan Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat bergabung dengan pemerintah Indonesia. 

Adapun isinya ialah Pertama; Bahwa Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; bahwa perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia (PK. Haryasudirja dan Sentanoe Kertonegoro). Pernyataan sikap di muka menegaskan bahwa Yogyakarta, pertama bersifat monarki. 

Kedua, kekuasaan sultan atas teritorial dan lembaga pemerintahan di dalamnya. Ketiga, akuntabilitas pengelolaan otoritas khusus langsung kepada Presiden dan tetap dalam kesatuan NKRI. Menerima permintaan ini, Soekarno merasa terharu dan sebagai tanda balas jasa, presiden pertama ini memberikan piagam pengakuan kekuasaan daerah istimewa Yogyakarta kepada Hamengkubuwono IX yang diterimanya 6 September 1945. Jika ditelisik lebih jauh latar Yogyakarta disebut daerah istimewa ialah sebagai tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebab, pasca RI dideklarasikan di Jakarta, ibukota menjadi tidak aman karena mendapat serbuan Belanda yang akan menjajah ulang Indonesia. 

Melihat hal ini, Hamengkubuwono IX mengusulkan kepada Soekarno agar ibukota negara dipindah ke Yogyakarta untuk menjalankan pemerintahan (1945-1950). Di sinilah Yogyakarta berperan sebagai motor penggerak perjuangan dan revolusi kemerdekaan. Di kota ini menjadi ajang pertempuran fisik 6 hari pada 1 Maret 1949. Dan nonfisik melalui perjuangan diplomasi untuk mengurai konflik RI-Belanda seperti konferensi tiga negara (KTN) dan berhasil dituntaskan dalam konferensi meja bundar di Den Haag 1949 dengan menjadikan Yogyakarta sebagai sentral juangnya. Perkembangan politik kontemporer, setelah penetapan Hamengkubuwono X dalam sidang rakyat tahun 1999 yang diulangi 2004 dan 2009. Kini pembahasan Yogyakarta menjadi daerah istimewa secara de jure atau legalitas formal yuridis terkatung-katung dan terkesan lambat oleh anggota parlemen. 

Menurut penulis kawula Yogyakarta terkesan merendah jika terlalu menuntut RUU ini segera diratifikasi. Karena secara de facto Yogyakarta murni istimewa, apalagi jika ditambah dengan perannya membantu mempertahankan kedaulatan NKRI. Anggota dewan perlu memandang dari kacamata historis sebagai pertimbangan perumusan RUU keistimewaan. Begitupun dengan rakyat Yogyakarta harus faham laku sejarah di kotanya dan membentuk gerakan massa untuk mendesak pemerintah RI menuntaskannya. Kendati sebenarnya tuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya. Terlepas dari ihwal di muka makna keistimewaan janganlah selalu mengacu pada teks historis belaka. Keistimewaan dapat ditonjolkan melalui prestasi di dunia pendidikan, laku santun warganya, dan melestarikan tradisi budaya warisan leluhur. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Kamis, 30 September 2010

Jangan Lari dari Sejarah

Dimuat di Suara Merdeka, Kamis, 30 September 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Presiden Soekarno pernah berujar historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan). Kata mutiara di muka kemudian disalin dalam diksi bahasa Indonesia menjadi “jari merah” (jangan lari meniggalkan sejarah). Berpijak dari petuah the founding father di atas, agaknya publik patut mengingat kembali akan makna keistimewaan Yogyakarta yang diabadikan dalam maklumat 5 September 1945. Pasalnya kini khalayak ramai khususnya warga pribumi Yogyakarta buta sejarah tentang maklumat Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menandai bergabungnya Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sejarawan UGM Prof. Djoko Suryo menjelaskan pada mulanya Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Jawa yang didirikan oleh Pangeran Haryo Mangkubumi atau Raden Mas Sujana tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti, buah perjuangan melawan campur tangan Belanda melalui sarikat dagangnya VOC terhadap kerajaan kala itu. Sejak saat itu, Kasultanan Yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri. Artinya berdaulat ke dalam dan ke luar, memiliki kawula (rakyat), dan diakui oleh negara lain. Negeri monarki ini berlanjut turun temurun mempunyai Raja hingga Hamengkubuwono X yang menjabat gubernur DIY kini. Rentang waktu 1900-1940 Yogyakarta berkembang menjadi pusat kota pendidikan karena banyaknya sekolah menengah yang didirikan pemerintah atau organisasi swasta. 

Selain itu, dari kota ini pula menjadi awal mula munculnya pergerakan pemuda Indonesia, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, dan dijadikan tempat kongres Budi Utomo. Pada akhir tahun 1941 Jepang masuk Yogyakarta. Negeri Nipon tersebut memandang rendah pemerintahan di sana dengan kecenderuangan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dengan Kasultanan. Melihat hal ini Pakualaman (PA) VIII memutuskan untuk bergabung dan disetujui Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dengan berkantor di Kepatihan setiap hari menjalankan pemerintahan. (Sudomo Sunaryo, 2010). Dari Kepatihan inilah terdengar berita diproklamasikannya Indonesia 17 Agustus 1945 dan HB IX serta PA VIII memutuskan mengirimkan surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menginginkan bergabung ke pangkuan NKRI. 

Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan amanatnya yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang berisi. Pertama; Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab secara langsung kepada presiden Republik Indonesia. (KR, 5 Sept 2010). Jika mengamati statement tersebut, makna daerah istimewa ialah karena; berbentuk kerajaan, berkuasa penuh atas wilayahnya sendiri, dan akuntabilitas Raja kepada presiden RI dalam bingkai NKRI. Presiden Soekarno menyambut baik permintaan ini dan sebagai imbal jasanya, ia memberikan piagam pengakuan atas otoritas Yogyakarta tanggal 6 September 1945. Pascakemerdekaan, Yogyakarta dijadikan tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. 

Setelah proklamasi Jakarta terancam serbuan tentara Belanda. HB IX kemudian menawarkan kepada pemerintah pusat berpindah ibu kota ke Yogyakarta. Sejarah mencatat Yogyakarta pernah menjadi ibukota RI (1945-1950) dan benteng pertahanan kokoh yang melakukan revolusi. Perang selama 6 jam di Yogyakarta, 1 Maret 1949 dan perjuangan diplomasi antara lain perundingan KTN menjadi saksi peran Yogyakarta mempertahankan NKRI. Tetapi kenapa kini anggota DPR (komisi II) begitu rumit dan lambatnya mengesahkan RUU Keistimewaan Yogyakarta, dan hanya berkutat pada persoalan cara pengisian Gubernur dan wakilnya. Ya, penuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY

Mengkritisi Kunjungan Kerja DPR

Dimuat di Nguda Rasa, Koran Merapi, Sabtu, 25 September 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Belum reda membuat heboh publik dengan rencana pembangunan gedung baru yang menelan uang rakyat 1,6 Trilyun. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai kecaman khalayak lantaran kunjungan kerja yang menyedot uang negara ratusan milyar. Hal ini berkaitan dengan agenda survei komisi IV sebanyak 21 orang ke Belanda dan Norwegia untuk mengetahui bagaimana kedua negara tersebut merancang undang-undang Holtikultura sebagai pertimbangan membuat regulasi dan kebijakan yang akan diterapkan di Indonesia. Negeri kincir angin dipilih karena merupakan pengekspor terbesar Holtikultura dan pelopor teknologi pertanian modern. Indonesia yang memiliki area tanam yang luas tidak disertai dengan pengelolaan pertanian yang baik. Alhasil 7 juta hektar lahan tidak produktif tergarap. 

Kunjugan kerja lainnya dilakukan komisi X yang melawat ke Korea Selatan, Jepang, dan Afrika Selatan untuk mengakaji urai undang-undang kepramukaan. Studi banding selama tiga minggu itu menguras uang 3,7 milyar yang terbagi rata pada 13 anggota parlemen yang ikut ke sana. Negara terakhir mengundang tanda tanya, kenapa tidak ke Amerika Serikat atau Kanada yang menurut beberapa pengamat lebih maju kepramukaannya. Merujuk data Indonesia Budget Centre (2010), alokasi anggaran untuk kegiatan studi banding DPR ke luar negeri berjumlah 162,9 Milyar. Rinciannya, total anggaran kunjungan kerja terbagi menjadi empat tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Pertama, fungsi legislasi (legal drafting) (73,4 Milyar), fungsi pengawasan (controlling) 45,9 Milyar, fungsi anggaran (budgeting) 2,026 Milyar, dan jatah untuk kerja sama internasional senilai 41,4 MIlyar. 

DPR RI

Menurut Anis Matta (wakil ketua DPR) agenda kunjungan kerja ini memang sudah sesuai dengan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan pembagian minimal kunjungan dua kali setiap anggota DPR per tahun. Tetapi benarkah kunjungan kerja ini mempermudah proses legislasi? Padahal di tahun 2010 saja dari 70 rancangan undang-undang yang menjadi target, baru teralisasi 7 RUU. Dengan hasil 1 RUU ditolak dan satunya lagi adalah penyelesaian masa sidang II. Sehingga hanya 5 UU yang dihasilkan DPR tahun ini. Tentu ihwal ini sangat kontraproduktif. Apalagi jika melihat dari 21 anggora dewan yang ke Eropa, 13 anggota diantaranya tidak bisa berbahasa Inggris. Kekurangan aspek bahasa ini tentu menghambat pola komunikasi dan transfer ilmu yang diberikan. Lebih miris lagi jika yang berangkat adalah anggota yang baru aktif, sementara saat pembahasan RUU sering bolos atau diam saja. Sikap seperti ini tentu sangatlah tidak mencerminkan anggota parlemen. Sebab, menurut bahasa parlemen berasal dari bahasa Prancis yakni Parlee bermakna bersuara, berbicara. Jika pejabat publik di Senayan hanya diam saja saat sidang, apa kata dunia. 

Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (FITRA) mencatat dalam APBN perubahan 2010 kunjungan kementrian negara dan anggota parlemen mengalami kenaikan 48 Milyar. Adapun total nominal rupiah yang habis digunakan kunjungan mancanegara ialah 19,5 Trilyun. Jika dirinci pengeluaran per tahun lembaga kepresidenan mencapai 179 Milyar, DPR merogoh kocek 170 Milyar, dan alokasi dana plesiran kementrian kesehatan tertinggi dengan 145 Milyar diantara kementrian lain. Anggaran paling boros ada di struktur Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) yakni 119 Milyar. Menurut koordinator advokasi sekretariat nasional FITRA, Ucok Sky Khadafi, jika setiap petugas TKHI yang diberangkatkan ke Arab Saudi setiap tahunnya membutuhkan dana 61 Juta per orang, ini berarti hampir dua kali lipat Ongkos Naik Haji (ONH) tahun 2010 sebesar 32 juta per kepala. Secara legalitas formal aktivitas kunjungan kerja memang ada dasarnya. 

Kini yang perlu dilakukan penulis menawarkan beberapa kiat penghematan. Pertama, mendatangkan pakar luar negeri atau pengambil kebijakan terkait objek yang dikaji. Kedua, penulis sepakat dengan gagasan Anas Urbaningrum untuk menghapus agenda plesiran tetapi di sisi lain menambah tugas dan wewenang KBRI di negara setempat untuk memenuhi kebutuhan Indonesia mencara data-data khusus di negara tersebut. Ketiga, yakni memangkas keikutsertaan anggota dewan yang ikut. Cukup beberapa anggota perwakilan partai di setiap komisinya. Keempat, dengan cara memadatkan jadwal kunjungan. Semisal, dari jatah dua kali kunjungan setahun menjadi satu kali dan disertai pertemuan bilateral lainnya. Kelima, data seperti RUU Kepramukaan dan Holtikultura sebenarnya dapat diperoleh melalui internet atau memanfaatk jaringan parlemen dunia untuk bertukar fikiran dan informasi. Jika demikian, alokasi dana tidak tergerus habis dan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan ummat lainnya. Semoga anggota DPR segera sadar dan membayar kesalahannya dengan kerja produktif dalam membuat UU pro keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute

Rabu, 22 September 2010

DPR Kok Begitu

Dimuat di Suara Mahasiswa, Harian Jogja, Selasa, 21 September 2010

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Usulan pembangunan gedung baru DPR senilai 1,6 Trilyun menuai penolakan publik. Akhirnya setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, pimpinan DPR sepakat untuk menunda pendirian kantor anyar yang rencananya dilengkapi dengan kolam renang, spa, toko, apotek, dan tempat kebugaran. Rakyat jelas menolak. Dari survei Charta Politika menunjukkan 80,5 persen responden tidak setuju dengan kantor bagus anggota dewan. Padahal, jika dianggarkan untuk iuran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) duit sebanyak itu cukup untuk 22 Juta warga miskin selama setahun.

Artinya jika dikaitkan dengan teori public policy (kebijakan publik), kebijakan yang diambil wakil rakyat di Senayan tidak memenuhi berberapa asas. Pertama, pembangunan gedung mewah berdesain huruf N tidaklah rasional. Apalagi dilengkapi dengan kolam renang dan ruang spa. Seakan pejabat publik di Jakarta tidak memiliki rasa malu kepada rakyat yang telah mempercayakan mereka duduk di kursi parlemen. Muncul pertanyaan apakah ditopangnya fasilitas sedemikian rupa akan meningkatkan kinerja dewan legislatif? Padahal tahun 2010 saja dari 70 rancangan undang-undang yang menjadi target, yang terealisasi baru 7 RUU. Artinya tugas legal drafting (membuat dan meratifikasi undang-undang) tidak mainkan dengan apik oleh DPR.



Kedua, kebijakan ini tidak berpihak para rakyat (not pro poor). Tentu khalayak sulit menerima kemegahan yang disuguhkan, di tengah himpitan ekonomi dan maraknya pengangguran yang berakibat kemiskinan massal. Seakan penduduk Indonesia dilukai bertubi-tubi. Setelah surut usulan dana aspirasi yang dihaluskan menjadi dana pembangunan pedesaan sebesar 1 milyar per desa atau kelurahan. Di mana jika negeri ini memiliki 72.000 desa, maka negara harus merogoh kocek 72 trilyun. Belum lagi gagasan pengembangan rumah aspirasi yang masuk rencana strategis DPR 2010-2012 di 77 daerah pemilihan dengan alokasi 300 juta per anggota dewan yang dianggarkan ke negara. Kini publik dikagetkan dengan pengajuan pendirian kantor baru DPR seluas 120 meter persegi, yang menurut Mardian Umar selaku Kabiro Pemeliharaan dan Instalasi Setjen DPR keberadaan gedung baru sangat mendesak. Ihwal ini tentu menghina akal sehat publik yang sejatinya mendapat pelayanan prioritas.

Gedung bermahar 1,6 trilyun jelas inefisien. Tetapi malangnya, ketua DPR Marzuki Alie yang juga merangkap ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) berkeras tetap melanjutkan. Kendati diputuskan ditunda untuk dikaji ulang biaya pengeluarannya, penulis mengamati hal ini hanyalah sandiwara politik sembari menunggu publik lupa. Sebab, tipikal sebagian masyarakat Indonesia masih mengidap penyakit amnesia sejarah. Meskipun juga mudah diingatkan dan diprovokasi. Bisa jadi, kasus kontruksi ruang kerja baru layaknya mal ini terus ditimbul tenggelamkan sampai rakyat jenuh dan merelakan dengan terpaksa terrealisasi.

Penulis mencermati tugas DPR pada aspek controling (memantau kebijakan dan keputusan eksekutif) cukup baik dijalankan kendati mayoritas DPR di isi Partai Demokrat yang juga dominan di pemerintahan. Tetapi seiring manuver kebijakan egois yang sibuk memuliakan diri sendiri, DPR justru wajib dikontrol oleh media massa dan gerakan massa.

Akhirnya jika DPR senantiasa mengeluarkan usulan dan kebijakan yang tidak populis dan menyayat hati rakyat, ekses negatifnya ialah masyarakat luas tidak akan percaya (distrust) pada pemerintahan negara. Kekecewaan itu manifestasinya bisa dilihat dari minimnya tingkat partisipasi rakyat di pemilu dan pilkada mendatang, dan lebih memilih membentuk barisan Golput. Jika faktanya demikian, peristiwa ini sangat buruk bagi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Karena, baik tidaknya iklim demokrasi tampak dari kesadaran, kepedulian, dan keikutsertaan masyarakat memberikan suara. Sebab, intisari demokrasi ialah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Vivit Nur Arista Putra
Peneliti Transform Institute 

Sabtu, 18 September 2010

Menanti Tanda Kebangkitan Indonesia

Seorang pemikir keagamaan dan kenegaraan Yudi Latif pernah berujar, “setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari tanda”. Soekarno dapat bertahan selama 20 tahun karena narasi revolusi yang dibawa rezimnya. Itulah tanda. Begitupun dengan Soeharto, dapat langgeng selama 32 tahun lantaran tanda “pembangunan” di yang digelorakannya. 

Kini, di era orde reformasi tanda ledakan perubahan belumlah tampak. Perjalanan, 12 tahun reformasi cenderung tak terarah, karena gagal menciptakan tanda. Agaknya selaku warga negara yang begitu peduli dengan bangsanya, patutlah hal ini direfleksikan seksama. Kita mungkin bisa mendesak suksesi reformasi, tetapi belum bisa mengisi. Di bulan Ramadhan ini, penulis mengajak pembaca untuk kilas balik sejarah eksisnya negeri ini. 

Rumah Pensil Publisher

Rijalul Imam dalam bukunya Capita Selekta, Membumikan Idiologi Menginspirasi Indonesia menjelaskan, Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan. Atau 10 hari pertama bulan penuh berkar ini yang dikenal sebagai hari-hari rahmat. Oleh sebab itu, wajar jika dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan “dengan rahmat Allah swt”. Jika dikaitkan dengan kita suci Al Qur’an, hari, bulan, dan tahun memiliki relevansinya dengan apa yang perlu diperbuat Indonesia dikala itu, dan aktivitas di masa mendatang. Tanggal 17-8-1945 mempunyai kesesuaian dengan Qur’an surat ke 8 Al Anfal ayatnya 17 yang berisi tentang kemerdekaan. “Bukanlah kalian yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kalian melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk member kemenangan bagi orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.” (Q.S. Al Anfal: 17).

Sedangkan tahun 1945 dapat dikaitkan dengan Q.S. Al Anfal ayat 45 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, apa kamu bertemu dengan musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. Pesan langit ini menegaskan merdeka bukanlah pertanda perkara usai. 

Pascakemerdekaan akan banyak masalah yang mendera, berpijak dari itulah rakyat Indonesia diminta untuk senantiasa mengumandangkan asma Allah manakala bersua dengan problem pelik. Bendera merah putih pun sesungguhnya adalah dua warna kecintaan Rasulullah. Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Allah melipat untukku bumi, maka aku bisa melihat ujung timur dan barat. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang dilipat untukku. Aku juga dikaruniai dua perbendaharaan (kekayaan) merah dan putih” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Jadi jelaslah tanda kebangkitan itu telah digambarkan baginda Nabi dan diarahkan suara langit. 

Bahkan Prof. Arysio Santos (Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil) mengatakan, negeri Atlantis yang dikenal kaya raya di darat dan di laut yang tenggelam oleh lautan sejak berakhirnya zaman es 11.600 tahun silam setinggi 120-150 meter adalah Indonesia. Inilah tanda kekayaan alam negeri ini, tinggal bagaimana kita mengolah sumber daya itu secara arif, adil, dan mandiri demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Semua bergantung kepada pemuda yang menjadi tonggak perubahan bangsa. Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Mengevaluasi Hasil UN di Yogyakarta

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Pengumuman hasil ujian nasional di DIY menjadi kado terburuk menjelang hari pendidikan nasional 2 Mei mendatang. Pasalnya, Yogyakarta yang dijuluki kota pendidikan dengan kompetensi pendidikan, kelengkapan fasilitas, dan kemudahan akses pendidikan tak berbanding positif dengan hasil evaluasi proses belajar mengajar. Tercatat 23,70 persen siswa dinyatakan tidak lulus ujian nasional (UN) atau setara dengan 9237 pelajar dan merupakan tertinggi di pulau Jawa. Angka ini menguat drastis empat kali lipat ketimbang tahun 2009 yang hanya mencapai 1825 mitra didik. Malangnya lagi di kabupaten kota tidak ada sekolah menengah atas yang meluluskan anak asuhnya hingga 100 persen. Tak heran jika insiden ini menuai sorotan media massa. 

Ihwal ini tentu menjadi bahan evaluasi bagi dinas pendidikan pemuda dan olah raga (Disdikpora) DIY. Ironisnya angka ketidaklulusan tertinggi di pulau Jawa ini hanya dikomentari miring oleh para pemangku kebijakan. Munculnya statmen dari policy maker (pengampu kebijakan) di DIY kendati banyak siswa yang tidak lulus ujian tetapi jogja berpredikat provinsi terjujur dalam pelaksanaan UN dan ketatnya pengawasan tim independen luar sekolah membuat anak-anak SMA tak menuai hasil positif, justru menista, merendahkan, dan mengaburkan nilai kejujuran itu sendiri. Pernyataan ini bisa ditafsirkan terbalik, jika tidak jujur para pelajar dapat lulus dan memperoleh hasil maksimal. Begitupun tanggapan ketua Disdikpora yang menyatakan besarnya nominal ketidaklulusan karena santer beredar jawaban soal palsu justru kontradiktif dengan label daerah terjujur dalam perhelatan UN yang dikumandangkan pemerintah sendiri. Logikanya, jika dugaan ini benar berarti Jogja bukan daerah terjujur. 

Penulis menganalisa ada pelbagai problem mendasar yang berakibat buruknya hasil pemetaan mutu pendidikan di Yogyakarta. Pertama, adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/ 2010 yang menyatakan bagi peserta didik yang tidak lulus UN dapat melakukan ujian ulangan justru dijadikan “dewa penolong” oleh siswa. Dalam benak mereka mungkin terbesit kenapa mesti serius dan giat belajar mempersiapkan UN jika tidak lulus dapat melakukan ujian ulangan dan jika tak lulus ujian ulangan dapat menempuh ujian paket. Bukankah yang penting lulus. Apalagi jadwal penyelenggaraan UN selisih dua hari dengan jadwal seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Sebagaimana komentar siswa yang dilansir media lokal mereka lebih fokus mengikuti ujian masuk PTN. Kedua, adanya kebijakan lokal berkaitan pemberian Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), yang dapat membantu siswa yang tidak lulus untuk tetap dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi bisa jadi melenakan siswa. Hal ini membuat para murid menjadi berleha-leha dan bersantai ria, sebab sudah memiliki garansi lulus SMA. 

Ketiga, suasana proses belajar mengajar dalam mempersiapkan UN dapat merusak sistem pendidikan. Suasana kelas dan proses transfer ilmu menjadi seperti bimbingan belajar. Bayangkan, menjelang UN per sekolah pasti akan menggelar uji coba (try out) UN sampai dua belas kali. Aktivitas ini tentu akan mengurangi beban belajar yang mestinya diperoleh siswa setiap harinya. Peserta didik pun kesehariannya akan diajari memecahkan soal dan seakan-akan roh keilmuan yang disalurkan tidak ada. Akhirnya kebijakan UN ini hanya akan menguntungkan pihak bimbingan belajar (bimbel) yang memproses secara sekejap kiat anak memecahkan soal. Dapat dirasakan, pengaruhnya ialah anak terbiasa dengan simbol-simbol maupun kisi-kisi belaka dan tak mewujud pada sikap mental serta pembentukan karakter anak. Keempat, model pembelajaran yang digunakan pendidik dalam menyalurkan ilmunya khususnya bagi kelas tiga menjadi ekspositori. Karena pelimpahan ilmu menjadi tergantung pada pendidik.

Ihwal ini dapat terlihat dengan kebiasaan mendikte soal ujian dengan panduan kisi-kisi yang diberikan. Repotnya jika prediksi soal yang diberikan tak keluar dan soal UN tak sesuai dengan pemecahan perkiraan soal yang diajarkan hal ini akan menyusahkan peserta didik dan dijadikan sumber alasan jika gagal lulus UN. Seharusnya model pembelajaran yang disuguhkan ialah heuristic di mana guru menjadikan murid sebagai mitra belajar dengan memberikan konsep dasar keilmuan sehingga mereka akan adaptif dalam menyelesaikan soal berwujud apapun. 

Banyaknya pelajar yang tidak lulus di Jogja memberikan tekanan psikologis karena mereka tidak dipersiapkan untuk gagal. Ditambah lagi tidak dewasanya menerima kenyataan. Dampaknya menjalar pada lingkup sosial. Peserta didik yang tidak lulus akan dijustifikasi. Bak petir di siang bolong, tekanan sosial ini membuat peserta didik depresi bahkan ada yang berniat bunuh diri. Kini, yang perlu dilakukan pemerintah setempat ialah melakukan pembinaan dan rehabilitasi mental serta mempersiapkan mereka menempuh ujian ulangan yang akan dihelat Mei besok. Karena, soal yang diberikanpun tidak jauh berbeda dengan UN. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja sekolah dan pendidik mutlak dilakukan, sebab keduanya adalah instrumen penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 

Kamis, 02 September 2010

Tradisi Mudik Orang Udik

NB; 2 tahun ini penulis memutuskan tidak mudik di bulan puase...


Negeri ini memang penuh seremonial dalam perayaan setiap hal. Ramadhan disambut gegap gempita dengan memajang kalimat “penghormatan” dalam spanduk di ruang strategis keramaian kota. Begitupun televisi, tak luput dari puluhan iklan penyemarak. Produk-produk makanan, kartu celuller, hingga sinetron mendadak bernuansa Islam demi menyesuaikan tuntutan pasar. Seakan-akan pemilik modal ingin menjadikan bulan suci ini penuh konsumtif. Ihwal ini tentu bertolak belakang dengan pesan yang terkandung dari puasa, yakni menahan diri dari urusan perut bahkan dibawah perut demi kebersihan hati agar dikategorikan insan takwa sebagai orientasinya.

Sepuluh hari terakhir memang menjadi ujian kesungguhan manusia dalam pelaksanaan rukum Islam ketiga. Pada umumnya shaf masjid akan berkurang jama’ahnya dan pasar atau mal akan penuh sesak dengan orang pemburu busana. Belum lagi godaan mudik bagi orang udik, yang seakan memiliki medan magnet tersendiri untuk menarik orang desa kembali ke kampung halamannya. Tradisi penyambutan ramadhan hingga mudik mungkin hanya ada di Indonesia, satu kebiasaan yang sudah melekat kuat dalam kultural masyarakat nusantara.

Jika ditinjau secara sosiologis, penulis mengamati seseorang akan rindu suasana kebersamaan, spiritual tradisional, hingga kearifan lokal yang tidak di dapat di perkotaan. Sebab, nuansa interaksi sosial di kota besar umumnya sangat kurang dan lebih condong individualistis. Belum lagi keringnya suasana spiritual. Sikap ini berdampak pada rasa solidaritas sosial yang lemah. Ihwal ini tentu berbanding terbalik dengan fitrah manusia sebagai makhluk zoon polition yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan sentuhan orang lain. Pada persoalan apapun itu. Oleh sebab itu, kita dapat memahami petuah orang Jawa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” (makan atau tidak, yang penting kumpul). Inilah pesan kebersamaan yang inheren (terikat tanpa sekat). Untuk berbagi dan memecahkan persoalan bersama. Dan kesemua itu hanya didapat di kampung. Suatu tempat sebagai medium pengakraban dengan cita rasa lokal untuk merajut kembali rasa kebersamaan yang hilang. Inilah dibalik tradisi mudik. Inilah budaya massa yang menggejala. Inilah aktivitas sosial untuk berlepas diri dari cangkang kerdil kedirian menuju agung khidmat pada ummat.


Vivit Nur Arista Putra
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

akuvivit.blogspot.com

Aktivis KAMMI UNY dan Transform Institute Jogjakarta
Kini sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Takwinul Muballighin