Sabtu, 30 Oktober 2010

KAMMI Reaksi Cepat Tanggap Bencana

Dimuat di Harian Jogja dan Republika, Jum'at, 29 Oktober 2010 

Pasak bumi meletus sudah. Merapi gunung teraktif di pulau Jawa memuntahkan abu vulkanik yang memberangus puluhan orang dan ratusan tempat tinggal di sekelilingnya. Badan Vulcanologi dan Mitigasi bencana sebelumnya sudah menaikkan status Merapi menjadi awas dan meminta warga untuk mengungsi. Tetapi pertimbangan mistik dan emosi tampaknya mengalahkan faktor rasional ilmiah. Puluhan warga masih saja bertahan selama belum ada perintah (dawuh) dari sang juru kunci. Imbasnya banyak penduduk tewas dilalap abu vulkanik termasuk mbah Maridjan. Konon, posisi mayatnya dalam keadaan sujud saat ditemukan di rumahnya. Pihak Keraton, Sri Sultan Hamengkubuwono X pun berucap berduka cita pada tokoh bintang iklan minuman suplemen itu. Ribuan warga dari daerah Kupuharjo, Kaliurang, Ngipiksari, Boyong, Banteng pun dievakuasi ke beberapa pos kemanusiaan seperti posko Hargobinangun di kantor kepala desanya, posko Umbulharjo, Cangkringan dsb. 

Adapun total pengungsi di dusun Hargobinangun mencapai 4538 orang. Kepala desa Hargobinangun, Beja Wiryanto menjelaskan data ini ada kemungkinan bertambah dalam beberapa hari ke depan. Mendadak korban erupsi Merapi mendapat bantuan amal pelbagai instansi. Isu kemanusian memang menjadi isu sentral bagi semua lembaga dan organisasi massa untuk berkontribusi membantu pelayanan pengungsi. “Saat ini yang mendesak dibutuhkan yaitu minyak goreng, gula, alat mandi, selimut, pakaian anak-anak, susu, roti, dan air. Selain itu menurut saya mesin diesel juga sangat penting untuk mengantisipasi jika mati lampu. Soalnya kalau gelap, ngurus 4000 orang repot mas, belum lagi jika ada tindakan pencurian memanfaatkan kondisi seperti itu” tutur Pak Beja selaku Kades saat ditanya. 


Merespon kondisi mendesak di muka, KAMMI Wilayah Yogyakarta membentuk KAMMI Children Center dengan fokus penanganan anak-anak. Menurut pusat data informasi di Pakem jumlah anak lebih kurang 450 an. Hal ini belum termasuk di tempat lain yang begitu membutuhkan asupan makanan dan manajemen psikososial untuk menghilangkan sisi trauma akibat bencana. Oleh sebab itu, KAMMI mendirikan posko di beberapa tempat. Pertama posko di belakang SD Hargobinangun yang dikomandoi KAMMI UNY melalui tim METAMA (Mendadak Tanggap Erupsi Merapi). Sedangkan posko bertempat di Umbulharjo diurus kawan KAMMI UGM, dan posko di Turi ditangani KAMMI UII. Bentuknya selain memasok makanan anak noninstan dan mengirimkan bantuan makanan anak, roti, susu, perlengkapan mandi, selimut, minyak goreng dll. KAMMI juga akan mendirikan sekolah darurat dan program trauma healing melalui out bound dan indoor untuk membantu menghilangkan penyakit trauma bencana anak. Bagi pembaca yang berkenan memberikan donasi dan bantuan produk dapat menghubungi Putra (085228302376), Waryin (085327000321), atau Iqbal (081802635614). 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI 

Kamis, 28 Oktober 2010

Jika DPR Tak Beretika

Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, 27 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Untuk kesekian kalinya anggota dewan kita membuat heboh publik. Kali ini dari anggota Badan Kehormatan DPR RI yang tetap ngeyel melakukan kunjungan kerja ke Yunani. Sebanyak 8 anggota BK sudah terbang Sabtu kemarin ke Eropa di tengah kecaman khalayak yang begitu gencar menolak agenda plesiran ke negeri para filsuf itu. Penulis memandang, ini adalah aktivitas yang tidak masuk akal bagi seorang wakil rakyat. Kendati memiliki legalitas formal yakni UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan jatah dua kali kunjungan bagi setiap anggota dewan per tahun, tetapi akan lebih baik jika lawatan ke mancanegara untuk mengetahui hal yang urgen dan berdampak pada kemaslahatan lebih bagi Indonesia. Begitupun dengan pemilihan lokali negara, harus selektif dan asal tunjuk. 

DPR RI

Ada beberapa point yang perlu dikritisi masyarakat dengan melihat aktivitas “jalan-jalan” pejabat publik Senayan. Pertama, kunjungan kerja ke benua biru dengan dalih untuk mengetahui etika politisi Yunani dalam berpakaian, perbedaan pendapat, dan memimpin sidang sangatlah menghina akal sehat. Kenapa kita selaku warga timur harus survei ke sana, bukankah banyak bule yang kagum dengan sopan santun warga Indonesia. Dan bukankah eks presiden Polandia, Lech Walesea berkata, orang Eropa harus belajar berdemokrasi di Indonesia. Ini pertanda politisi BK sedang krisis etika. Padahal BK mempunyai peranan mejalankan tata tertib atau etika anggota DPR yang UU belum setahun diratifikasi. Belum lagi pemilihan Yunani sebagai negara tujuan. Padahal, negeri Aristoteles itu marak korupsi dan baru sembuh dari krisis ekonomi. 

Kedua, selama ini kegiatan anggota parlemen ke luar negeri tidak transparan laporannya dan tidak meningkatkan produktifitas menghasilkan UU. Faktanya dalam rentang waktu sejak dilantik September 2009 hingga Oktober 2010 dari 70 RUU yang ditargetkan, baru terrealisasi 5 UU. Atau jangan-jangan anggota DPR tersendat problem bahasa yang membuatnya tak mampu menangkap apa yang dibicarakan sehingga tak berpengaruh pada proses legal drafting. Ini artinya kunjungan ini tak sebanding dengan duit yang dikeluarkan sekitar 2,2, Milyar menguras uang rakyat. Padahal pimpinan DPR dapat menganulir jadwal kunjungan sekiranya tidak terlalu penting. Jika tetap ngotot, rakyat dapat menyimpulkan bahwa anggota DPR memang berhati batu dan tak beretika di tengah kecaman publik yang menggema. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Universitas Negeri Yogyakarta 

Rabu, 20 Oktober 2010

Menyoal Sistem Kontrol Anggota DPR

Dimuat di Suara Merdeka, 16 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Banyaknya anggota DPR yang bolos kerja sudah menjadi penyakit akut dan isu lama yang mengemuka. Masyarakat, aktivis LSM, dan media massa pun telah mengkritik dan mengolok-olok budaya mubazir ini. Tak hadirnya anggota dewan saat rapat, membuat rapat ditunda karena tak memenuhi kuorum. Dampaknya rancangan undang-undang (RUU) pun tak kunjung usai disahkan dan tetap menumpuk di meja kerja. Entah sikap gerah atau tertekan opini publik, wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso menginstruksikan pimpinan fraksi untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggotanya yang sering alpa. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bahkan menyuguhkan usulan absensi menggunakan finger print (sidik jari) dan hukuman berupa pemotongan tunjangan. 


Ihwal ini menjadi wacana dan perbincangan publik mengenai efektivitasnya. Benarkah pengurangan tunjangan ini menjadi tindakan efektif, sebab mayoritas anggota dewan orang kaya raya. Banyak masukan agar diterapkan sistem kontrol wakil rakyat di Senayan. Menurut penulis, ide ini justru menurunkan wibawa anggota dewan. Sebab, orang yang duduk di Jakarta ialah orang pilihan hasil seleksi pemilu legislatif dari berbagai provinsi di Indonesia. Mengamini argumen Anis Matta, DPR bukan perusahaan tetapi lembaga politik sehingga tak perlu kontrol berlebihan. Jika DPR diawasi terus, anggota dewan diposisikan seperti anak TK. Ada pula yang menginginkan bagi yang sering bolos kerja dipecat, dipangkas gajinya, atau namanya dipajang di lampu merah pinggir jalan. Jika difikir, pembahasan sistem kontrol yang mengimbas efek jera membuat publik terjebak pada persoalan teknis semata. Dan ini merupakan langkah mundur, seharusnya yang digagas sekarang ialah seperti apakah output kerja dewan yang hendak diupayakan dan bagaimana indikator penegasnya. 

Sebaiknya substansi kinerja inilah yang menjadi topik perumusan, bukan perkara adminstratif saja. Sehingga jika output atau hasil kerjanya baik, maka kemajuan ini dapat sedikit banyak menutup aib aktivitas tercela bolos kerja. Setidaknya sebagai pejabat publik, setiap personal wakil rakyat haruslah mawas diri. Jika mereka terus-terusan tak hadir rapat, hal ini akan meruntuhkan citra dirinya. Imbasnya masyarakat tidak akan memilih dirinya dalam pemilihan legislatif mendatang. Kontrol dapat dilakukan perwakilan daerah pemilihannya mengenai kebermanfaatan dirinya untuk dapil, dewan pimpinan partaipun harus garang dan lantang menindak tegas anggotanya yang mbalelo (nakal dan khianat terhadap janjinya). Begitupun media massa dapat berperan sebagai wacth dog (anjing pengintai) bagi siapa saja anggota DPR yang mangkir di jam kerja. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis Universitas Negeri Yogyakarta

Mengurai Loyalitas Ekstrem Kesukuan

Dimuat di Akademia KOMPAS Jogja, 8 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Beberapa pekan terakhir jalinan kehidupan berbangsa dan bernegara terecoki konflik. Kasus teranyar, konflik antaretnis di Tarakan dan kerusuhan antarkomunitas di Jakarta menuai sorotan publik sepekan terakhir. Ini adalah kres lintas entis ketiga kalinya di pulau Borneo. Sebelumnya kita masih ingat konflik “segitiga” suku antara etnik Dayak dan Melayu versus Madura di Sambas, Kalimantan Barat. Serta konflik Sampit, Kalimantan Tengah antara Madura melawan Dayak satu dekade silam.

Khalayak menyaksikan di layar kaca, tampak huru-hara antarkubu berlangsung leluasa tanpa intervensi aparat. Seakan hubungan warga negara (citizenship) dan negara ada jarak (gap) dan sama-sama “terasing” atau “mengasingkan diri”. Dan layaknya film di televisi, konflik diredakan dengan cara-cara konvensional. Seperti polisi datang hanya berperan sebagai “pemadam kebakaran” bahkan represif untuk menghentikan bentrokan, melalui jalur pengadilan untuk memecahkan masalah, bahkan perjanjian perdamaian telah dilakukan untuk mengahiri keos. 


Di permukaan, memang problem konflik tampak usai. Tetapi, kasus di muka akan meletup ulang jika rasa dendam tersisa dan asal muasal masalah tidak diurai. Oleh sebab itu, perlunya mengkaji persoalan mendasar yang menjadi pangkal gejolak pertempuran. Menurut penulis ada pelbagai problematika yang melatarinya. Pertama, fenomena kerusuhan massal yang terjadi dalam rentang waktu relatif singkat di beberapa daerah disebabkan munculnya frustasi sosial di masyarakat lantaran tak mampu memecahkan pokok persoalan. Rebutan lahan parkir di Ibukota dan perkelahian remaja di Tarakan menjadi pemicu menyulutnya api konflik dua kelompok. 

Di termin lain, pemerintah tak mampu melindungi hak-hak warganya untuk mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan. Padahal menurut John Locke, legitimasi kekuasaan negara ditentukan seberapa besar perannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Buruknya manajemen pemerintah berdampak pada lemahnya pelayanan publik, khususnya alokasi ekonomi yang tidak merata. Imbasnya memunculkan urbanisasi di daerah Jawa dan Sulawesi yang secara demografi mengalami kepadatan penduduk dan menyebar ke wilayah pelosok negeri. Terkhusus di Tarakan, yang notabene termasuk daerah berinflasi tinggi di Indonesia dan dihuni warga beragam etnis seperti Tidung (suku asli), Bugis, Jawa, NTT, Banjar dan sebagainya. Kenyataannya, dari segi sosial warga pendatang ternyata lebih survive yang mampu menguasai sektor ekonomi setempat. Ihwal inilah yang kemudian mencuatkan penyakit iri sosial.

Ini pertanda, meleburnya sentralisasi menjadi desentralisasi dengan kewenangan lebih gagal dan tak mampu memakmurkan rakyat. Bahkan wakil ketua DPD RI, Laode Ida mengatakan, manajemen otonomi daerah sekarang lebih berbasis pada kepentingan politik yang sarat orientasi pragmatis, terutama jabatan dan materi tanpa peduli dengan masyarakat lokal. Kedua, jika dikaitkan dengan gagasan Hakimul Ikhwan (Sosiolog UGM) persoalan di atas diperparah dengan rasa solidaritas yang masih sangat partikularistik dan tradisional primordial. Gejala ini ditandai dengan melihat orang luar (di luar kelompok) sebagai ancaman. Trust atau kepercayaan hanya mungkin dalam konteks relasi yang sangat sempit dan terbatas. Kepercayaan dan sikap solidaritas sulit sekali dibangun dengan relasi lintas komunitas. Akibatnya jabatan dan fasilitas publik dikelola dengan frame kekeluargaan, partikularistik yang dapat memantik kedengkian dan keonaran sosial. Hal ini diperparah jika tidak ada figur sentral kharismatik yang memperkuat konsolidasi warga sipil.

Jika chauvinisme (fanatisme terhadap suku) dan etno-nasionalisme semakin menguat, perkara ini akan menjadi faktor disintegrasi berbahaya. Negara harus cekatan bertindak untuk memutus loyalitas ekstrem terhadap suku dengan membentuk norma bersama tanpa menghapus jati diri etnis di tengah Pancasila yang tak lagi sakti.

Vivit Nur Arista Putra 
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan 
Universitas Negeri Yogyakarta

Meminimalisir Plesiran Kerja DPR

Dimuat di Lampung Post, Kamis 7 Oktober 2010 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seorang pengamat politik mengatakan, anggota DPR RI sudah memiliki semua hal. Gaji melimpah, fasilitas, dan tunjangan tetapi satu hal yang tidak mereka miliki; rasa malu. Ya, agaknya pernyataan ini selaras dengan aktivitas komisi IV dan X yang melakukan kunjungan kerja ke Eropa, Afrika Selatan, Jepang dan Korea Selatan untuk menambah referensi dalam prosesi pembuatan RUU Holtikultura dan Kepramukaan. Malangnya aksi plesiran tersebut menghabiskan uang rakyat 3,7 Milyar rupiah. Kegiatan ini merupakan rangkaian kebijakan sedemikian rupa yang merogoh kocek saku rakyat dalam-dalam. Sebelumnya telah muncul usulan dana aspirasi 1 milyar per desa, rancangan gedung baru DPR berfasilitas wah spa, apotek, dan kolam renang yang disetting layaknya mal sebesar 1,6 Trilyun. Kini uang tiga milyar lebih terbagi rata ke 34 orang anggota parlemen yang terbang ke mancanegara di tengah kondisi ekonomi rakyat yang tidak merata. Bahkan muaranya memunculkan konflik horizontal baru-baru ini. 

DPR RI

Data yang dilansir Indonesia Budget Centre tahun 2010 ini menyatakan alokasi dana untuk studi banding anggota DPR ke luar negeri berjumlah 162,9 milyar rupiah. Adapun rincial detailnya terbagi menjadi empat tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Pertama, fungsi legislasi (legal drafting) yang membutuhkan duit 73,4 Milyar. Kedua, controlling atau fungsi pengawasan dengan alokasi 45,9 milyar. Ketiga, fungsi anggaran (budgeting) 2,026 milyar dan keempat, porsi rupiah untuk kerja sama internasional dalam forum parlemen dunia mengambil uang 41,4 milyar. Di sisi lain, jika mencermati fluktuasi anggarannya, Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (FITRA) melaporkan, APBN perubahan 2010 kunjungan kementrian negara dan anggota parlemen mengalami lonjakan nominal 48 milyar. Sedangkan total uang yang dihabiskan untuk kunjungan ke negeri manca ialah 19,5 trilyun. Jika dirigidkan lagi, pengeluaran per tahun lembaga kepresidenan paling tinggi mencapai 179 milyar, disusul DPR 170 milyar per tahun. Sedangkan lembaga kementrian yang memperoleh jatah uang paling banyak ialah kementrian kesehatan RI dengan 145 milyar diantara kementrian lain. 

Memang secara legalitas formal undang-undang kegiatan kunjungan ke luar negeri ini mempunyai landasan kerja penggerak sebagaimana diamanatkan UU No.27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dengan pembagian minimal dua kali kunjungan setiap anggota dewan per tahun. Tetapi benarkah satu kegiatan ini memudahkan proses perumusan pembuatan UU? Faktanya di tahun 2010 saja dari 70 RUU yang menjadi target DPR baru terealisasi 5 UU. Ihwal ini tentu menunjukkan kontradiksi maraknya aktivitas dengan hasil kerja yang tidak produktif. Atau dalam perspektif ilmu manajemen agenda survei ke negeri orang tidak efektif (tepat guna) berkaitan dengan UU yang dihasilkan dan efisien (berdaya guna) terutama borosnya anggaran negara yang dikeluarkan. 

Oleh sebab itu, kegiatan pejabat negara ke luar negeri dituntut untuk transparan ke publik, seperti term of reference kunjungan untuk apa dan melaporkan hasil kunjungannya. Sehingga nantinya rakyat dapat menilai seberapa signifikan dengan produk UU yang dibuat pejabat Senayan. Di sudut lain, plesiran pejabat ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan beberapa hal. Pertama, mendatangkan pakar luar negeri berkaitan dengan objek yang diteliti. Kedua, penggunaan teknologi internet untuk pencarian data dan memanfaatkan jaringan parlemen dunia. Ketiga, menambah tugas dan wewenang KBRI yang berada di negara lain, untuk mencari data yang diperlukan Indonesia. Hal ini akan menghapus kesan publik bahwa pemerintah terkesan menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan ke negeri jiran, kendati kunjungan kerja juga tetap diperlukan.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute

Jumat, 01 Oktober 2010

Sejarah Berkata Yogyakarta Istimewa

Dimuat di Wacana, Bernas Jogja, 1 Oktober 2010 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Minggu, 5 September 2010 kawula (masyarakat) Yogyakarta mengadakan upacara “sehari tanpa Indonesia”. Demikian harian lokal memuatnya dicover depan. Cukup beralasan memang, sebab seremonial tersebut dilangsungkan menggunakan bahasa Jawa dan tanpa mengibarkan sangkakala merah putih. Justru bendera kraton mengudara di sana. Massa aksi yang memakai pakaian tradional ini menuntut pemerintah pusat untuk segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dan meratifikasinya. Pasalnya dua tahun terakhir RUU Keistimewaan selalu terkatung-katung dan tak ada hasil kendati sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas). 


Hal inilah yang membuat Sri Sultan Hamengkubuwono X gerah dan menantang pemerintah pusat untuk melakukan referendum. Sebagai orang Jawa tulen, Sri Sultan tentu merasa pekewuh (tidak enak hati) jika terlalu menuntut penetapan, sebab akan menimbulkan kesan publik Sri Sultan meminta-minta jabatan. Tetapi jika tidak segera diselesaikan sampai periode kepemimpinannya berakhir, status Yogyakarta menjadi hambar. Maka publiklah yang harus bersuara menuntut pengesahan RUUK Yogyakarta. Persoalannya berkutat pada bagaimana suksesi kepemimpinan di pemerintahan daerah. Jika Yogyakarta dinisbatkan menjadi daerah istimewa, maka presiden RI akan menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai simbol penguasa lokal dengan masa jabatan seumur hidup. Sebagaimana yang telah diemban Hamengkubuwono IX (1945-1998). Tetapi jika Yogyakarta bukan dikategorikan daerah istimewa artinya proses penentuan pemimpin daerah dilakukan secara demokratis melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Di mana masing-masing partai politik dapat mengusung orang di luar kraton yang akan dicalonkan untuk menduduki posisi gubernur. 

Jika kenyataannya opsi kedua yang terjadi. Artinya pemerintah republik Indonesia buta sejarah dan tidak menghargai lagi peran historis Yogyakarta yang membuatnya didaulat menjadi daerah istimewa. Catatan sejarah menunjukkan Yogyakarta adalah teritorial yang memiliki otoritas khusus semenjak 250 tahun silam. M.C. Ricklefs dalam bukunya Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1729-1949 A History Division of Java mengisahkan sejak Belanda melakukan invasi ke tanah Jawa dan turut campur tangan terhadap kerajaan Jawa melalui serikat dagangnya VOC. Maka dibuatlah perjanjian Giyanti (13 Febuari 1755/Ba’da Mulud 1680) untuk meredam pengaruh luas Belanda. Hasilnya kemudian Raden Sujana atau pangeran Haryo Mangkubumi mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1755 di mana dalam hukum kolonial wilayah Yogyakarta dikategorikan Vorstenlanden (daerah kerajaan). Konsekuensi logisnya adalah adanya beberapa perbedaan hukum dan politik dengan wilayah pemerintahan kolonial Belanda lainnya (Ricklefs, 1974). Kerajaan ini berlangsung turun temurun hingga kini dibawah kekuasaan Hamengkubuwono X yang sekaligus menjadi gubernur DIY. 

Pada akhir perang dunia II Belanda meninggalkan Indonesia dan diganti penjajahan Jepang. Tahun 1941 tentara negeri Samurai merangsek masuk Yogyakarta dengan menistakan pemerintahan lokal dan terkesan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dan Kasultanan. Pada saat itulah Pakualam VIII memutuskan bergabung kembali dengan Kasultanan. Hingga suatu ketika kedua pemimpin tersebut mendengar warta proklamasi kemerdekaan RI, kemudian menyampaikan surat kawat (telegram) kepada Presiden Soekarno yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang memutuskan Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat bergabung dengan pemerintah Indonesia. 

Adapun isinya ialah Pertama; Bahwa Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; bahwa perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia (PK. Haryasudirja dan Sentanoe Kertonegoro). Pernyataan sikap di muka menegaskan bahwa Yogyakarta, pertama bersifat monarki. 

Kedua, kekuasaan sultan atas teritorial dan lembaga pemerintahan di dalamnya. Ketiga, akuntabilitas pengelolaan otoritas khusus langsung kepada Presiden dan tetap dalam kesatuan NKRI. Menerima permintaan ini, Soekarno merasa terharu dan sebagai tanda balas jasa, presiden pertama ini memberikan piagam pengakuan kekuasaan daerah istimewa Yogyakarta kepada Hamengkubuwono IX yang diterimanya 6 September 1945. Jika ditelisik lebih jauh latar Yogyakarta disebut daerah istimewa ialah sebagai tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebab, pasca RI dideklarasikan di Jakarta, ibukota menjadi tidak aman karena mendapat serbuan Belanda yang akan menjajah ulang Indonesia. 

Melihat hal ini, Hamengkubuwono IX mengusulkan kepada Soekarno agar ibukota negara dipindah ke Yogyakarta untuk menjalankan pemerintahan (1945-1950). Di sinilah Yogyakarta berperan sebagai motor penggerak perjuangan dan revolusi kemerdekaan. Di kota ini menjadi ajang pertempuran fisik 6 hari pada 1 Maret 1949. Dan nonfisik melalui perjuangan diplomasi untuk mengurai konflik RI-Belanda seperti konferensi tiga negara (KTN) dan berhasil dituntaskan dalam konferensi meja bundar di Den Haag 1949 dengan menjadikan Yogyakarta sebagai sentral juangnya. Perkembangan politik kontemporer, setelah penetapan Hamengkubuwono X dalam sidang rakyat tahun 1999 yang diulangi 2004 dan 2009. Kini pembahasan Yogyakarta menjadi daerah istimewa secara de jure atau legalitas formal yuridis terkatung-katung dan terkesan lambat oleh anggota parlemen. 

Menurut penulis kawula Yogyakarta terkesan merendah jika terlalu menuntut RUU ini segera diratifikasi. Karena secara de facto Yogyakarta murni istimewa, apalagi jika ditambah dengan perannya membantu mempertahankan kedaulatan NKRI. Anggota dewan perlu memandang dari kacamata historis sebagai pertimbangan perumusan RUU keistimewaan. Begitupun dengan rakyat Yogyakarta harus faham laku sejarah di kotanya dan membentuk gerakan massa untuk mendesak pemerintah RI menuntaskannya. Kendati sebenarnya tuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya. Terlepas dari ihwal di muka makna keistimewaan janganlah selalu mengacu pada teks historis belaka. Keistimewaan dapat ditonjolkan melalui prestasi di dunia pendidikan, laku santun warganya, dan melestarikan tradisi budaya warisan leluhur. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 
Universitas Negeri Yogyakarta 

Kamis, 30 September 2010

Jangan Lari dari Sejarah

Dimuat di Suara Merdeka, Kamis, 30 September 2010
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Presiden Soekarno pernah berujar historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan). Kata mutiara di muka kemudian disalin dalam diksi bahasa Indonesia menjadi “jari merah” (jangan lari meniggalkan sejarah). Berpijak dari petuah the founding father di atas, agaknya publik patut mengingat kembali akan makna keistimewaan Yogyakarta yang diabadikan dalam maklumat 5 September 1945. Pasalnya kini khalayak ramai khususnya warga pribumi Yogyakarta buta sejarah tentang maklumat Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menandai bergabungnya Nagari Ngayogyokarto Hadiningrat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sejarawan UGM Prof. Djoko Suryo menjelaskan pada mulanya Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Jawa yang didirikan oleh Pangeran Haryo Mangkubumi atau Raden Mas Sujana tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti, buah perjuangan melawan campur tangan Belanda melalui sarikat dagangnya VOC terhadap kerajaan kala itu. Sejak saat itu, Kasultanan Yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri. Artinya berdaulat ke dalam dan ke luar, memiliki kawula (rakyat), dan diakui oleh negara lain. Negeri monarki ini berlanjut turun temurun mempunyai Raja hingga Hamengkubuwono X yang menjabat gubernur DIY kini. Rentang waktu 1900-1940 Yogyakarta berkembang menjadi pusat kota pendidikan karena banyaknya sekolah menengah yang didirikan pemerintah atau organisasi swasta. 

Selain itu, dari kota ini pula menjadi awal mula munculnya pergerakan pemuda Indonesia, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, dan dijadikan tempat kongres Budi Utomo. Pada akhir tahun 1941 Jepang masuk Yogyakarta. Negeri Nipon tersebut memandang rendah pemerintahan di sana dengan kecenderuangan mengadu domba pemerintahan Pakualaman dengan Kasultanan. Melihat hal ini Pakualaman (PA) VIII memutuskan untuk bergabung dan disetujui Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dengan berkantor di Kepatihan setiap hari menjalankan pemerintahan. (Sudomo Sunaryo, 2010). Dari Kepatihan inilah terdengar berita diproklamasikannya Indonesia 17 Agustus 1945 dan HB IX serta PA VIII memutuskan mengirimkan surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menginginkan bergabung ke pangkuan NKRI. 

Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan amanatnya yang dikenal dengan maklumat 5 September 1945 yang berisi. Pertama; Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia. Kedua, kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan berada di tangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga; perhubungan antara Negeri Yogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat Republik Indonesia bersifat langsung, dan kami bertanggungjawab secara langsung kepada presiden Republik Indonesia. (KR, 5 Sept 2010). Jika mengamati statement tersebut, makna daerah istimewa ialah karena; berbentuk kerajaan, berkuasa penuh atas wilayahnya sendiri, dan akuntabilitas Raja kepada presiden RI dalam bingkai NKRI. Presiden Soekarno menyambut baik permintaan ini dan sebagai imbal jasanya, ia memberikan piagam pengakuan atas otoritas Yogyakarta tanggal 6 September 1945. Pascakemerdekaan, Yogyakarta dijadikan tempat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. 

Setelah proklamasi Jakarta terancam serbuan tentara Belanda. HB IX kemudian menawarkan kepada pemerintah pusat berpindah ibu kota ke Yogyakarta. Sejarah mencatat Yogyakarta pernah menjadi ibukota RI (1945-1950) dan benteng pertahanan kokoh yang melakukan revolusi. Perang selama 6 jam di Yogyakarta, 1 Maret 1949 dan perjuangan diplomasi antara lain perundingan KTN menjadi saksi peran Yogyakarta mempertahankan NKRI. Tetapi kenapa kini anggota DPR (komisi II) begitu rumit dan lambatnya mengesahkan RUU Keistimewaan Yogyakarta, dan hanya berkutat pada persoalan cara pengisian Gubernur dan wakilnya. Ya, penuntutan kawula (rakyat) kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini agaknya terlalu rendah. Sebab, tanpa legal formal yuridis Yogyakarta tetaplah istimewa. Dan catatan sejarah telah membuktikannya.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute UNY