Kamis, 07 April 2011

Pemerintah Harus Tegas Sikapi Ahmadiyah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seruan dari Forum Umat Islam (FUI) agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau membentuk agama baru yang tak digubris pemerintah pusat, justru mendapat respon positif dari beberapa pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur dan Banten secara tegas melarang beredarnya ajaran Ahmadiyah melalui surat keputusan gubernur yang dikeluarkannya. Kebijakan ini agaknya harus diikuti provinsi lainnya untuk menjaga aqidah umat agar tidak terkontaminasi ajaran tak sesuai syariat. Tentu tanpa bermaksud generalisir, lantaran Ahmadiyah terpecah menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad (MGA) Nabi baru dan Ahmadiyah Lahore yang hanya memandang MGA sebagai mujadid atau pembaharu. 

Setidaknya ada dua perspektif kenapa aliran Ahmadiyah harus dilarang. Pertama perspektif teologis, sejak awal berdirinya di India aliran ini memang sudah cacat dari lahir. Lanskap sosialnya kala itu umat Islam India sedang mengusir Inggris yang menjajah. Melihat kuatnya perlawanan serdadu Islam, Inggris melakukan politik devide et impera untuk memecah soliditas tentara Islam dari dalam. Dipilihlah MGA (1839-1908) sebagai tokoh pemecahnya. Menurut Abul Hasan Ali An Nadwi (Ulama India), MGA memfatwakan penghapusan syariat jihad, karena tokoh berpengaruh ihwal ini membuat semangat sebagian pejuang muslim luntur. Selain itu, menurut penelitian INSIST ia juga menggagas kitab Tazkirah sebagai rujukan dan ada beberapa ayat Al Qur’an yang dipelintir. Maka tuntutan bubarkan Ahmadiyah bukanlah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan sebagai hukuman bagi organisasi yang menista aqidah Islam. Riset WAMY (Lembaga Pengkajian dan Penelitian) mengungkapkan, Qadiyanisme (demikian WAMY menyebutnya) merupakan gerakan yang muncul pada tahun 1900 yang dibidani penjajah Inggris di benua India dengan tujuan merusak dan menjatuhkan umat Islam dari segi ajarannya sendiri. 

Khusus dari segi jihad sehingga mereka tidak menghadapi penjajah Inggris dengan mengatasnamakan Islam. Corong gerakan ini adalah majalah “Religion” yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. (Hal 301, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Penerbit Al i’tishom). Adian Husaini dalam buku “Inilah Ahmadiyah” mengukip buku Dr. Ihsan Ilahi Zhahir “Al Qadiyaniyyah: Dirasat wa Tahlil” diterjemahkan Pustaka Darul dengan judul “Mengapa Ahmadiyah dilarang?”. Buku ini mengungkap sosok MGA dari sumber primer dokumen Ahmadiyah. Dikisahkan MGA pernah berkata “tidak diragukan lagi bahwa dilahirkan di tengah-tengah umat Muhammad saw, beribu-ribu orang wali dan orang pilihan tetapi tak seorang pun sama denganku.” Bahkan dengan bejatnya MGA memelintir firman Allah dengan menyatakan “Akulah yang dimaksud dalam firmanNya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam.” (Q.S. Al Anbiyah: 107).

Di bab lain MGA juga mengemukakan loyalitasnya kepada kolonial Inggris “kuhabiskan mayoritas masa hidupku untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Britania dengan menentang ajaran jihad. Aku masih terus berupaya demikian hingga kaum muslimin menjadi setia dengan ikhlas kepada pemerintah ini.” Maka teranglah jika Ahmadiyah dikatakan sesat. Kedua perspektif sosio-yuridis, tidak tegasnya pemerintah pusat untuk membubarkan Ahmadiyah menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak cukupkah bukti fatwa Rabithah Alam Al Islami, MUI, UN, dan Muhammadiyah tentang Ahmadiyah yang melecehkan agama Islam dan melanggar SKB. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya tahun 1937 mengutip pesan baginda Nabi akan kedudukan Muhammad sebagai Nabi terakhir “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi.” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Di termin lain, rezim SBY tidak sedikitpun bertindak karena takut dipandang melanggar HAM oleh dunia internasional. Reputasi Indonesia yang tergolong sukses mengembangkan demokrasi akan luntur jika Ahmadiyah ditiadakan. 

Rumah Pensil Publisher

Pemerintah agaknya juga sengaja memelihara Ahmadiyah sebagai alat politik untuk memecah belah kekritisan umat Islam. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM) berkomentar, tindakan aparat penegak hukum polisi dan kejaksaan agung dalam bentuk penangkapan atau penahanan pimpinan aliran sesat secara sosio-yuridis merupakan kebijakan sangat tepat dan berdasar. Hal ini diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Perpres ini ditingkatkan menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi “barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat 2 menegaskan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jadi fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam, bukanlah pelanggaran HAM. Memilihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM. Kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika ada sistem hukum mengaturnya. (Hal 38, Inilah Ahmadiyah, BAB Pelarangan Aliran Sesat Tidak Melanggar HAM, Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 2008). 

Mengacu norma di atas, maka jelaslah Ahmadiyah dengan MGA nya yang mengaku Nabi baru merupakan aliran sesat yang harus ditindak tegas dan dibubarkan atau membentuk aliran baru tanpa embel-embel Islam. Bukankah Allah berkata “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al Kafirun: 5). Khalayak dapat mencermati latar terjadinya dua kasus Cikeusik dan Pandeglang yang berselang dua hari. Penulis menganalisa, kejadian di muka adalah respon pemerintah kepada ulama dan rohaniawan yang sebelumnya mengkritisi dan menggugat kebohongan pemerintah. Terkesan dua kasus dengan modus yang sama ini memang disetting agar tokoh agama fokus mengurus umatnya ketimbang mengontrol kebijakan pemerintah. Akhirnya jika pemerintah pusat tak serius menghapus Ahmadiyah, kita berharap kesigapan pemerintah daerah untuk melarang peredaran Ahmadiyah lebih luas. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Ponpes Takwinul Muballighin 

Analisa Teror Bom Buku


Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Teror bom buku yang menggunjang Indonesia mencuatkan ragam spekulasi tentang apa motif dibalik semuanya dan siapa dalang penggeraknya. Sejak tahun 2000 modus serangan memang bervariasi mulai dari memakai mobil, tas ransel, hingga buku disertai pesan yang tertera dijudulnya. Bom berselimut buku terbilang unik dan sederhana, apakah memang disetting demikian mengingat sasaran adalah tokoh kutu buku. Atau kemampuan finansial tak mencukupi sehingga cukup membungkus bom dengan buku. 


Menurut analisa Soeripto (Pengamat Intelijen) muncul bom buku setidaknya ada tiga motif yang melatari pelaku. Pertama, untuk mengalihkan isu politik yang sedang menyerang istana atas pemberitaan dua media massa The Age dan The Sidney Morning Herald dari Australia. Kedua, bom skala kecil ini disinyalir hanyalah ancaman atau psy war untuk mengabarkan kepada dunia internasional bahwa aktivitas terorisme masih ada di Indonesia. Ketiga, ada kemungkinan ini hanya rekayasa untuk memberitahukan kepada negara barat dan Amerika Serikat bahwa detasemen antianarki bentukan anyar pemerintah memiliki tugas memberantas teror sehingga membutuhkan suplai dana lebih dari donatur barat. Jika dicermati ketiga objek sasaran seperti Ulil Abshar Abdala (Pendiri Jaringan Islam Liberal), Goris Mere (mantan petinggi BIN), Soeryokoesoemo (Ketua pemuda Pancasila), Ahmad Dhani (Personel band Dewa 19 yang dianggap antek Yahudi). Terkesan pelaku mencari efek dari news value (nilai berita) yang dapat membentuk persepsi publik. Yakni khalayak akan mengira pelakunya adalah orang lama. 

Dampaknya adalah umat Islam selalu menjadi kambing hitam jika ada kasus kekerasan dan terorisme. Karena secara sederhana, pengamat terorisme dan mabel Polri dapat menyimpulkan pengirim paket buku adalah kalangan Islam fundamentalis. Padahal masih berbagai kemungkinan apakah kasus ini dimotori aktor lama atau baru. Jika pelaksananya tersangka lama tentu akan memberatkan persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Jika pelaku baru lantas siapa? Apakah ini pekerjaan rapi tanpa jejak ini dilakukan intelijen? Benarkah demikian, lantaran setiap ada perkara yang menyerang istana selalu muncul kasus baru untuk mengalihkan isu. Apa konspirasi besar dibalik semua ini? Semoga kita dapat mengkritisi tanpa mudah terbawa isu petinggi elite negeri ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Senin, 14 Maret 2011

Membangun Spirit Kenabian

Dimuat di Resensi Buku Kedaulatan Rakyat, 13/3/2011 

Judul : Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 
Penulis : Syarifuddin Jurdi dkk 
Cetakan : 1, Januari 2011 
Penerbit : Education Center BEM Rema UNY Tebal : 148 Halaman 
Harga : Rp. 30.000,- 


Nilai-nilau luhur universal agaknya mulai luntur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demoralisasi mendera generasi muda, krisis katakter dan identitas menggejala warga negara. Ihwal ini dibuktikan dengan realitas masyarakat Indonesia yang semakin memprihatinkan. Pertama, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 2-2,6 juta kasus aborsi atau teradi 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan, 30% diantaranya dilakukan penduduk berusia 15-24 tahun. Kedua, data badan narkotika nasional Februari 2006 menyebutkan dalam 5 tahun terakhir, jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3% atau bertambah 3100 kasus pertahun. Ketiga, Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006 melansir prestasi Indonesia dengan maraknya kasus korupsi pada ranking 137 dari 159. Penyakit sosial di muka menunjukkan gagalnya output pendidikan Indonesia. 

Rumah Pensil Publisher

Maka tak heran dalam peringatan Hardiknas setahun silam, Mendiknas berpidato tentang pentingnya pendidikan karakter yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2011 dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Muhammad Nuh memaparkan tidak menyatunya ilmu yang dimiliki dengan sikap keseharian, dengan menyindir penegak hukum yang seharusnya menerapkan hukum dengan adil malah diadili. Pendidik yang selayaknya mendidik malah dididik. Pejabat yang berkewajiban melayani masyarakat malah minta dilayani. Hal ini merupakan fenomena buruk yang bersumber pada karakter. Merespon gagalnya proses pendidikan inilah muncul buku Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 sebagai wujud tawaran baru dalam khazanah pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab soal tetapi hal itu diperoleh melalui kecurangan. Sehingga yang didapat hanyalah nilai akademik tanpa disertai moral etik (hal 12). 

Diberlakukannya ujian nasional di satu sisi memancing pelajar berpikir pragmatis dengan orientasi lulus, tanpa memedulikan cara yang ditempuh untuk mencapai hasil itu. Pengembangan gagasan profetik ke bidang pendidikan merupakan langkah tepat untuk mendesain proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan transfer ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan moralitas dan kepribadian bangsa (hal 38). Atau secara sederhana dalam membentuk karakter diperlukan modeling (objek yang ditiru) agar pengembangan karakter yang diinginkan mempunyai orientasi jelas. 

Maka rujukannya adalah Nabi sebagai teladan paling lengkap dan sempurna dalam berinteraksi di dua dimensi kehidupan yakni kehidupan dalam tataran keTuhanan maupun kemanusiaan. Filosofinya tugas Nabi ialah menyempurnakan akhlah (karakter) manusia. Sebab, jatuh bangunnya pribadi maupun bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya. Pelajaran moralnya jika Nabi dicerahkan oleh wahyu, maka kita selaku pelajar dan mahasiswa tercerahkan melalui ruang kelas dan kampus. Maka selayaknyalah kita meneruskan peran Nabi di muka bumi ini. Bagi anda kalangan pendidikan maupun intelektual buku ini layak anda baca. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 11 Maret 2011

Membaca Arah Reshuffle Kabinet

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Sepekan terakhit kata reshuffle begitu menggema di telinga masyarakat Indonesia. Khalayak menanti dengan ketegasan presiden untuk membuktikan ucapannya dalam pidatonya tentang pemberian sanksi bagi partai tak sepaham dengan koalisi. Pidato politik tersebut disampaikan sehari setelah keputusan sidang paripurna di DPR yang menyatakan menolak diberlakukannya hak angket pajak. Bukanlah hasil yang dikomentari presiden SBY, melainkan membelotnya dua partai mitra koalisi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung disahkannya hak angket untuk mengusut tuntas mafia pajak.


Padahal gugus gagasan awal digulirkannya hak angket dilontarkan politisi partai Demokrat. Faktanya menjelang perhelatan voting, sikap inkonsisten muncul dan berbalik menolak hak angket mafia pajak. Banyak alasan dikumandangkan seperti tidak efektifnya hak angket dsb. Tetapi itu hanyalah dalih. Dibalik keputusan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya publik, kenapa partai berjargon nasionalis religius ini mendadak pindah haluan tidak menyetujui hak angket pajak. Apakah untuk mengamankan kekuasaan? Inilah yang sedang diduga khalayak. Memang secara kalimat verbal, pidato presiden selaku pimpinan lokomotif koalisi tidak mengarah langsung ke partai beringin dan partai ka’bah berlambang padi dan bulan sabit. Ini menjadi tipikal SBY yang selalu berkata multitafsir dan tidak mengucapkan kesimpulan tegas. Tetapi mencermati manuver politik keduanya dalam beberapa kasus seperti Centurygate dan perkara terbaru hak angket pajak, sangatlah terang posisi keduanya sedang terancam. Hanya soal waktu, momentum, dan lobi-lobi politiklah yang akan menentukan. Sebab, dalam pidatonya SBY mengatakan akan diberikan sanksi nanti. Ini pertanda masih ada komunikasi politik intens antar ketiganya untuk duduk bersama saling mengevaluasi, menginventarisir masalah, dan mengeluarkan policy (kebijakan) yang bisa jadi win-win solution (memuaskan ketiganya) atau malah win-lose solution (mengecewakan salah satu pihak).

Maka tak heran jika Aburizal Bakrie dan Anis Matta menyatakan siap diluar berperan sebagai oposisi atau masih dipertahankan berkoalisi jika presiden incumbent memberikan opsi diantara keduanya. Menjadi pertanyaan apakah pidato Pak Beye hanya sebuah gertakan untuk menggaungkan isu anyar dalam konstelasi politik nasional atau pernyataan serius lantaran geram terhadap tindakan kedua partai di muka yang menurutnya melanggar sebelas butir code of condact (tata kesepakatan berkoalisi). Jika peringatan serius beranikan SBY untuk mengambil kebijakan reshuffle dengan berbagai kemungkinan terburuk? Penulis berusaha untuk mengkalkulasi jika perombakan kabinet konkret dilaksanakan. Pertama, secara matematika politik jika Golkar dan PKS depak, pemerintah akan kehilangan dukungan di parlemen 29 persen. Atau setara dengan berkurangnya 164 suara, dengan rincian Golkar 107 anggota dan PKS 57 anggota. Ini angka yang sangat besar dan jika kedua bergabung dalam kelompok oposisi akan semakin kuat dan mampu mengendalikan parlemen. Maka terpangkasnya besarnya nominal dukungan di legislatif membuat partai pemerintah melakukan komunikasi politik dua arah dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan partai Gerindra untuk bergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab). 

Namun, sebagaimana dituturkan Megawati secara tegas dan ideologis PDI-P agaknya tetap menjadi partai oposan bersama rakyat untuk mengawal pemerintah. Sementara Gerindra mengicar posisi Menteri BUMN dan Pertanian sebagai prasyarat terlibatnya dalam pasukan koalisi. Hal ini tentu membuat Demokrat menimang-nimang karena daya tawarnya terlalu tinggi. Jika partai pimpinan Prabowo tetap berkeuh menolak bersanding dalam koalisi, Demokrat akan mencari format lain koalisi dengan menyingkirkan salah satu dari dua parpol pemberontak. Kedua, jika yang ditalak adalah Golkar amatlah tidak mungkin karena selain kaya pengalaman bergelut dalam singgasana kekuasaan, partai jagoan di era orde baru ini juga memiliki basis massa kuat di DPR. Selain itu, para kadernya yang menjadi menteri menunjukkan kinerja yang tak terlalu buruk selama setahun terakhir. Jika tetap diputus tali kekerabatannya ini menyuratkan arogansi politik partai Demokrat dan tak rasional. 

Ketiga, jika PKS yang dicerai SBY mengalami beban moral lantaran partai berbasis massa kalangan terdidik ini adalah partai pertama yang diajak berkoalisi dan bercucur keringat deras mengantar SBY duduk di RI 1. Bahkan paduka presiden menjulukinya backbone (tulang punggung) koalisi bersama partai Demokrat. Disingkirkannya PKS akan sangat bergantung kesepakatan politis masuk tidaknya Gerindra dalam bahtera koalisi. Di satu sisi publik dan mitra koalisi akan sedikit kecewa karena Gerindra tak berkeluh keringat berkontribusi membawa SBY-Boediono menjadi petinggi republik ini, justru kala itu malah menjadi lawan politik. Tetapi semua dapat terjadi, jika melihat Golkar yang semula rival politik kini menjadi sahabat politik pemerintah. Inilah resiko politik transaksional. Akar masalahnya ialah pondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru bagi-bagi kekuasaan untuk kenyamanan SBY semata. Maka pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan.

Penulis sependat dengan pengamat politik J.Kristiadi bahwa pidato politik presiden tak ada urusannya dengan rakyat. SBY harus menjelaskan ke publik apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang kaitannya dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau sekadar menaikkan tensi politik saja agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Reshuffle Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Dimuat di Fokus Anda Republika, 9 Maret 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Koalisi super jumbo dalam wadah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi tak menentu, setelah SBY berpidato pascarapat paripurna di DPR yang menyatakan pemberian sanksi bagi mitra koalisi yang tak komitmen mendukung pemerintah. Kalimat ironi ini tentu tertuju pada Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan terhadap hak angket pajak di parlemen. Menurut penulis, reshuffle harus dijelaskan ke publik secara logis. 


Jika pergantian kabinet hanya untuk mengamankan pemerintahan tentu hal ini amatlah pragmatis. Khalayak sama-sama tahu bahwa penggagas angket pajak berasal dari internal Partai Demokrat yang didukung partai lain termasuk Golkar dan PKS. Perkembangan selanjutnya, Demokrat yang awal mula berkoar menjelang pengambilan voting tak konsisten menindaklanjuti angket pajak. Justru malah balik menolak. Ihwal ini menimbulkan tanda tanya publik, apa alasan partai SBY ini menolak? Kesan inilah yang dibaca masyarakat luas, bahwa isu reshuffle yang dilontarkan presiden sehari setelah rapat paripurna di DPR hanya untuk menaikkan tensi politik agar pemerintah terlihat serius mengurus rakyatnya. Padahal berdasarkan survei Republika (Edisi Senin, 07 Maret 2011) masyarakat tak begitu peduli dengan bongkar pasang rezim. Karena reshuffle tak menjamin pemerintahan akan semakin baik.

Kendati demikian SBY segera mungkin dinanti ketegasannya, apakah ingin merombak mitra kerjanya di eksekutif atau tidak. Analisanya, agaknya presiden incumbent ini masih mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, secara matematika politik jika Golkar (107 anggota) dan PKS (57 anggota) ditendang, maka pemeritah akan kehilangan dukungan 164 suara. Lobi-lobi politik pun dilakukan ke PDI-P untuk terlibat bersama koalisi guna menanggulangi suara yang hilang. Kedua, jika Golkar yang dipangkas Demokrat akan kehilangan dukungan sangat besar yaitu 107 suara. Selain itu, partai beringin ini juga kenyang pengalaman di kekuasaan.

Ketiga, jika PKS yang diusir, beban moral tetaplah ada karena partai dengan basis kuat di kalangan menengah ke atas ini adalah pendukung pertama koalisi. Bahkan SBY pun menjuluki Demokrat dan PKS sebagai backbone koalisi. Pertimbangan lainnya ialah masih menunggu tawar menawar dengan Gerindra yang digadang-gadang masuk ke setgab sebelum mendepak PKS. Jika partai pimpinan Prabowo masuk akan melukai partai pengusung koalisi sejak awal lantaran Gerindra tak memeras kringat untuk mengatar SBY ke RI 1. Gerindra dipandang pragmatis dan hanya berorientasi jabatan karena sebelumnya adalah lawan politik SBY.

Kalangan akar rumput ingin bergegas mendengar keputusan SBY karena perkara reshuffle jelas tak ada kaitannya dengan agenda kesejahteraan rakyat. Reshuffle pun belum tentu menjamin program kerakyatan dilakukan semakin baik. Kita berharap para Menteri tetap fokus pada program kerja mereka tanpa terpengaruh arus politik reshuffle yang saling sandera antara presiden dan partai koalisinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute  Universitas Negeri Yogyakarta

Selasa, 08 Februari 2011

Pergantian Rezim Harus Disertai Pembaruan

Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, 8/2/2011 

Aksi massa meruntuhkan otoriterianisme rezim agaknya telah menjadi tren di daratan Afrika. Keberhasilan rakyat Tunisia melengserkan presiden Ben Ali yang diktaktor menginspirasi negara lain seperti Mesir, Yaman, hingga Suriah. Jika dikaitkan dengan teori Third Wave Democratization ala Samuel P. Huntington, maka tuntutan mundur terhadap Mubarak di negeri Piramid dan Abdullah Saleh di Yaman agar segera diganti pemerintahan baru, adalah arus gelombang demokratisasi ke empat sepanjang sejarah dunia. Negara-negara di jazirah Arab berada pada kepercayaan diri tinggi, jika mencermati geopolitik internasional di Mesir dan Tunisia. 


Rakyat di suatu negara yang dipimpin penguasa dalam waktu lama namun tak ada reformasi total kini mulai berfikir, perubahan rezim tidak harus dilakukan melalui pemilu tetapi dapat dilakukan dengan aksi massa. Sebab, rakyatlah yang memberikan mandat kuasa. Dan kini Ben Ali dan Mubarak telah kehilangan legitimasinya. Maka mundur adalah jawabannya. Amerika Serikat yang menganut dan menggaungkan demokrasi sedang diuji. Apakah mendukung reformasi Mesir ataukah tetap merestui pemerintahan Mubarak. Sementara Israel menyatakan lebih baik rezim Tirani berkuasa daripada organisasi religius yang hendak berkuasa seperti Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai oposisi terbesar. Sebab, jika IM memimpin maka akan membuat peta politik timur tengah berubah. 

Namun, yang patut menjadi titik perhatian ialah desakan suksesi harus disertai dengan kemampuan untuk mengisi kosongnya pemerintahan. Demo hanya fokus pada penurunan Mubarak, di sisi lain oposisi tampak belum kompak siapa yang akan diusung untuk mengisi masa transisi. Rakyat Mesir tidak tampak memiliki tokoh pemersatu seperti Amien Rais sebagai tokoh reformasi 1998. Sebab, Mesir kini sedang mengalami masa 98nya Indonesia. Titik persamaannya adalah. Pertama, penguasa diisi oleh kalangan Militer yang otoriter dan koruptor. Jika Fir’aun bersyahadat bernama Husni Mubarak ditopang militer maka Soehartopun demikian dengan dwifungsi ABRI nya yang membuat tentara dapat duduk di parlemen. Kedua, demokrasi mati. Tidak ada check and balances terhadap pemerintahan karena eksekutif dan legislatif keduanya dipegang oleh partai yang sama. 

Imbasnya DPR sebagai lembaga pengontrol jalannya pemerintahan menjadi terkooptasi. Presiden Mubarak dan Soeharto dapat terpilih berulang kali karena DPRnya adalah anak buahnya. Ketiga, media massa dibungkam dan dimonopoli, suara publik disumpal. Di Indonesia kala itu, jika ada koran yang mengulas kebobrokan penguasa akan dianggap melecehkan simbol negara. Pemerintah Mesir pun memblokir jaringan interner dan situs jejaring sosial yang selama ini berperan sebagai medium menggalang demonstrasi. Tiada kritik dan masukan dari luar inilah yang membuat pemerintahan menjadi serba benar. Inilah yang memunculkan otoriterianisme rezim dan korupsi, kolusi, nepotisme merebak di Istana negara. Ajang memperkaya diripun menjadi budaya bagi kerabat penguasa. Ketiga perkara di mukalah yang membuat publik muak dan merasa dibohongi, maka tak heran jika masyarakat lintas profesi berpadu turun ke jalan membentuk barisan people power. 

Tetapi ingat, menurut pengamatan penulis sejauh ini arus ‘people power’ yang sukses mengganyang rezim korup hanyalah Indonesia. Kendati kehilangan arah reformasi, tetapi Indonesia tergolong negara yang transisi kepemimpinannya sukses dengan kemajuan sejengkal demi sejengkal. Filipina yang berulang kali ‘people powernya’ menjatuhkan pemimpin puncak karena tak mampu membawa perubahan berarti ternyata tidak mengalami reformasi total ketika berganti pemerintah. Maka pelajaran moralnya ialah dorongan pergantian rezim harus disertai dengan ide pembaharuan segala bidang. Jika tidak rakyat akan menuntut pemilihan ulang.

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI UNY

Rabu, 02 Februari 2011

Musyawarah KAMMI UNY


Jika organisasi ingin tetap eksis haruslah diiringi regenerasi. Petuah itulah yang hendak difahami KAMMI UNY dengan menghelat musyawarah komisariat (Musykom) yang bertempat di Masjid Nurul Ashri, 2-3 Febuari 2011. Adapun agendanya ialah laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya dan membentuk kepengurusan baru. Acara ini diawali stadium general yang dibersamai oleh Eko Prasetyo (aktivis Gerakan). Pembicara memaparkan dinamika kampus kekinian yang kian memasung kreativitas gerakan mahasiswa. “KAMMI kini menghadapi kondisi kampus yang kian pragmatis. Mahasiswa digiring studi oriented, gerakan mahasiswa dibuat mati kutu tak berdaya. Organisasi yang besar pastilah semakin kuat tekanannya. Dan inilah tantangan KAMMI sesungguhnya” ujarnya. 


Apa yang disampaikan penulis buku ‘Orang Miskin Dilarang Sekolah’ ini diamini peserta sidang. Diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS) di perguruan tinggi memang membuat mahasiswa ingin segera lulus secepatnya. Sebab, jika terlalu lama di kampus peserta didik tersandera biaya kuliah yang mahal. Tidak ada yang salah dengan fokus studi di kampus, tetapi jika hal ini menjadikan mahasiswa keblinger akan persoalan kemasyarakatan yang menjadi tuntutan pemecahan, tentu amatlah naif bagi seorang mahasiswa yang katanya dilabeli ‘agen of change’ dan intelektual ‘midle class’ ini. Kampus sebagai miniatur masyarakat ini haruslah mampu mendekatkan mahasiswa dengan problem pelik aktual, bukan malah menjauhkannya. Termasuk mengkritisi rezim Kabinet Indonesia Bersatu yang terjerembab umbar janjinya. 

Lebih lanjut Eko Prasetyo berkomentar, “Nilai lebihnya KAMMI memiliki kaderisasi sistematis dan basis massa yang kuat. Ini dapat dijadikan modal gerakan untuk melawan kuasa modal yang menyeret mahasiswa menjadi hedonis dan kesewenang-wenangan birokrat kampus yang ingin memberangus gerakan mahasiswa. Contohnya, di UGM mahasiswa diminta bayar parkir motor di kampusnya sendiri” cetusnya. Ke depan, mainstrem gerakan KAMMI UNY tetap konsisten mengusung pendidikan berkarakter profetik sebagai tawaran biasnya konsep pendidikan karakter yang masih abstrak. Pendidikan karakter berawal dari modelling atau cara meniru. Tentu objek yang dicontoh ialah manusia pilihan (the chosen people) yang sempurna dalam ucapan dan perilaku (karakter). Maka meneladani Nabi Muhammad sepenuhnyalah karakter tersebut dapat utuh diwujudkan kepada anak didik kita. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI