Senin, 11 April 2011

Menyoal Kasus PKS

Pascagonjang-ganjing koalisi dan isu reshuffle yang akrab ditelinga khalayak memang jauh panggang dari api. Tetapi diluar pemerintahan, dua partai politik yang disangka pemberontak mendapat serangan bertubi-tubi atas tak sefahamnya dengan pimpinan koalisi. Seorang politisi Golkar dilaporkan terlibat penilapan Blackberry. Di termin lain dua petinggi PKS juga diserbu isi negatif yang menyibukkan partai berjargon bersih, peduli, dan profesional ini. Selain, Anis Matta (wakil DPR RI) dan Luthfi Hasan Ishaq (Presiden PKS) juga dilaporkan Yusuf Supendi (mantan pendiri PK) ke KPK dengan tuduhan penggelapan uang 10 Milyar saat pilkada Jakarta dengan mencalonkan Adang Darodjatun. Menyeruak kasus Arifinto (anggota DPR Fraksi PKS) yang tertangkap kamera membuka situs porno. Kendati belum terbukti kebenarannya tetapi perkara di muka sangatlah menggangu kinerja mereka di legislatif dan menuai tanda tanya kader dan simpatisan tentang fakta duduk persoalannya. 


Memang hampir semua partai mengalami faksi dan problem internal, tetapi khusus PKS hal ini menjadi perhatian khusus dilihat dari momentum terjadinya gejolak internal ini yang diduga sebagai serangan balik atas kekritisan PKS menggunakan hak angket pajak di parlemen. Meskipun kecurigaan ini hanya spekulatif kendati dan belum empiris, tetapi bau operandi politiknya sangat kuat jika mencermati momentum terjadinya perkara. Ada kemungkinan ihwal ini merupakan respon oknum luar kepada partai berlambang padi dan bulan sabit atas manuvernya di DPR. 

Mengkaji kasus PKS, Burhanudin Muhtadi (pengamat politik LSI) mengemukakan dua alasan. Pertama, ada kemungkinan Yusuf Supendi dijadikan kuda troya atau person operasional untuk mengacaukan kesolidan partai yang lahir dari gerakan dakwah. Kedua, secara internal terjadi tarik menarik antara kubu harokah pendiri partai dengan kubu hizby selaku organ partai yang dapat melakukan negosiasi dan bermanuver di pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan khitoh partai. Tetapi ulah mantan pendiri partai yang melaporkan presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq ke Bareskim Polri atas kiriman pesan singkat bermuatan tuduhan Yusuf bekerja sama dengan BIN untuk mengjungkalkan partainya. Tindakan Yusuf selama ini hanya dipandang mendramatisasi keadaan untuk menuai simpati kader lain agar turut serta mendukung dirinya. Jika tak ingin memperoleh citra negatif, sebaiknya problem internal hendaknya dituntaskan segera. Ibarat baju keluarga kotor masak mau dicuci di rumah tetangga, kan tidak etis. Berbarengan dengan itu, sebagai partai Islam penjelasan ke kader tentang fakta empirisnya juga mutlak terus dilakukan jika tak ingin kehilangan suara konstituen yang selama ini berasal dari kalangan cerdik pandai di perkotaan dan desa. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Kamis, 07 April 2011

Refleksi Aksi dan Tantangan Masa Depan KAMMI

Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Usia memang tidak selalu menunjukkan tingkat kedewasaan. Tetapi bertambahnya usia setidaknya memperlihatkan beragam perubahan. Apalagi bagi sebuah gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang kini menginjak usia ke 13 tahun. Angka ini bukanlah bilangan sejenak, sulit pula disebut masa tua. Namun, setiap tahun selayaknya menjadi proses pematangan bagi gerakan ini. Jika dianalogikan pada fase pertumbuhan manusia, maka KAMMI sedang menghadapi proses akil baligh dan metamorfosa gerakan. Umur reformasi itulah rentang waktu organisasi ini ada. Sebab, KAMMI merupakan salah satu elemen penggerak kran reformasi sekaligus penumbang rezim otoriter. Sudah menjadi sunatullah semakin bertambahnya usia dan kapasitas gerakan, semakin kompleks pula medan tantangan yang dihadapinya. Oleh karenanya membutuhkan desain gerakan yang tidak sederhana. 

Rijalul Umam dalam bukunya “Capita Selekta KAMMI, Membumikan Ideologi Menginspirasi Indonesia” mengatakan sebelum menetukan peran strategis KAMMI hari ini dan masa mendatang, perlu juga melakukan teoritisasi trend gerakan dari segi gerakan mahasiswa dan kebangsaan. Hal ini dilakukan untuk membaca zeitgeist (jiwa zaman), agar bila telah terbaca tingkatan zamannya KAMMI dapat menentukan peran strategis apa yang dapat dieksekusi dan pada sisi apa dapat berkontribusi demi kemajuan negeri. Sejarah menunjukkan dinamika gerakan mahasiswa biasanya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Catatan penting sejarah KAMMI dalam sepuluh tahun pertama adalah gerakan ini mampu leading dalam penguatan aksi politik nilai yang membuatnya mendapatkan tempat terhormat di level nasional. 


Deretan isu kebangsaan mampu diusung KAMMI seperti pergantian rezim diktator, enam visi reformasi, hingga pemberantasan korupsi. Selain itu, muslim negarawan menjadi ”brand image” gerakan bagi peristilahan kepemimpinan nasional yang disuarakan hingga pemilihan presiden 2009. Prestasi ini patut dijaga dan kembangkan. Kini KAMMI jilid 2 (2009-2019) menghadapai tantangan berbeda dibanding satu dekade awal. Pemerintahan orde baru telah berganti menjadi pemerintahan demokratis yang hierarkis, dengan pengelolaan yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini medan tantangan KAMMI semakin kompleks, maka dibutuhkan kemasan gerak dan langkah yang variatif, sistematis, dan visioner. Jika dikaitkan dengan tren teoritisasi gerakan, kini KAMMI berada di fase rekonstruksi (2009-2014) atau aksi politik nilai. Konsekuensi logisnya ialah dibutuhkan rencana strategis yang matang dan visioner di tengah kontemplasi politik nasional dan global. 

Mengaca sejarah, tren gerakan mahasiswa pascakemerdekaan ialah melawan komunisme yang diperagakan kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tahun 1950-an adalah konsolidasi ummat secara ideologis. Terlihat gerakan mahasiswa dan pemuda menyolidkan barisan ummat dalam naungan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hingga M. Natsir terpilih menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Maka tak heran jika kala itu HMI dianggap sebagai underbow dari Masyumi. Kesamaan ideologis dan pemikiran membuat organisasi dikait-kaitkan dengan partai politik. Amin Sudarsono, dalam bukunya Ijtihad Membangun Basis Gerakan memaparkan sejarah orde lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan menggarap mahasiswa. HMI diduga sebagai alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII nya, PNI dengan GMNI nya, PKI dengan CGMI nya. 

Bagaimana dengan KAMMI, hendaknya pada masa kini citra KAMMI tidak selalu identik dengan gerakan dakwah berwujud parpol di Senayan sana. Penulis mengangguk dua kali komentar di muka. Hanya saja bagaimana mewujudkannya?. Bukankah pandangan citra negatif harus disulap menjadi citra positif, tentunya maksud sosial independen dalam paradigma KAMMI tanpa melupakan bagian dari rekayasa dakwah Islam dengan wilayah operasional yang berbeda. Kesamaan ideologi akan tetap mengendap dalam tempurung kepala, perihal sikap inilah yang harus tegas berbeda. Persoalan independensi KAMMI, haruslah menjadi perbincangan serius di mata kader dan pengurus. Apakah ingin menjadi underbow, invisible underbow, atau independen bro...?????///>#%* Inilah yang menjadi tantangan KAMMI ke depan. Tren berlanjut tahun 1960-an dengan membangun oposisi gerakan melawan antirezim otoriterisme. Di tahun ini kali pertama gerakan mahasiswa bekerja sama dengan militer untuk menumbangkan Soekarno yang berubah menjadi otoriter dengan demokrasi terpimpin. Tahun 1970 sampai 90-an tren isunya adalah kebangkitan pemikiran Islam hingga pelembagaan forum kajian Islam menjadi lembaga dakwah kampus yang muaranya melahirkan KAMMI. 

Era 2000-an gerakan mahasiswa berganti menjadi gerakan politik dalam arti dua hal. Pertama, aksi demonstrasi mahasiswa selalu berdampak perubahan kebijakan pemerintah. Kedua, ihwal ini salah satunya dipengaruhi mobilitas vertikal alumni gerakan mahasiswa ke pusaran kekuasaan. Relasi antara alumni dengan mantan institusi menarik untuk dikaji. Bagaimanapun tokoh alumni yang menjadi aktivis parpol pastilah memiliki sisa pengaruh kuat di mata adik angkatannya. Jika demikian kesan invisible underbow akan selalu mengemuka bagi organisasi apapun itu. Pada dimensi kebangsaan dan kenegaraan agenda yang perlu dibawa KAMMI ialah mentransformasikan demokrasi formal saat ini menuju demokrasi substansial. Intisari demokrasi tak sekadar pemilihan pemimpin secara langsung. Tetapi juga mengedepankan agenda pembangunan kesejahteraan masyarakat di kancah domestik maupun internasional. 

Sebagai organisasi masyarakat oposan pemerintah, KAMMI haruslah memastikan prosesi pemilihan pemimpin pusat hingga kepala daerah berlangsung dengan jujur dan adil serta terhindar dari money politic. Selain itu, KAMMI juga perlu mengawal kerja-kerja penguasa agar on the track sesuai konstitusi dan mengemban amanat rakyat. Sebab, standar minimal hidup di alam demokrasi ialah transparansi dan akuntabilitas semua warga termasuk penguasa. Oleh sebab itu, untuk mempermudah kerja dakwah perlu dilakukan pembagian wilayah kerja KAMMI. Konkretnya berubahnya sistem pemerintahan menjadi desentralisasi, membuat KAMMI turut melebur menyesuaikannya menjadi KAMMI komisariat di kampus dengan corak intelektual akademis, KAMMI Daerah di skup kabupaten kota dan KAMMI Wilayah provinsi dengan corak gerak taktis, praksis, dan strategis dengan fokus isu lokal kedaerahan. 

Di beberapa provinsi dan kabupaten, KAMMI sudah membentuknya kendati belum seantero Indonesia. Lantas yang langkah kedua yang wajib dipraktikkan ialah menggagas isu baru sebagai brand image atau marketisasi gerakan. Agar spirit gerak KAMMI tidak melulu reaktif atas isu atau wacana yang mengemuka tingkat nasional maupun lokal, tetapi lebih proaktif dengan mengumandangkan gugus gagasan baru yang menginspirasi sekaligus menjadi trendsetter gerakan. Semisal, corak gerak KAMMI Komisariat UNY sudah terbentuk image “pendidikan profetik” dan “syariatisasi kampus” atas jualan gerakan yang digiatkannya. Derivasi programnya dapat melalui pamfletisasi, diskusi, maupun menjadikannya grand thema Ospek atau acara kampus lainnya. Tentunya ihwal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan karakteristik kampus masing-masing. Sebagai contoh kajian pemikiran Islam dapat digarap kawan-kawan KAMMI UIN, Isu ekonomi syari’ah dapat menjadi objek kajian KAMMI Hamfara atau KAMMI UII Distrik FE. Isu pangan dan pertanian menjadi tawaran KAMMI Instiper, isu kemandirian dan alternatif energi dapat menjadi jargon gerak KAMMI UPN. 

Untuk teritorial Yogyakarta, keistimewaan Yogya menjadi concern isu gerakan KAMMI Wilayah dan KAMMI Kota serta KAMMI Daerah Sleman dengan pengawal Raperda pendidikannya. Ke depan agaknya isu advokasi anggaran perlu digalakkan KAMMI. Di level nasional LSM FITRA sudah mempraktikkannya dengan mengadvokasi keluyuran bertajuk studi banding anggota DPR. Hampir semua media massa merujuk data FITRA seputar pengeluaran dana anggota legislatif yang menilap uang rakyat. Karena hanya merekalah LSM tunggal dengan fokus isu advokasi anggaran. Di kawasan daerah dan kabupaten kota agaknya KAMMI perlu membuatnya sebagai bagian dari kontrol sosial pemerintah daerah yang kini marak penyalahgunaan anggaran lantaran tidak transparan dan akuntabel segala programnya. Bukankah Peter Drucker pernah berujar “langkah terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan”. John Naysbitt pun tak mau kalah berpetuah “keberhasilan bukan hanya didapat dari menyelesaikan masalah, melainkan juga mengeksploitasi peluang”. Mari bergerak tuntaskan perubahan. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman 

Pemerintah Harus Tegas Sikapi Ahmadiyah

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Seruan dari Forum Umat Islam (FUI) agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah atau membentuk agama baru yang tak digubris pemerintah pusat, justru mendapat respon positif dari beberapa pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur dan Banten secara tegas melarang beredarnya ajaran Ahmadiyah melalui surat keputusan gubernur yang dikeluarkannya. Kebijakan ini agaknya harus diikuti provinsi lainnya untuk menjaga aqidah umat agar tidak terkontaminasi ajaran tak sesuai syariat. Tentu tanpa bermaksud generalisir, lantaran Ahmadiyah terpecah menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadiyan yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad (MGA) Nabi baru dan Ahmadiyah Lahore yang hanya memandang MGA sebagai mujadid atau pembaharu. 

Setidaknya ada dua perspektif kenapa aliran Ahmadiyah harus dilarang. Pertama perspektif teologis, sejak awal berdirinya di India aliran ini memang sudah cacat dari lahir. Lanskap sosialnya kala itu umat Islam India sedang mengusir Inggris yang menjajah. Melihat kuatnya perlawanan serdadu Islam, Inggris melakukan politik devide et impera untuk memecah soliditas tentara Islam dari dalam. Dipilihlah MGA (1839-1908) sebagai tokoh pemecahnya. Menurut Abul Hasan Ali An Nadwi (Ulama India), MGA memfatwakan penghapusan syariat jihad, karena tokoh berpengaruh ihwal ini membuat semangat sebagian pejuang muslim luntur. Selain itu, menurut penelitian INSIST ia juga menggagas kitab Tazkirah sebagai rujukan dan ada beberapa ayat Al Qur’an yang dipelintir. Maka tuntutan bubarkan Ahmadiyah bukanlah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan sebagai hukuman bagi organisasi yang menista aqidah Islam. Riset WAMY (Lembaga Pengkajian dan Penelitian) mengungkapkan, Qadiyanisme (demikian WAMY menyebutnya) merupakan gerakan yang muncul pada tahun 1900 yang dibidani penjajah Inggris di benua India dengan tujuan merusak dan menjatuhkan umat Islam dari segi ajarannya sendiri. 

Khusus dari segi jihad sehingga mereka tidak menghadapi penjajah Inggris dengan mengatasnamakan Islam. Corong gerakan ini adalah majalah “Religion” yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. (Hal 301, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Penerbit Al i’tishom). Adian Husaini dalam buku “Inilah Ahmadiyah” mengukip buku Dr. Ihsan Ilahi Zhahir “Al Qadiyaniyyah: Dirasat wa Tahlil” diterjemahkan Pustaka Darul dengan judul “Mengapa Ahmadiyah dilarang?”. Buku ini mengungkap sosok MGA dari sumber primer dokumen Ahmadiyah. Dikisahkan MGA pernah berkata “tidak diragukan lagi bahwa dilahirkan di tengah-tengah umat Muhammad saw, beribu-ribu orang wali dan orang pilihan tetapi tak seorang pun sama denganku.” Bahkan dengan bejatnya MGA memelintir firman Allah dengan menyatakan “Akulah yang dimaksud dalam firmanNya, “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam.” (Q.S. Al Anbiyah: 107).

Di bab lain MGA juga mengemukakan loyalitasnya kepada kolonial Inggris “kuhabiskan mayoritas masa hidupku untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Britania dengan menentang ajaran jihad. Aku masih terus berupaya demikian hingga kaum muslimin menjadi setia dengan ikhlas kepada pemerintah ini.” Maka teranglah jika Ahmadiyah dikatakan sesat. Kedua perspektif sosio-yuridis, tidak tegasnya pemerintah pusat untuk membubarkan Ahmadiyah menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak cukupkah bukti fatwa Rabithah Alam Al Islami, MUI, UN, dan Muhammadiyah tentang Ahmadiyah yang melecehkan agama Islam dan melanggar SKB. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam fatwanya tahun 1937 mengutip pesan baginda Nabi akan kedudukan Muhammad sebagai Nabi terakhir “Di antara umatku akan ada pendusta-penduta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi.” (H.R. Ibnu Mardawaihi, dari Tsauban). Di termin lain, rezim SBY tidak sedikitpun bertindak karena takut dipandang melanggar HAM oleh dunia internasional. Reputasi Indonesia yang tergolong sukses mengembangkan demokrasi akan luntur jika Ahmadiyah ditiadakan. 

Rumah Pensil Publisher

Pemerintah agaknya juga sengaja memelihara Ahmadiyah sebagai alat politik untuk memecah belah kekritisan umat Islam. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM) berkomentar, tindakan aparat penegak hukum polisi dan kejaksaan agung dalam bentuk penangkapan atau penahanan pimpinan aliran sesat secara sosio-yuridis merupakan kebijakan sangat tepat dan berdasar. Hal ini diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (Perpres ini ditingkatkan menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pasal 1 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.” Pasal 2 ayat 1 berbunyi “barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat 2 menegaskan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi aliran tersebut sebagai organisasi aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Jadi fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok yang menyimpang dari ajaran Islam, bukanlah pelanggaran HAM. Memilihara ajaran agama adalah juga bagian dari menjalankan HAM. Kita perlu memahami, bahwa HAM dan kebebasan akan berakhir, ketika ada sistem hukum mengaturnya. (Hal 38, Inilah Ahmadiyah, BAB Pelarangan Aliran Sesat Tidak Melanggar HAM, Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; 2008). 

Mengacu norma di atas, maka jelaslah Ahmadiyah dengan MGA nya yang mengaku Nabi baru merupakan aliran sesat yang harus ditindak tegas dan dibubarkan atau membentuk aliran baru tanpa embel-embel Islam. Bukankah Allah berkata “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al Kafirun: 5). Khalayak dapat mencermati latar terjadinya dua kasus Cikeusik dan Pandeglang yang berselang dua hari. Penulis menganalisa, kejadian di muka adalah respon pemerintah kepada ulama dan rohaniawan yang sebelumnya mengkritisi dan menggugat kebohongan pemerintah. Terkesan dua kasus dengan modus yang sama ini memang disetting agar tokoh agama fokus mengurus umatnya ketimbang mengontrol kebijakan pemerintah. Akhirnya jika pemerintah pusat tak serius menghapus Ahmadiyah, kita berharap kesigapan pemerintah daerah untuk melarang peredaran Ahmadiyah lebih luas. Semoga. 

Vivit Nur Arista Putra 
Santri Ponpes Takwinul Muballighin 

Analisa Teror Bom Buku


Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Teror bom buku yang menggunjang Indonesia mencuatkan ragam spekulasi tentang apa motif dibalik semuanya dan siapa dalang penggeraknya. Sejak tahun 2000 modus serangan memang bervariasi mulai dari memakai mobil, tas ransel, hingga buku disertai pesan yang tertera dijudulnya. Bom berselimut buku terbilang unik dan sederhana, apakah memang disetting demikian mengingat sasaran adalah tokoh kutu buku. Atau kemampuan finansial tak mencukupi sehingga cukup membungkus bom dengan buku. 


Menurut analisa Soeripto (Pengamat Intelijen) muncul bom buku setidaknya ada tiga motif yang melatari pelaku. Pertama, untuk mengalihkan isu politik yang sedang menyerang istana atas pemberitaan dua media massa The Age dan The Sidney Morning Herald dari Australia. Kedua, bom skala kecil ini disinyalir hanyalah ancaman atau psy war untuk mengabarkan kepada dunia internasional bahwa aktivitas terorisme masih ada di Indonesia. Ketiga, ada kemungkinan ini hanya rekayasa untuk memberitahukan kepada negara barat dan Amerika Serikat bahwa detasemen antianarki bentukan anyar pemerintah memiliki tugas memberantas teror sehingga membutuhkan suplai dana lebih dari donatur barat. Jika dicermati ketiga objek sasaran seperti Ulil Abshar Abdala (Pendiri Jaringan Islam Liberal), Goris Mere (mantan petinggi BIN), Soeryokoesoemo (Ketua pemuda Pancasila), Ahmad Dhani (Personel band Dewa 19 yang dianggap antek Yahudi). Terkesan pelaku mencari efek dari news value (nilai berita) yang dapat membentuk persepsi publik. Yakni khalayak akan mengira pelakunya adalah orang lama. 

Dampaknya adalah umat Islam selalu menjadi kambing hitam jika ada kasus kekerasan dan terorisme. Karena secara sederhana, pengamat terorisme dan mabel Polri dapat menyimpulkan pengirim paket buku adalah kalangan Islam fundamentalis. Padahal masih berbagai kemungkinan apakah kasus ini dimotori aktor lama atau baru. Jika pelaksananya tersangka lama tentu akan memberatkan persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Jika pelaku baru lantas siapa? Apakah ini pekerjaan rapi tanpa jejak ini dilakukan intelijen? Benarkah demikian, lantaran setiap ada perkara yang menyerang istana selalu muncul kasus baru untuk mengalihkan isu. Apa konspirasi besar dibalik semua ini? Semoga kita dapat mengkritisi tanpa mudah terbawa isu petinggi elite negeri ini. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute 

Senin, 14 Maret 2011

Membangun Spirit Kenabian

Dimuat di Resensi Buku Kedaulatan Rakyat, 13/3/2011 

Judul : Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 
Penulis : Syarifuddin Jurdi dkk 
Cetakan : 1, Januari 2011 
Penerbit : Education Center BEM Rema UNY Tebal : 148 Halaman 
Harga : Rp. 30.000,- 


Nilai-nilau luhur universal agaknya mulai luntur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demoralisasi mendera generasi muda, krisis katakter dan identitas menggejala warga negara. Ihwal ini dibuktikan dengan realitas masyarakat Indonesia yang semakin memprihatinkan. Pertama, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 2-2,6 juta kasus aborsi atau teradi 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan, 30% diantaranya dilakukan penduduk berusia 15-24 tahun. Kedua, data badan narkotika nasional Februari 2006 menyebutkan dalam 5 tahun terakhir, jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3% atau bertambah 3100 kasus pertahun. Ketiga, Lembaga Transparansi Internasional tahun 2006 melansir prestasi Indonesia dengan maraknya kasus korupsi pada ranking 137 dari 159. Penyakit sosial di muka menunjukkan gagalnya output pendidikan Indonesia. 

Rumah Pensil Publisher

Maka tak heran dalam peringatan Hardiknas setahun silam, Mendiknas berpidato tentang pentingnya pendidikan karakter yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2011 dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Muhammad Nuh memaparkan tidak menyatunya ilmu yang dimiliki dengan sikap keseharian, dengan menyindir penegak hukum yang seharusnya menerapkan hukum dengan adil malah diadili. Pendidik yang selayaknya mendidik malah dididik. Pejabat yang berkewajiban melayani masyarakat malah minta dilayani. Hal ini merupakan fenomena buruk yang bersumber pada karakter. Merespon gagalnya proses pendidikan inilah muncul buku Pendidikan Profetik Revolusi Manusia Abad 21 sebagai wujud tawaran baru dalam khazanah pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab soal tetapi hal itu diperoleh melalui kecurangan. Sehingga yang didapat hanyalah nilai akademik tanpa disertai moral etik (hal 12). 

Diberlakukannya ujian nasional di satu sisi memancing pelajar berpikir pragmatis dengan orientasi lulus, tanpa memedulikan cara yang ditempuh untuk mencapai hasil itu. Pengembangan gagasan profetik ke bidang pendidikan merupakan langkah tepat untuk mendesain proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan transfer ilmu saja, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan moralitas dan kepribadian bangsa (hal 38). Atau secara sederhana dalam membentuk karakter diperlukan modeling (objek yang ditiru) agar pengembangan karakter yang diinginkan mempunyai orientasi jelas. 

Maka rujukannya adalah Nabi sebagai teladan paling lengkap dan sempurna dalam berinteraksi di dua dimensi kehidupan yakni kehidupan dalam tataran keTuhanan maupun kemanusiaan. Filosofinya tugas Nabi ialah menyempurnakan akhlah (karakter) manusia. Sebab, jatuh bangunnya pribadi maupun bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya. Pelajaran moralnya jika Nabi dicerahkan oleh wahyu, maka kita selaku pelajar dan mahasiswa tercerahkan melalui ruang kelas dan kampus. Maka selayaknyalah kita meneruskan peran Nabi di muka bumi ini. Bagi anda kalangan pendidikan maupun intelektual buku ini layak anda baca. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Jumat, 11 Maret 2011

Membaca Arah Reshuffle Kabinet

Oleh: Vivit Nur Arista Putra 

Sepekan terakhit kata reshuffle begitu menggema di telinga masyarakat Indonesia. Khalayak menanti dengan ketegasan presiden untuk membuktikan ucapannya dalam pidatonya tentang pemberian sanksi bagi partai tak sepaham dengan koalisi. Pidato politik tersebut disampaikan sehari setelah keputusan sidang paripurna di DPR yang menyatakan menolak diberlakukannya hak angket pajak. Bukanlah hasil yang dikomentari presiden SBY, melainkan membelotnya dua partai mitra koalisi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mendukung disahkannya hak angket untuk mengusut tuntas mafia pajak.


Padahal gugus gagasan awal digulirkannya hak angket dilontarkan politisi partai Demokrat. Faktanya menjelang perhelatan voting, sikap inkonsisten muncul dan berbalik menolak hak angket mafia pajak. Banyak alasan dikumandangkan seperti tidak efektifnya hak angket dsb. Tetapi itu hanyalah dalih. Dibalik keputusan tersebut tentu menimbulkan tanda tanya publik, kenapa partai berjargon nasionalis religius ini mendadak pindah haluan tidak menyetujui hak angket pajak. Apakah untuk mengamankan kekuasaan? Inilah yang sedang diduga khalayak. Memang secara kalimat verbal, pidato presiden selaku pimpinan lokomotif koalisi tidak mengarah langsung ke partai beringin dan partai ka’bah berlambang padi dan bulan sabit. Ini menjadi tipikal SBY yang selalu berkata multitafsir dan tidak mengucapkan kesimpulan tegas. Tetapi mencermati manuver politik keduanya dalam beberapa kasus seperti Centurygate dan perkara terbaru hak angket pajak, sangatlah terang posisi keduanya sedang terancam. Hanya soal waktu, momentum, dan lobi-lobi politiklah yang akan menentukan. Sebab, dalam pidatonya SBY mengatakan akan diberikan sanksi nanti. Ini pertanda masih ada komunikasi politik intens antar ketiganya untuk duduk bersama saling mengevaluasi, menginventarisir masalah, dan mengeluarkan policy (kebijakan) yang bisa jadi win-win solution (memuaskan ketiganya) atau malah win-lose solution (mengecewakan salah satu pihak).

Maka tak heran jika Aburizal Bakrie dan Anis Matta menyatakan siap diluar berperan sebagai oposisi atau masih dipertahankan berkoalisi jika presiden incumbent memberikan opsi diantara keduanya. Menjadi pertanyaan apakah pidato Pak Beye hanya sebuah gertakan untuk menggaungkan isu anyar dalam konstelasi politik nasional atau pernyataan serius lantaran geram terhadap tindakan kedua partai di muka yang menurutnya melanggar sebelas butir code of condact (tata kesepakatan berkoalisi). Jika peringatan serius beranikan SBY untuk mengambil kebijakan reshuffle dengan berbagai kemungkinan terburuk? Penulis berusaha untuk mengkalkulasi jika perombakan kabinet konkret dilaksanakan. Pertama, secara matematika politik jika Golkar dan PKS depak, pemerintah akan kehilangan dukungan di parlemen 29 persen. Atau setara dengan berkurangnya 164 suara, dengan rincian Golkar 107 anggota dan PKS 57 anggota. Ini angka yang sangat besar dan jika kedua bergabung dalam kelompok oposisi akan semakin kuat dan mampu mengendalikan parlemen. Maka terpangkasnya besarnya nominal dukungan di legislatif membuat partai pemerintah melakukan komunikasi politik dua arah dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan partai Gerindra untuk bergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab). 

Namun, sebagaimana dituturkan Megawati secara tegas dan ideologis PDI-P agaknya tetap menjadi partai oposan bersama rakyat untuk mengawal pemerintah. Sementara Gerindra mengicar posisi Menteri BUMN dan Pertanian sebagai prasyarat terlibatnya dalam pasukan koalisi. Hal ini tentu membuat Demokrat menimang-nimang karena daya tawarnya terlalu tinggi. Jika partai pimpinan Prabowo tetap berkeuh menolak bersanding dalam koalisi, Demokrat akan mencari format lain koalisi dengan menyingkirkan salah satu dari dua parpol pemberontak. Kedua, jika yang ditalak adalah Golkar amatlah tidak mungkin karena selain kaya pengalaman bergelut dalam singgasana kekuasaan, partai jagoan di era orde baru ini juga memiliki basis massa kuat di DPR. Selain itu, para kadernya yang menjadi menteri menunjukkan kinerja yang tak terlalu buruk selama setahun terakhir. Jika tetap diputus tali kekerabatannya ini menyuratkan arogansi politik partai Demokrat dan tak rasional. 

Ketiga, jika PKS yang dicerai SBY mengalami beban moral lantaran partai berbasis massa kalangan terdidik ini adalah partai pertama yang diajak berkoalisi dan bercucur keringat deras mengantar SBY duduk di RI 1. Bahkan paduka presiden menjulukinya backbone (tulang punggung) koalisi bersama partai Demokrat. Disingkirkannya PKS akan sangat bergantung kesepakatan politis masuk tidaknya Gerindra dalam bahtera koalisi. Di satu sisi publik dan mitra koalisi akan sedikit kecewa karena Gerindra tak berkeluh keringat berkontribusi membawa SBY-Boediono menjadi petinggi republik ini, justru kala itu malah menjadi lawan politik. Tetapi semua dapat terjadi, jika melihat Golkar yang semula rival politik kini menjadi sahabat politik pemerintah. Inilah resiko politik transaksional. Akar masalahnya ialah pondasi koalisi tidak dibangun dengan orientasi demi kesejahteraan rakyat, tetapi justru bagi-bagi kekuasaan untuk kenyamanan SBY semata. Maka pemerintah dan partner koalisi akan saling sandera karena saling terjerat kepentingan.

Penulis sependat dengan pengamat politik J.Kristiadi bahwa pidato politik presiden tak ada urusannya dengan rakyat. SBY harus menjelaskan ke publik apa tujuan reshuffle? Apakah merupakan agenda mendesak yang kaitannya dengan kemaslahatan pembangunan di daerah. Atau sekadar menaikkan tensi politik saja agar terlihat serius mengurus umat. Terlepas dari isu pergantian jajaran menteri, tentu kita berharap agar para menteri tetap fokus bekerja untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Reshuffle Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Dimuat di Fokus Anda Republika, 9 Maret 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 


Koalisi super jumbo dalam wadah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menjadi tak menentu, setelah SBY berpidato pascarapat paripurna di DPR yang menyatakan pemberian sanksi bagi mitra koalisi yang tak komitmen mendukung pemerintah. Kalimat ironi ini tentu tertuju pada Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang sehari sebelumnya menyatakan dukungan terhadap hak angket pajak di parlemen. Menurut penulis, reshuffle harus dijelaskan ke publik secara logis. 


Jika pergantian kabinet hanya untuk mengamankan pemerintahan tentu hal ini amatlah pragmatis. Khalayak sama-sama tahu bahwa penggagas angket pajak berasal dari internal Partai Demokrat yang didukung partai lain termasuk Golkar dan PKS. Perkembangan selanjutnya, Demokrat yang awal mula berkoar menjelang pengambilan voting tak konsisten menindaklanjuti angket pajak. Justru malah balik menolak. Ihwal ini menimbulkan tanda tanya publik, apa alasan partai SBY ini menolak? Kesan inilah yang dibaca masyarakat luas, bahwa isu reshuffle yang dilontarkan presiden sehari setelah rapat paripurna di DPR hanya untuk menaikkan tensi politik agar pemerintah terlihat serius mengurus rakyatnya. Padahal berdasarkan survei Republika (Edisi Senin, 07 Maret 2011) masyarakat tak begitu peduli dengan bongkar pasang rezim. Karena reshuffle tak menjamin pemerintahan akan semakin baik.

Kendati demikian SBY segera mungkin dinanti ketegasannya, apakah ingin merombak mitra kerjanya di eksekutif atau tidak. Analisanya, agaknya presiden incumbent ini masih mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, secara matematika politik jika Golkar (107 anggota) dan PKS (57 anggota) ditendang, maka pemeritah akan kehilangan dukungan 164 suara. Lobi-lobi politik pun dilakukan ke PDI-P untuk terlibat bersama koalisi guna menanggulangi suara yang hilang. Kedua, jika Golkar yang dipangkas Demokrat akan kehilangan dukungan sangat besar yaitu 107 suara. Selain itu, partai beringin ini juga kenyang pengalaman di kekuasaan.

Ketiga, jika PKS yang diusir, beban moral tetaplah ada karena partai dengan basis kuat di kalangan menengah ke atas ini adalah pendukung pertama koalisi. Bahkan SBY pun menjuluki Demokrat dan PKS sebagai backbone koalisi. Pertimbangan lainnya ialah masih menunggu tawar menawar dengan Gerindra yang digadang-gadang masuk ke setgab sebelum mendepak PKS. Jika partai pimpinan Prabowo masuk akan melukai partai pengusung koalisi sejak awal lantaran Gerindra tak memeras kringat untuk mengatar SBY ke RI 1. Gerindra dipandang pragmatis dan hanya berorientasi jabatan karena sebelumnya adalah lawan politik SBY.

Kalangan akar rumput ingin bergegas mendengar keputusan SBY karena perkara reshuffle jelas tak ada kaitannya dengan agenda kesejahteraan rakyat. Reshuffle pun belum tentu menjamin program kerakyatan dilakukan semakin baik. Kita berharap para Menteri tetap fokus pada program kerja mereka tanpa terpengaruh arus politik reshuffle yang saling sandera antara presiden dan partai koalisinya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Peneliti Transform Institute  Universitas Negeri Yogyakarta