Kamis, 19 Januari 2012

Strategi Tingkatkan Profesionalisme Guru

Dimuat di Suara Karya, Rabu, 18 Januari 2012 

Perhatian pemerintah terhadap guru dengan meningkatkan kesejahteraan guru membuat khalayak ramai berlomba untuk menjadi pendidik. Dengan menjadi guru, mereka memimpikan gaji tetap per bulan dan harapan dapat tunjangan jika lulus sertifikasi nanti. Malangnya, orientasi menjadi guru kini menjadi standar ganda, antara kompetensi dan kompensasi, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1 ayat 1).

Rumah Pensil Publisher


Mendidik adalah panggilan jiwa, yang membutuhkan ketulusan nurani dan kecerdasan intelektual untuk mengkreasikan proses pewarisan ilmu ke peserta didik. Jika seseorang, tujuan awal menjadi guru berobsesi materi (meskipun tidak dipungkiri setiap orang membutuhkannya), hal ini akan memengaruhi pola fikir dan pola mengajar ke anak asuhnya. Proses transfer ilmu dalam keseharian pun akan terasa melelahkan karena hanya menanti gaji di akhir bulan. Padahal, guru tak sekadar demikian, terlalu pragmatis jika orientasinya melulu seperti itu. Jiwa, raga, waktu, dan upaya seorang guru dibutuhkan layaknya ibu yang mendidik anak kandungnya tanpa pamrih. Tanpa menanti-nanti upah setiap bulannya. 

Di satu sisi, ikhtiar pemerintah via sertifikasi guru dan uji kompetensi dengan target seluruh guru profesional pada 2015 patut diapresiasi. Tetapi, pasca proses itu, belum begitu nyata tanda profesionalisme yang digadang-gadang selama ini. Bahkan kritik menyapa dari petinggi negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluhkan besarnya gaji guru tanpa disertai profesionalisme pasti. Berpijak pada persoalan tersebut, Pusaka Pendidikan dan KMIP UNY bermaksud mengadakan seminar regional pendidikan beryajuk "Strategi Meningkatkan Profesionalisme Guru" bersama Prof Djemari Mardapi PhD (Kepala BSNP) dan Ahmad Zaenal Fanani (Ketua PGRI DIY) pada Kamis, 19 Januari 2012 pukul 08.00-12.00 WIB di Ruang Abdullah Sigit Hall Lt 3 FIP UNY. Bagi para peserta dikenakan kontribusi Rp 15.000 per orang. Pendaftaran dapat dilakukan ke Iqbal (081802635614) dan Zikrina (085742472246). Pastikan Anda terlibat dan ajak relasi lainnya ya. 

Vivit Nur Arista Putra 

Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan

Jumat, 06 Januari 2012

Mahasiswa Pribadi Terpilih


Dimuat di Suara Merdeka, 5 Januari 2012


Mahasiswa membawa serentetan peran dan tuntutan sebagai konsekuensi logis status. Agen of change, iron stock, dan moral force, adalah tuntutan massa saat berbicara mahasiswa. Ihwal tersebut memang tidak muncul begitu saja, perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa telah melahirkan konsep peran itu.

Gerakan mahasiswa masa lampau telah banyak mempengaruhi pengambil kebijakan di negeri ini, bahkan suksesi kepemimpinan 1998 tak lepas dari aksi mahasiswa. Maka tak heran jika mahasiswa di era reformasi dinisbatkan menjadi pilar kelima demokrasi.

Kini, bukanlah hal bijak mengingat masa lampau dan bersembunyi di balik kebesaran status. Sebab, bukan sandangan status yang membuat mahasiswa berarti, tetapi kesadaran terhadap tuntutan dan harapan di balik julukan tersebut yang menentukan (Sudjatmika Dwiatmaja; 2005).

Tantangannya ialah justru datang dari pihak kampus sendiri sebagai arena belajar mahasiswa.

Sekarang perguruan tinggi tak seperti dulu, di masa kini kampus justru menjauhkan mahasiswa dengan realitas. Sebagai contoh kebijakan Sistem Kredit Semester (SKS) adalah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) gaya baru.

Imbasnya mahasiswa menjadi fokus akademik dan berkutat pada teori pelajaran serta berlomba cepat lulus lantaran didera mahalnya biaya perkuliahan per semesternya. Tidak salah memang, tetapi jika sikap ini justru menimbulkan ketikpekaan terhadap kondisi sosial, mahasiswa malah menjadi kelompok rentan yang harus ditolong untuk disadarkan.

Menjadi insan pembelajar adalah keniscayaan. Sebab, mahasiswa harus mencerahkan dirinya sebelum membelajarkan lingkungan. Maka sense of crise pun menjadi karakter wajib dengan realitas sosial menjadi bacaan keseharian dan solusi sosial menjadi tuntutan pemikiran.

Mahasiswa berada pada posisi pengawal dan transformasi nilai. Berpijak dari pikiran inilah mahasiswa harus matang secara spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas, sebagai bekal untuk-meminjam istilah Paulo Freire-memberikan kesadaran (contientizacao) yang berorientasi perbaikan umat.

Tuntutan di muka hanya akan menjadi jargon dan retorika kosong, tanpa cara pandang dan paradigma profetik di kepala. Harus dipahami analog mahasiswa faktual segaris sepemaknaan dengan nabi. Jika nabi tercerahkan oleh wahyu, maka mahasiswa tercerahkan oleh ruang kampus. Mereka adalah the choosen people (pribadi terpilih) yang menggenggam tugas sejarah untuk melakukan perbaikan kehidupan. Begitulah mahasiswa seharusnya, memberikan pencerahan ke khalayak.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Rabu, 14 Desember 2011

Demokratisasi Keempat

Dimuat di Lampung Post, 17 November 2011
Oleh: Vivit Nur Arista Putra 



Sebulan terakhir, Suriah menjadi pusat perhatian dunia. Uni Eropa dan PBB mengecam Presiden Abdullah Saleh karena menyerang demonstran. Hal ini terlepas aksi represif rezim yang membunuh ribuan demonstran antipemerintah. Peristiwa ini serupa dengan tragedi Tiananmen 1989 di China, di mana mahasiswa dan rakyat diberantas habis oleh negara. Jika diusut problem krisis politik di Timur Tengah ada dua. Pertama, tidak adanya demokratisasi bagi setiap warga negara. Suara pubik disumbat sehingga tak ada kritik dan kontrol sosial terhadap kekuasaan. 

Imbasnya, Presiden Saleh pun merasa serbabenar terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk membungkam media dan oposisi. Jika demikian, negeri pengekspor minyak ini lebih kejam dari Pemerintahan Firaun. Dalam catatan Komisi HAM PBB lebih dari 3.000 demonstran dibunuh. Masyarakat turun ke jalan lantaran menuntut mundur penguasa zalim dan menindas rakyatnya. Kedua, distribusi kekayaan tidak merata. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat lebar antara elite politik dengan masyarakat akar rumput. Inilah yang membuat kalangan masyarakat menengah ke bawah menjerit karena tidak adanya keadilan. Berbeda dengan Oman yang lebih terkendali karena secara ekonomi kebutuhan masyarakat tercukupi. Bayangkan, negara di kawasan teluk ini hanya memiliki sekitar 300 ribu penduduk, tetapi residennya (warga asing yang domisili di Oman) mencapai 1,2 juta. Tentu, dari sektor inilah keuangan negara dapat tertolong sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. 

Samuel P. Huntington dalam Third Wave Democratization mengemukakan yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah saat ini adalah gelombang demokratisasi keempat dalam sejarah dunia. Selain kedua faktor tersebut, akar masalah lainnya ialah lamanya presiden berkuasa dapat membuatnya lupa diri dan mamasung regenerasi. Sehingga krisis kepemimpinan pun muncul dan muaranya akan terjadi politik dinasti. Efek jangka panjangnya demokrasi sekadar prosedural karena pergantian puncak pemimpin hanya berputar di antara klan atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan incumbent. 

Alhasil, jika pemimpin alpa kompetensi, bagaimana dapat mencukupi kebutuhan rakyat secara merata. Di sini kita dapat memetik pelajaran moral, yakni belum terintegrasinya demokrasi dengan kesejahteraan. Kini menjadi tantangan baru bagi negara Timur Tengah dan Afrika untuk membuka keran demokrasi. Begitu juga tokoh calon pengganti, agar jangan hanya ngotot menuntut suksesi tetapi tak memiliki kemampuan untuk mengisi. Reformasi total terhadap rezim menjadi syarat terbentuknya pemerintahan baru yang menjadi harapan baru bagi masyarakatnya. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Perdebatan RUU Pemilu

Dimuat di Lampung Post, 7 Desember 2011. 
Oleh: Vivit Nur Arista Putra

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum untuk mengatur parliementary treshold (PT) atau ambang batas partai yang lolos ke parlemen, secara tradisi pembahasannya sejak Pemilu 1999 hingga kini selalu alot dan menuai polemik. Setidaknya sampai saat ini, publik dapat mengidentifikasi dua kepentingan di balik tawaran angka PT ke depan. Pertama, partai besar, seperti Golkar dan PDI Perjuangan ngotot menawarkan 5% sebagai limit maksimal dengan argumentasi untuk mengefektifkan pemerintahan dan memperkokoh sistem presidensial. Rasionalisasinya di parlemen harusnya ada 3-4 partai saja, sehingga sikap politiknya jelas (tidak abu-abu) dan pemerintah tak terjebak pada persoalan urusan internal partai, seperti kontrak koalisi yang menguras waktu dan memalingkan orientasi mengurus rakyat. 


Inilah yang selama ini terlihat di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Mitra koalisi sikap politiknya malah berseberangan dengan pemerintah karena masing-masing mengaku mempunyai kontrak politik yang jelas dengan presiden, bukan dengan partai demokrat. Khalayak khawatir jika ini terus terjadi maka akan merusak sistem demokrasi yang selama ini sedang bertumbuh dewasa di negeri ini. Kedua, karena menyangkut representasi atau perwakilan masyarakat yang heterogen di Indonesia, standar PT di atas akan memangkas jutaan suara rakyat yang disalurkan kepada partai politik yang tak lolos PT. Nah, persoalannya apakah suara itu dapat dilimpahkan ke partai lain yang lolos PT dan dapat dikatakan representasi yang legal dari kalangan masyarakat terkait? Tentu masyarakat akan menolak. 

Argumentasi partai menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, dan Gerindra ialah tetap bertahan pada 2,5%-3% saja agar suara rakyat yang disalurkan ke partai politik kendati tidak lolos PT, tetapi suara yang hangus tidak cukup banyak. Dengan patokan 2,5%, ada 18 juta lebih suara yang hangus, apalagi dengan passing grade baru 5%. Pasti banyak suara pemilih yang terbakar dan tak mampu menyampaikan aspirasi daerahnya kepada partai terkait karena tak lolos PT. Tendensinya ialah partai besar dengan standar PT 5% dapat memberangus partai kecil yang suaranya tak konsisten di lingkup daerahnya. 

Sebaliknya partai kecil bertahan pada kisaran 2,5%-3% agar tetap eksis dan terlibat koalisi atau mengontrol pemerintah di parlemen. Kedua nalar di muka setidaknya dapat menjadi pertimbangan bersama, termasuk partai pemerintah (Demokrat) yang menawarkan nilai tengah, yakni 4% untuk berkompromi, menganalisis sebelum berkonklusi tentang aturan PT yang jelas. Bagaimana agar dapat merepresentasikan akar rumput sekaligus memperbaiki tatanan sistem demokrasi dan pemerintahan semakin baik. Selaku warga negara, mari kita kawal pembahasan PT ke depan untuk Indonesia lebih baik. Tabik. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Selasa, 06 Desember 2011

Menanti Kiprah Ketua KPK

Dimuat di Jagongan, Harian Jogja, 5 Desember 2011 


Setelah melalui masa seleksi dan fit and proper test yang panjang, akhirnya komisi III DPR RI memilih Abraham Samad sebagai ketua baru KPK. Aktivis Anti Coruption Comitte (ACC) asal Makassar ini memperoleh 43 suara dari 56 anggota dewan. Hasil ini mengejutkan mengingat pada fase pengerucutan dari delapan calon yang disaring menjadi empat, sempat bersaing ketat dengan Bambang Widjajanto yang lebih populer. Selain itu, ketua PPATK, Yunus Husain justru tidak termasuk pimpinan kolektif kolegial KPK yang baru masa karya 2011-2015. Tokoh lain yang terpilih memimpin KPK ialah Zulkarnain (latar belakang jaksa), Adnan Pandu Praja (advokat), dan Busyro Muqqodas (akademisi dan pendiri Pusham UII). 


Kini publik akan menanti janji Abraham yang lantang akan mundur dengan sendirinya, jika masa satu tahun tak mampu tuntaskan kasus Century. Beberapa terobosan yang dijanjikan ialah akan merekrut penyidik independen berasal dari kampus atau kalangan profesional ketimbang dari kejaksaan atau kepolisian. Tentunya khalayak mengharapkan tanpa mengesampingkan kedua, karena sejatinya KPK ialah lembaga ad hoc yang dibuat ketika kepercayaan rakyat turun pada polisi dan jaksa khususnya dalam memberantas korupsi. Perlu diingat lembaga ad hoc dapat dibubarkan kapan saja jika dua otoritas hukum menunjukkan kinerja baik dengan banyaknya koruptor dijerat. Maka skala prioritas yang dicanangkan ketua KPK baru semoga tak diukur dari kasus yang diekspos media massa, sehingga jika KPK menanganinya akan menaikkan citra. Tetapi parameternya ialah pada skala kerugian negara atau fokus pada pemberantasan korupsi kelas kakap. Cukuplah penjahat kelas teri ditindak kepolisian dan jaksa. Ditermin lain yang menjadi titik perhatian ialah, KPK harus memperkuat sisi pencegahan terjadinya korupsi dengan kampanye aktif dan mengadvokasi rezim dengan menggandeng masyarakat sipil khususnya LSM yang fokus melawan kejahatan extraordinary ini. 

Karena selama ini KPK lebih banyak melakukan penyidikan, artinya ketika terjadi kasus korupsi barulah lembaga superbody ini bekerja. Langkah pencegahan ini dapat konkrit dilakukan dengan menerapkan pasal 19 nya dalam UU KPK untuk membuka perwakilannya di daerah. Tidak harus ada secara fisik gedung KPK, tetapi KPK dapat mengirimkan anggotanya untuk turut serta dalam pembahasan RAPBD atau rancangan UU lain di daerah. Kiat ini akan semakin memperteguh kehadiran KPK tak hanya di pusat pemerintahan tetapi juga di level daerah yang rawan korupsi. Semoga Abraham Samad dapat melakukannya. Berantas korupsi, harga mati. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Sabtu, 03 Desember 2011

Meningkatkan Kompetensi Guru

Dimuat di Opini Suara Karya, Jumat, 2 Desember 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


Dinamika persoalan guru, pahlawan tanpa tanda jasa selalu beragam. Sejak pemerintah berikhtiar menciptakan guru yang profesional melalui jalur sertifikasi dengan target 2015 seluruh guru di Indonesia harus sudah bersertifikat, profesi guru menjadi marak diminati khalayak ramai. Apalagi, di tengah minimnya lapangan kerja dan rendahnya upah minimum per bulan. Sebagai contoh, para mahasiswa dari jurusan nonkependidikan setelah sarjana lebih memilih mendaftar menjadi guru dan tidak mempedulikan orientasi jurusannya karena merasa gaji setiap bulan terjamin. Apalagi, jika diangkat menjadi PNS dan lolos sertifikasi, gaji dapat membengkak dua kali lipat dibanding pegawai negeri sipil (PNS) nonpendidik.

Oleh sebab itulah, pemerintah menutup legalitas mengajar atau akta 4 dan membentuk pendidikan profesi guru selama satu atau dua tahun. Hal ini untuk menampung alumni kampus yang bukan berasal dari jurusan orientasi pendidik tetapi berkeinginan menjadi guru. Karena, mereka tak mendapat materi psikologi pendidikan, metodologi pembelajaran, dan microteaching atau latihan mengajar layaknya mahasiswa PGSD. Maka, pendidikan profesi dijadikan tempat untuk menempanya. Tetapi, bukan di sana sebenarnya pangkal persoalannya. Melainkan, yang hendak dikritisi penulis ialah orientasi seseorang untuk menjadi pendidik. Kini, orang berkeinginan menjadi guru karena materi (gaji bulanan pasti, apalagi kalau lolos sertifikasi), bukan karena kesungguhan mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan generasi bangsa ini. 

Rumah Pensil Publisher

Menurut Dwi Siswoyo dalam buku "Quo Vadis Pendidikan", ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh pendidik. Pertama, mencintai pekerjaan guru sebagai profesi, sebagai panggilan hidup, agar pada diri yang bersangkutan memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan penuh kesungguhan, kerja keras, dan tanggung jawab. Kedua, menanamkan pada jiwa peserta didik tentang kecintaan untuk senantiasa berusaha hadir tepat waktu di saat jadual mengajarnya, dan menjadikannya sebagai media mencapai sukses belajar dan mengajar dalam hidupnya. Ketiga, menanamkan pada diri pendidik sendiri dan peserta didik cara berfikir positif. 

Ketiga aspek di atas perlu diutamakan oleh guru, agar proses belajar-mengajar dijalankannya tanpa beban. Jika demikian, label profesional (bersertifikat) pun tak perlu dicari justru akan datang menghampiri. Selama ini tunjangan sertifikasi yang telah dinikmati guru sejak 2005 hanya didasari penilaian portofolio atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dan, belum dilaksanakan sepenuhnya penilaian kinerja terhadap guru yang sudah bersertifikasi. (Republika, 9 September 2011) Adapun parameter yang dievaluasi meliputi kepribadian, pedagogik (pemahaman terhadap ilmu yang diajarkan), sosial, dan keprofesionalitasan guru. Pada empat aspek inilah guru dituntut untuk senantiasa menaikkan kapasitasnya agar bermetamorfosa menjadi guru profesional. Pertama, dari segi kepribadian. Guru dituntut menjadi pribadi yang teladan, beretika, bijaksana, dan dekat dengan siswa. Suasana kedekatan ini perlu dibangun agar peserta didik tidak segan jika ada hal yang ditanyakan. Selain itu, siswa dapat pula mencurahkan persoalan pribadi yang mengganggu proses studinya kepada guru, karena guru merupakan orangtua di sekolah maka guru dituntut mampu memecahkan segala persoalan murid. 

Kedua, segi pedagogik. Guru dituntut memiliki wawasan yang luas serta retorika (seni komunikasi) dan bahasa tubuh yang bijak dalam proses pelimpahan ilmu. Suasana belajar di kelas akan tampak membosankan jika guru menyampaikan materi pelajaran secara monoton. Oleh sebab itu, variasi mengajar dan kreativitas menggunakan media pembelajaran harus dikuasai pendidik. Tempat belajar pun tak melulu harus di kelas. Sesekali dapat berpindah ke perpustakaan, taman, masjid, atau melakukan study tour dan karya wisata untuk mengusir kejenuhan siswa dan mendisain forum belajar-mengajar senyaman mungkin. Karena, suasana kejiwaan siswa secara langsung memengaruhi transfer ilmu yang diberikan. 

Ketiga, aspek sosial. Karena fitrah manusia ialah tak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Maka, guru tak sekedar bertugas mengajar, tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan. Wujudnya dapat aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat sekitar atau tempat tinggal. Sebab, kata Pramudya Ananta Toer, rakyat dididik dengan organisasi dan penguasa dididik dengan perlawanan. Bagaimanapun, guru diharapkan tak sekedar memberikan pencerahan di sekolah tetapi juga dapat menularkannya di masyarakat luas. Aktif dalam berorganisasi dan terlibat dalam dunia sosial akan melatih guru peka terhadap realitas sosial, membangun relasi dengan banyak orang yang berujung pada luasnya wawasan. Orang yang rajin berlatih, tak sekadar terlatih, tetapi juga dapat menjadi pelatih. 

Keempat, profesional. Bentuknya dapat berupa mengajar tepat waktu, aktif berorganisasi menghadiri rapat sekolah, menjadi teladan bagi mitra didik, berprestasi di dalam maupun di luar sekolah. Oleh sebab itu, setiap guru harus mengidentifikasi potensi diri yang dapat dikembangkan sehingga berlabel pakar, tentunya selain materi pelajaran akademik yang diajarkan. Semisal, kemampuan membangun jaringan dengan sekolah, institusi, dan tokoh pendidikan. Atau, kemampuan menulis di media massa, untuk menyebarkan ilmu ke khalayak ramai. Ihwal ini membuat guru lebih bermanfaat tak hanya untuk diri pribadi tetapi juga orang lain. Prinsip hidup manusia adalah berkontribusi bagi orang lain. Akhirnya orientasi para pendidik perlu diluruskan. Yakni, tak perlu melulu memikirkan kompensasi tetapi harus lebih memprioritaskan peningkatan kompetensi. Sebab, padanyalah tunas bangsa negeri ini bergantung. 

Vivit Nur Arista Putra
Aktivis Pusaka (Pusat Kajian dan Advokasi Pendidikan) 

Peran Strategis Indonesia di ASEAN

Dimuat di Republika Yogya, Jum'at, 2 Desember 2011 

Oleh: Vivit Nur Arista Putra


ASEAN kini menjadi perhatian dunia karena dianggap organisasi yang solid dan prospektif untuk menjalin kerjasama ekonomi guna mengurai krisis yang mendera Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, regional ini juga dijadikan ajang berebut pengaruh negara-negara mapan. Terbukti presiden AS, Barack Obama, secara khusus hadir untuk menjalin kemitraan ASEAN, dengan menawarkan agar negara Asia Tenggara bergabung dalam Trans Pacific Partnership atau Perdagangan Asia Pasifik. Alasannya ialah utang negeri paman Sam yang mencapai 15 Trilyun US Dollar (tertinggi sepanjang sejarah AS), membuatnya mencari pangsa pasar baru untuk mengekspor barangnya demi pengurangan beban utang. Tak terkecuali China dan Rusia sebagai negara yang tak terimbas krisis, juga hadir untuk turut menancapkan pengaruh ekonominya melalui CAFTA yang sudah terjalin setahun silam, dan menetralisir ASEAN dari penggunaan senjata nuklir yang menjadi isu sensitif global. 

Indonesia selaku ketua dan tuan rumah 19th ASEAN Summit 2011 memiliki peranan penting untuk mengelola dan mengatur teritorial ke depan. Khalayak menaruh asa, agar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang merumuskan Bali Concord III sebagai pilar penyatuan komunitas Asia Tenggara 2015. Melalui aspek politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang menjadi titik fokus garapan, tak hanya dinikmati kalangan elite pemimpin negara, tetapi juga terasa hingga masyarakat akar rumput sebagai objek komunitasnya. Pada titik ini, Indonesia dapat menjadi pengarah, penengah, dan parameter perkembangan ASEAN setidaknya tiga tahun ke depan sebagai transisi menuju ASEAN community in a global community of nation


Pertama, Indonesia harus memastikan stabilitas kawasan. Seperti meredam konflik perbatasan yang berujung perang antara Kamboja-Thailand, klaim sepihak pulau strategis penghasil migas di laut China selatan yang melibatkan Vietnam, Malaysia, dan China. Belum lagi perseteruan Indonesia dan Malaysia atas pulau terluar di sebelah barat Kalimantan. Riak-riak perkara di muka harus dipupus dengan jalan diplomasi arif, jika tak ingin membesar yang berefek mengganggunya hubungan kedua negara serta menghambat iklim investasi. Imbasnya, jika tak bijak ditangani dapat menunda terciptanya masyarakat ASEAN yang damai. 

Kedua, Indonesia dapat menjadi teladan pada konteks perkembangan ekonomi. Kiatnya ciptakan kesetaraan ekonomi antar negera dengan mengurangi ketergantungan ekspor barang sebagai pendapatan terbesar per kapita setiap tahunnya dengan cara mengembangkan pasar domestik. Termasuk pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia dapat menjadi contohnya, buktinya rentang waktu 2007-2011 pertumbuhan ekonomi selalu naik dan stabil. Negara seperti AS, Yunani, dan Italia yang didera krisis saat ini lantaran interdependensi yang tinggi terhadap ekspor produknya ke negara lain. Sehingga saat negara sasaran kolaps dan ekonominya rapuh, barang tersebut tak terdistribusikan dan akhirnya rugi. Kuncinya lainnya ialah perkuat stabilitas teritorial agar arus perdagangan dan jasa lancar serta inverstor tak ragu untuk menanamkan sahamnya. 

Ketiga, persoalan sosial budaya seperti pegakan HAM dan demokrasi, Indonesia dapat berperan besar dengan memberikan resep mengelola negara majemuk dan memberi contoh penuntasan perkara disintegrasi secara win-win solution. Di termin lain, isu proteksi buruh mingran dan penetapan hak paten hasil karya anak bangsa seperti angklung, gamelan, dan jenis sendra tari lainnya dapat digaungkan dan dikompromikan untuk meminimalisir kasus dengan negeri jiran. Terakhir, Indonesia perlu mengawal Myanmar agar prosesi transisi demokrasi di negerinya sukses dan siap memimpin ASEAN 2014 nanti. 

Vivit Nur Arista Putra 
Aktivis KAMMI Daerah Sleman